Bangga Indonesia, Lamongan – Sobat. Rabu 24 Maret 2021 kami berdua Dr N. Faqih Syarif H, M.Si bersama Cak Amu Senior wartawan yang 30 Tahun pernah berkarya di Jawa Pos berkesempatan silaturahim di kecamatan Kedungpring di terima langsung oleh sekretaris camat Bpk Nourman. Beliau menceritakan beberapa potensi desa wisata dan desa UMKM di kecamatan Kedungpring kab. Lamongan.
“ Waduk Prijetan berlokasi di dua kecamatan di Lamongan, tepatnya di Desa Girik, Kecamatan Ngimbang, Desa Tenggerejo dan Desa Mlati, Kecamatan Kedungpring. Waduk yang memiliki 6 anak sungai ini memiliki luas 231 hektar dengan kapasitas awal 12 juta meter kubik.” Kata Norman Sekcam Kedungpring
“Dari 224 bendungan yang ada di Indonesia, empat di antaranya berusia di atas 100 tahun. Salah satu yang tertua yakni Waduk Prijetan (Waddek Pridjetan) yang berada di Desa Tenggerejo, Kecamatan Kedungpring, Lamongan” lanjut Sekcam Kedungpring.
Beliau juga mengajak kami berdua ke desa Blawirejo yang merupakan bukti sejarah peninggalan kerajaan Majapahit terbukti dengan adanya Prasasti Balawi yang sekarang menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia.
Prasasti Balawi diterbitkan oleh Sri Maharaja Nararya Sanggramawijaya, atau lebih populer disebut Raden Wijaya, raja pertama Kerajaan Majapahit. Prasasti Balawi tertanggal 15 paro gelap (krsnapaksa), bulan waisaka tahun 1227 Saka, atau bertepatan tanggal 24 Mei 1305 M. Dan kutipan isi prasasti Balawi berikut ini menunjukkan mengenai batas-batas tanah sima/perdikan Balawi.
“..kunen parimananikan lmah sima rin balawi. rin purwwa hasidaktan lawan malane. rin agneya asidaktan lawan magaran. rin daksina asidaktan lawan mabuwur. rin nairiti asidaktan lawan manande. rin paceima asidaktan lawan malani. rin byabya asidaktan lawan mule. rin uttara asidaktan lawan watuputih. rin naicanya asidaktan la[wan] watuputih samankana parimananikan lmah sima rin balawi..”
“..maka batas tanah perdikan di balawi. di timur berbatas dengan malange (dsn mlangean). di tenggara berbatasan dengan magarang (dsn megarang). di selatan berbatasan dengan mabuwur (Nglebur). di barat daya berbatasan dengan manande (dsn mekande). di barat berbatasan dengan malangi (Kedung Mlangi/tlanak). di barat laut dengan mule (dsn malo). di utara berbatas dengan watu putih, di timur laut juga berbatas dengan watu putih, demikianlah batas tanah Sima balawi.”
Dari hasil pembacaan di atas menunjukkan posisi Desa Balawi yang dimaksud pada prasasti Majapahit berangka tahun 1358 M tersebut, mengarah di desa Blawirejo Kec. Kedungpring Kab. Lamongan. Demikian pula jika dibandingkan dengan konteks hari ini, batas watu putih yang terletak di bagian utara dan timur laut adalah perbukitan Gunung Pegat yang pada masa prasasti diterbitkan belum berkembang jadi perkampungan. Maka kita melihat perkembangan pertumbuhan desa-desa di sekitar wilayah desa Balawi ini.
Prasasti Balawi diterbitkan Raden Wijaya sebagai peneguhan atas keputusan pemberian status Sima atas desa Balawi, yang sebelumnya diberikan oleh Sri Harsawijaya, seorang penguasa di kerajaan daerah Jenggala pada masa Pemerintahan Kerajaan Tumapel atau Singhasari.
Adalah pejabat Rakryan Apatih dan Sang Wirapati dalam hal ini bertindak sebagai perantara permohonan masyarakat Desa Balawi. Di mana masyarakat Desa Balawi pada zaman dahulu, pernah diberikan anugerah tanah Sima di Desa Balawi oleh almarhum Sri Harsawijaya, tetapi anugerah tersebut belum dikuatkan dengan prasasti.
Sri Maharaja Nararya Sanggramawijaya kemudian menyetujui permohonan dan mengukuhkan anugerah Sri Harsawijaya kepada warga Desa Balawi, dengan menerbitkan prasasti berbahan tembaga yang kini menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia.
“Lalu siapa tokoh Sri Harsawijaya itu, sehingga Raden Wijaya perlu meneguhkan keputusannya? Pada Prasasti Mula-Malurung (1177 Saka), kita dapat peroleh informasi bahwa Sri Harsawijaya merupakan keponakan (pahulun) dari Sri Maharaja Nararyya Sminingrat (Wisnuwardana, Raja Kerajaan Tumapel). Selain itu ia juga saudara sepupu Sri Krtanegara (raja terakhir Tumapel, mertua Raden Wijaya). Posisi Sri Harsawijaya di tahun 1177 Saka adalah Raja daerah di Kerajaan Janggala (bawahan Kerajaan Tumapel).
Mengenai hubungan antara Sri Harsawijaya dengan Raden Wijaya, tentunya menjadi menarik untuk dipertanyakan, mengapa Nararya Sanggramawijaya begitu sangat memperhatikan yang menjadi keputusan Sri Harsawijaya, yang notabene hanya seolah Raja Bawahan. Ada banyak pendapat yang menyatakan bahwa Sri Harsawijaya ini tokoh yang sama dengan Dyah Lembu Tal. Dan seperti diketahui bahwa Dyah Lembu Tal inilah Ayanda dari Raden Wijaya. Dengan begitu, dapat diketahui sekaligus disimpulkan, bahwa pendiri Majapahit adalah trah jenggala. “ Demikian penjelasan Supriyo Penggiat Sejarah kota Lamongan.
Prasasti yang beraksara dan berbahasa Jawa Kuna ini diduga berasal dari Dusun Blawi, Desa Blawirejo, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan. Dugaan itu muncul dari adanya kesamaan/kemiripan toponim, baik dari desa yang mendapatkan anugrah sima, maupun dari desa-desa/wanua-wanua yang berbatasan dengan tanah perdikan Balawi (toponim dari wanua tepi siring), jika dilihat dari posisi desa Blawirejo saat ini.
( Bangga Indonesia Lamongan )


















































Kalo yg membuat Hipotesa Orang Lamongan sangat tepat dan terperinci. Ada satu yg rada meleset, yaitu prediksi wanua tepi siring MULE. kalo Malo di Bojonegoro kejauhan. Yg tepat Suko Malo.