Site icon Bangga Indonesia

Ada Apa di Ma’had TEJ Alam Mandiri Ummul Quro?

Trio pengelola Pesantren Tahfidz Entrepreneur Jurnalistik (TEJ) Umml Quro Seloliman Trawas, Mojokerto. Dari Ustad Faqih Syarief, KH Suyuti Rosyad dan Cak Amu. FOTO BANGGA INDONESIA/Bagus

Bangga Indonesia, Trawas-Mojokerto – Ada satu pertanyaan yang menggelitik pikiran peserta ketika mengikuti Ngaji Jurnalistik dua hari yang diselenggarakan Bangga Indonesia, Sabtu-Minggu (23-24/01/2021).

Ada apa dengan Ma’had (pesantren) TEJ Alam Mandiri Ummul Quro?
Pesantren yeng berdiri sederhana tapi istimewa di Seloliman Trawas Mojokerto itu, ternyata memiliki nuasa dan karakter yang berbeda dengan ma’had lainnya.

Memang, keberadaan ma’had dengan program tahfidz dan entrepreneur itu sudah bercokol di mana-mana. Di Trawas Mojokerto juga ada pendidikan yang digabung dalam satu paket sekaligus.

Begitu pula di kota-kota lain, seperti Sidoarjo, Surabaya, Gresik dan kota lainnya. Pesantren sekarang sudah memikirkan soal masa depan santri. Sehingga pelatihan atau pelajaran kewirausahaan perlu ditanamkan sejak dini.

Lantas, apa yang membedakan ma’had ini dengan yang lainnya?
Ma’had ini memiliki latar tempat yang luar biasa. Tempat ini akhir pekan lalu, Sabtu dan Minggu (23-24/01/2021) menjadi arena Ngaji Jurnalistik.

Di pesantren ini, tampak menyolok mata view atau pemandangan persawahan terasering yang luas ala Ubud, Bali. Pesantren ini juga digawangi oleh “Trio Go Internasional”.

Siapa mereka? Tak lain adalah KH Suyuti Rasyad LC,MM, DR N Faqih Syarief Msi dan H Abdul Muis Masduki. Yang memiliki dedikasi dan kopetensi di bidangnya.

Kiyai Suyuti adalah alumnus Pondok Pesantren Moderen Gontor, Ponorogo-Jawa Timur. Bapak seorang anak yang murah senyum ini pernah menimba ilmu di IAIN Sunan Ampel Surabaya, kini UINSA. Bahasa Arab dan Inggrisnya yahud. Jempolan.

Dari situ dia kemudian memperoleh peluang belajar menekuni ilmu Fiqih dan Al Quran di Universitas Ummul Quro Makkah, Arab Saudi. Dia sudah keliling dunia di 50 negara.

Itu belum termasuk berkali-kali umroh dan haji. Selain memiliki travel Umroh-Haji, Kiyai Suyuti juga pernah menjadi pendiri sekolah umum moderen di Surabaya. Full Day School: Al Hikmah.

Pengalaman itu kemudian dimanivestasikan dengan membangun pondok mandiri Ummul Quro di Seloliman, Trawas. Ini Atas jerih payah sendiri.

Pondok yang dibagung di lereng perbukitan jalan menunju Pemandian dan Candi Jolotundo ini, sudah pernah menelorkan santri. Namun di saat pandemi virus corona ini, pesantrennya kosong.

Penulis (tiga dari kanan) KH Suyuti Rosyad (tiga dari kiri), Cak Amu dan Ustad Faqih (pertama dan kedua dari kanan). FOTO BANGGA INDONESIA/Bagus

Ia kemudian merangkul DR.N.Faqih Syarif seorang dosen, pengelola dan pendiri pesantren, serta coach dan motivator internasional. Ustad Faqih, sapaannya, akhirnya ditunjuk sebagai pengelola atau direktur pesantren yang dijulikinya TEJ. Artinya Pesanren Tahfidz Entrepreneur dan Jurnalistik.

Ilmu entrepreneur akan diberikan kepada santri melalui praktik langsung. Di lokasi pensantren sudah siap ternak ikan, ayam, bebek bahkan kambing jika diperlukan santri.

“Jadi di sini sekaligus sebagai laboratorium santri untuk praktik. Tidak melulu teori. Pesantren ini benar-benar out o the box,” ungkap Ustad Faqih tersenyum.

Yang tak kalah penting, menurut penulis buku ini adalah adanya pembekalan ilmu jurnalistik yang diasuh kiyainya langsung.

“Cak Amu ini pengalaman internasionalnya luar biasa. Beliau anak didik Dahlan Iskan. Cak Amu mampu mencetak kader bukan saja bisa menulis. Tapi, bisa bikin perusahaan media. Khususnya media online,” jelasnya.

Karena itu, Ustad Faqih menyebut Mbahnya Jurnalistik itu pantas disebut kiyainya jurnalistik di pesantren ini. “Kalau di luaran sana beliau dipanggil cak, yang dikenal dengan program Pancal Cak Amu-nya ini. Di sini dia bergelar kiyai hehe,” puji bapak dua anak yang sulungnya belajar di Mesir ini.

Cak Amu yang dimaksud Ustad Faqih adalah Abdul Muis. Selain punya pengalaman 30 tahun bersama Jawa Pos, dia pernah tujuh tahun tinggal di Malaysia. Calon kakek tiga cucu ini pernah menjadi pemimpin Redaksi Jawa Pos Edisi Arab Saudi tahun 2009-2010.

Dia pernah meliput Piala Dunia Korea-Jepang 2002. Sebelumnya pernah meliput Olimpiade Atlanta 1998. Dua tahun sebelumnya bersama rekannya meliput Asian Games Hiroshima Jepang. Juga event-event lainnya termasuk keliling negeri Asean.

Selain menjadi Pemimpin Redaksi Arab Saudi, Cak Amu pernah dua kali naik haji sekaligus dipakai untuk meliput jamaah haji Indonesia. Salah satunya yang sempat kacau-balau oleh sistem transportasi pertama Taradudi tahun 2002 itu. Yaitu saat mabit (bermalam) atau mengambil batu di Muzdalifah.

“Pak Dahlan pernah menyebut saya telah mengelilingi seperempat dunia. Kamu luar biasa,” kata Dahlan. Apalagi sebelum meliput Olimpiade Atlanta dia sempat mampir ke Eropa (Italia, Prancis, Belanda) dan Hongkong.

Luar biasanya Cak Amu ini, menurut Dahlan kala itu, selama keliling dunia dia selalu membawa oleh-oleh buat bosnya. Tulisan tentang future yang eksklusif. Oleh-oleh ini tidak pernah lepas dari benak Cak Amu.

Dia tidak pernah gentar dengan wartawan dari media manapun. Walau sama-sama meliput dalam satu event. Cak Amu selalu punya tulisan khusus untuk oleh-ole

h bos dan pembaca Jawa Pos.

“Alhamdulilllah kini tinggal menulis bukunya saja yang belum. Saya hormat sama Ustad Faqih yang sangat produktif bikin buku,” ungkapnya di sela-sela acara ramah tamah dengan peserta.

Cak Amu juga bercerita mengapa bisa keliling dunia dan jadi wartawan. Ia mengaku sebelum lahir, orang tuannya punya kenalan seorang wartawan Radar Kota. Si Wartawan ini menitipkan sebuah nama jika bayi yang di kandungan ibunya itu lahir.

“Kalau bayi ini lahir beri nama saja Abdul Muis,” cerita Cak Amu tentang si wartawan yang pesan kepada ayahnya.

Kenapa? Nama itu baik dan dimiliki seorang sastrawan kenamaan. Pengarang Salah Asuhan.

“Jadi nama itu sudah dikenal sebelum saya lahir. Sekarang nama itu masih bertahan. Kalau di Jakarta ada Jalan Abdul Muis dan nama ini diabadikan di angkot-angkot jurusan jalan itu hehehe,” ujar Cak Amu.

Cak Amu yakin nama itu sama dengan doa. Ini ia rasakan sejak SMP sudah gemar menulis. Menulis puisi di buku-buku temannya yang dipinjami.

Lulus SMA, dia langsung jadi wartawan. Orang pertama yang mendidiknya adalah almarhum Anshari Tayib. Belajar di Majalah Liberty di Jalan Tugu Pahlawan Surabaya. Kemudian bergabung dengan Memorandum milik mantan Ketua PWI Haji Agil Haji Ali.

Setelah itu, dia bergabung dengan Sang Master Jurnalistik Dahlan Iskan di Jawa Pos. Sebelum jadi wartawan Jawa Pos, Cak Amu mengaku harus mengikuti tadarus jurnalistik selama tiga bulan. Full! Tidak boleh putus alias absen.

Dari sini, Cak Amu kian matang dan dipercaya Dahlan meliput event internasional dan mengelola anak-anak perusahaan sebagai General Manajer.

“Terakhir sebelum gempa di Lombok, saya diminta Pak Dahlan lagi untuk mengelola Lombok Pos sebagai Wadirut bersama Direktur Utama Pak Sodiq yang kini di Harian Pagi Memorandum,” ungkapnya.

Karena itu, tampilnya Cak Amu dan Ustad Faqih di Ngaji Jurnalistik ini, benar-benar membawa inspirasi peserta. Terutama untuk program jangka panjang ma’had ini .

Konon kabarnya, Ma’had Alam Mandiri ini awal Februari akan mengadakan open house sekaligus penerimaan santri baru yang hanya terbatas 20 santri putra.

“Mudah-mudahan dengan doa restu dukungan kalangan umat Islam, Ma’had Alam Mandiri TEJ senantiasa diliputi lapis-lapis keberkahan dan ridhanya untuk mewujudkan visi dan misinya,” begitu doa salah satu peserta.

Penulis: Muhamad Anwar (Peserta Ngaji Jurnalistik yang juga Guru SDN di Gresik)

Exit mobile version