Bangga Indonesia

“Bahasa Qolbu”
Pola Komunikasi Yang Terabaikan

Ilustrasi. Pulau Rufas Raja Ampat (Antara)

Believe it or not, ketika masih di alam ruh, Allah SWT telah bertanya kepada kita; “alastu birob bikum, qolu bala syahidna… bukankah Aku Tuhanmu? benar Engkau Tuhan kami, dan kami menjadi saksi” (QS. Al-A’raaf 7: 172).

Dialog ini sulit dibuktikan secara ilmiah kecuali dengan dasar keimanan. Itulah sebabnya tulisan ini mencoba untuk mengamati perjalanan kita dari kelahiran.

Sebagaimana umumnya, bayi terlahir dalam keadaan lemah tak berdaya. Ekspresi lucu itu terlihat bahwa dia butuh kasih sayang dan perlindungan dari orang sekitarnya (feeling).

Kemudian secara berurut telinga mulai mendengar (listening), lalu mata (watching), selanjutnya mulut (speaking). Meski tak memahami kata apapun, asal disampaikan dengan wajah tersenyum, diapun ikut senyum.

Semua gerakan dan ucapan belum dapat dikendalikan oleh pikiran sadarnya (conscious mind). Seakan telah terprogram dia semakin tanggap dengan lingkungannya.

Urutan ini sedikit berbalik dengan proses menjelang ajal. Awalnya lemah tak berdaya, kemudian mulut tak mampu bicara. Lalu mata perlahan terpejam. Tinggal telinga yang sayup terdengar.

Terakhir yaitu rasa (feeling). Ada puncak kesadaran dan tak penting lagi dunia. Maksud hati bertaubat dan membenahi keadaan, namun apa daya semua kekuatan tak lagi dapat diandalkan.

Yang tersisa hanyalah kepasrahan, memohon perlindungan dan mengakui kebesaranNya (qolu bala syahidna). Kita datang sendiri dan akan kembali sendiri.

Ada catatan menarik melihat kondisi di atas yang mungkin terabaikan oleh kita yang sempurna badan, akal dan hati. Pertama, pentingnya komunikasi yang mengedepankan rasa, mendengar dan melihat.

Bahasa populernya EQ & SQ. Ini menujukkan kesediaan menggali informasi dan berbagi (share and care). Seringkali kita merasa bisa, tapi tak bisa merasa, menonjolkan superioritas, banyak bicara dari pada mendengarkan.

Nampak bahwa diplomasi yang disampaikan, pilihan kata, data dan fakta sesuai dengan kepentingannya. Di Negara kita berlimpah orang pandai, tapi tak banyak manfaatnya karena terkotori syahwat politik dan keserakahan.

Itulah bagaimanapun cerdasnya, Allah melihat hati dan prilaku kita (quluubikum wa a’maalikum, HR. Muslim 1264).

Kedua, dalam keinginan untuk maju (need for achievement) kekuatan EQ & SQ tak dipungikiri berperan men-drive pikiran, keyakinan dan daya tahan menghadapi tantangan.

Lihat saja anak balita yang tak lelah mencoba berjalan dan berlari. Tak terhitung berapa kali jatuh bangun. Pikirannya terbuka, pertanyaannya terus berkembang dan apapun dicobanya. Mental juang ini justru menurun ketika dewasa.

Kita terlalu banyak pertimbangan, tak berani tantangan, pikiran tertutup bahkan terlena godaan.

Ketiga, EQ & SQ adalah metode utama dalam pembelajaran. Masalahnya tidak cukup dengan penyampaian materi saja, tetapi perlu mengukur kesiapan daya terimanya. Misalnya, 3 x 5 = 15. Memang benar adanya. Tapi bila diajarkan pada balita, maka tak pantas disebut bahwa si pengajar memahami persoalan.

Substansinya dapat diterima dulu di hatinya, merupakan kemenangan awal untuk mengubah keadaan. Bagaimana mungkin kebaikan dapat tersampaikan dengan persepsi yang saling melihat negatif.

Ibarat ‘kapal besar’ perlu kesabaran dan waktu untuk memutar haluan. Apalagi masalah agama, tentu bukan sekedar menyampaikan informasi kebenaran, tapi juga menyangkut wilayah kesadaran dan keyakinan.

Keempat, Allah maha mendengar dan maha melihat (sami’un basyir, QS. An-Nisa’ 4: 58; di ayat lain sami’un ‘alim). Allah mengetahui keadaan hambanya, yang bermakna ‘online’, namun kita yang sering ‘offline’.

Itulah perlunya meningkatkan ibadah guna meraih nikmatnya iman. Seperti sholat kita, tidak hanya gerakan dan bacaan yang sesuai sunnah, tapi harusnya wujud sebagai ‘aktor hamba’. Ada komunikasi pengakuan kebesaran dan permohonan kepadaNya.

Khusu’nya Nabi disebutkan meliputi pendengaran, penglihatan, otak, tulang dan urat syarafnya (khosya’a laka sam’i wa bashori wa mukhi wa ‘adzmi wa ‘ashobi, HR. Muslim: 771).

Ini terjadi bila ada kesungguhan dan keyakinan untuk lebih dalam dan tambah dalam lagi kualitasnya hingga menyentuh ujung psikologis terdalam. Sebagaimana menjelang ajal dimana ‘soft ware’ ini akan mengalami aktifasi optimal.

Jadi dalam hubungan sesama manusia, komunikasi yang mengedepankan emosional hati akan lebih mudah diterima. Ada nuansa ‘mengorangkan orang’ (human touch).

Pola komunikasi ini bermanfaat untuk membina hubungan di berbagai bidang. Termasuk politik, bisnis, pendidikan dan dakwah.

Memang harus ada ketegasan, namun tetap bil hikmah (QS. al-Nahl 16 : 125). Dalam banyak hal siapa yang dapat bermain di wilayah ini, maka akan mudah mempengaruhi keadaan, bahkan dengan suka rela mereka mendukungnya.

Kaitannya dengan hablum minallah, perlu kesungguhan untuk mengeksplorasi segala potensi yang ada.

Ibadah fisik / dhohir mesti dilakukan, menjalani perintahNya dan menjauhi laranganNya.

Otak perlu ta’qilun, berfikir logis sampai menemui kebenaran objektif. Dan tafakkarun, merenungkan apa di balik apa dalam prespektif mengagungkan Allah. Serta menghidupkan hati, melalui dzikrullah dengan kesadaran, ketenangan, keyakinan dan kepasrahan mengharap ridho Allah SWT.

Sinyal inilah yang mesti kita beningkan untuk berbagai kegiatan, sehingga semua bernilai ibadah.

Semoga kita tetap dalam bimbingan-Nya dan dijaga … amin. ??

Penulis: Hatta Zakki (Peserta Ngaji Jurnalistik)

Penulis (tengah) bersama pemateri Ngaji Jurnalistik, Ustadz Faqih Syarief (kiri) dan Cak Amu (kanan). Momen ini dibidik saat relaksasi di Trawas Mojokerto, lokasi pelatihan pada 24/01/2021. FOTO BANGGA INDONESIA/Bagus

Exit mobile version