“Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.”
“Sudah melakukan proses pemilihan sampling dan survei untuk menembus target SKM-RT. Rencana ini harus matang, sebab kalau tidak sama saja dengan merencanakan kegagalan,” kata Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS, Sarpono dalam keterangan tertulis, Jumat.
BPS memberikan dukungan sepenuhnya dari sisi metodologi di antaranya adalah mengenai penyusunan desain sampling dan kerangka sampelnya, jadi dari hasil sensus penduduk memiliki kerangka yang bisa dimanfaatkan untuk survei kegiatannya, kata Sarpono dalam webinar Katadata bertajuk ‘Diseminasi Hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga 2020′.
Dr. Sarpono menambahkan, estimasi tingkat nasional mencapai 25.000 sampel rumah tangga. Menurutnya, ini merupakan output yang cukup baik. Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.
Menurut Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Doddy Izwardy, sampling yang didapat untuk mengejar peningkatan kualitas air minum itu merupakan tujuan standar. Dari situ, ia bisa melihat sumber air mana yang kerap digunakan masyarakat serta risiko yang kemungkinan timbul karena kurangnya kualitas sumber air yang dipiliih.
Akses air rumah tangga layak itu 93 persen, 97,8 persen di kota, dan 87,1 persen di pedesaan yang aman hanya sebanyak 11,0 persen. Ini harus layak dan aman, kalau melihat keterjangkauan air di rumah sebanyak 40,2 persen, kawasan dalam pagar rumah 21 persen, dan di luar kawasan rumah 38,8 persen.
“Jadi kalau dilihat dari analisa dengan para pakar ketersediaan sarana air keperluan minum ada 95,8 persen, ini merupakan angka survei regional,” ujar Doddy.
“Air isi ulang ini memiliki 31,1 persen. Riset yang baru kami lakukan juga di tahun 2020 itu studi determinan status gizi hampir nggak jauh beda angkanya, jadi blok sensus yang dibangun BPS itu luar biasa jadi punya keuntungan untuk mengintegrasikan melihat dimensi sosial ekonominya,” ucapnya di acara yang sama.
Menurut dia, air isi ulang memiliki risiko pada kerusakan kemasan ditambah distribusi yang panjang sampai ke tempat penjualan, penggunaan air isi ulang di perkotaan mencapai 16 persen. Tidak hanya konsen pada kualitas dan kecukupan air minum namun kualitas perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada kesehatan dan pertumbuhan anak.
“Jadi di dalam program ini tidak bisa one fit for all karena air minum ini vital. Air ini sebenarnya zat gizi cuma tak bisa dikendalikan besar. Air isi ulang lebih banyak di Papua, ya air isi ulang ini yang harus dijaga kualitasnya. NTT (Nusa Tenggara Timur) stunting no. 1 di Indonesia, jadi ada korelasi air bersih sanitasi dengan kesehatan,” tambah Doddy,
Memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas merupakan hak dasar bagi bangsa, Indonesia berupaya mencapai titik air minum aman dikonsumsi masyarakatnya.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, R. Vensya Sitihan menjelaskan definisi air minum adalah untuk keperluan minum, masak, menyiapkan makanan, dan personal hygiene.
“Target RPJMN 2020-2024 taget 100 persen air minum layak, kalau sudah sampai sini pekerjaan rumah kita tinggal sedikit. Kualitas air rumah tangga aman, jadi secara rutin dilakukan pemantauan terhadap kualitas air minum. Jadi bertahap 2020 – 2024 taget itu bisa kita capai, 100 persen air minum layak, dan 15 persen akses air minum aman,” kata Vensya. (ant)
“Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.”
“Sudah melakukan proses pemilihan sampling dan survei untuk menembus target SKM-RT. Rencana ini harus matang, sebab kalau tidak sama saja dengan merencanakan kegagalan,” kata Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS, Sarpono dalam keterangan tertulis, Jumat.
BPS memberikan dukungan sepenuhnya dari sisi metodologi di antaranya adalah mengenai penyusunan desain sampling dan kerangka sampelnya, jadi dari hasil sensus penduduk memiliki kerangka yang bisa dimanfaatkan untuk survei kegiatannya, kata Sarpono dalam webinar Katadata bertajuk ‘Diseminasi Hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga 2020′.
Dr. Sarpono menambahkan, estimasi tingkat nasional mencapai 25.000 sampel rumah tangga. Menurutnya, ini merupakan output yang cukup baik. Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.
Menurut Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Doddy Izwardy, sampling yang didapat untuk mengejar peningkatan kualitas air minum itu merupakan tujuan standar. Dari situ, ia bisa melihat sumber air mana yang kerap digunakan masyarakat serta risiko yang kemungkinan timbul karena kurangnya kualitas sumber air yang dipiliih.
Akses air rumah tangga layak itu 93 persen, 97,8 persen di kota, dan 87,1 persen di pedesaan yang aman hanya sebanyak 11,0 persen. Ini harus layak dan aman, kalau melihat keterjangkauan air di rumah sebanyak 40,2 persen, kawasan dalam pagar rumah 21 persen, dan di luar kawasan rumah 38,8 persen.
“Jadi kalau dilihat dari analisa dengan para pakar ketersediaan sarana air keperluan minum ada 95,8 persen, ini merupakan angka survei regional,” ujar Doddy.
“Air isi ulang ini memiliki 31,1 persen. Riset yang baru kami lakukan juga di tahun 2020 itu studi determinan status gizi hampir nggak jauh beda angkanya, jadi blok sensus yang dibangun BPS itu luar biasa jadi punya keuntungan untuk mengintegrasikan melihat dimensi sosial ekonominya,” ucapnya di acara yang sama.
Menurut dia, air isi ulang memiliki risiko pada kerusakan kemasan ditambah distribusi yang panjang sampai ke tempat penjualan, penggunaan air isi ulang di perkotaan mencapai 16 persen. Tidak hanya konsen pada kualitas dan kecukupan air minum namun kualitas perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada kesehatan dan pertumbuhan anak.
“Jadi di dalam program ini tidak bisa one fit for all karena air minum ini vital. Air ini sebenarnya zat gizi cuma tak bisa dikendalikan besar. Air isi ulang lebih banyak di Papua, ya air isi ulang ini yang harus dijaga kualitasnya. NTT (Nusa Tenggara Timur) stunting no. 1 di Indonesia, jadi ada korelasi air bersih sanitasi dengan kesehatan,” tambah Doddy,
Memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas merupakan hak dasar bagi bangsa, Indonesia berupaya mencapai titik air minum aman dikonsumsi masyarakatnya.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, R. Vensya Sitihan menjelaskan definisi air minum adalah untuk keperluan minum, masak, menyiapkan makanan, dan personal hygiene.
“Target RPJMN 2020-2024 taget 100 persen air minum layak, kalau sudah sampai sini pekerjaan rumah kita tinggal sedikit. Kualitas air rumah tangga aman, jadi secara rutin dilakukan pemantauan terhadap kualitas air minum. Jadi bertahap 2020 – 2024 taget itu bisa kita capai, 100 persen air minum layak, dan 15 persen akses air minum aman,” kata Vensya. (ant)
“Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.”
“Sudah melakukan proses pemilihan sampling dan survei untuk menembus target SKM-RT. Rencana ini harus matang, sebab kalau tidak sama saja dengan merencanakan kegagalan,” kata Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS, Sarpono dalam keterangan tertulis, Jumat.
BPS memberikan dukungan sepenuhnya dari sisi metodologi di antaranya adalah mengenai penyusunan desain sampling dan kerangka sampelnya, jadi dari hasil sensus penduduk memiliki kerangka yang bisa dimanfaatkan untuk survei kegiatannya, kata Sarpono dalam webinar Katadata bertajuk ‘Diseminasi Hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga 2020′.
Dr. Sarpono menambahkan, estimasi tingkat nasional mencapai 25.000 sampel rumah tangga. Menurutnya, ini merupakan output yang cukup baik. Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.
Menurut Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Doddy Izwardy, sampling yang didapat untuk mengejar peningkatan kualitas air minum itu merupakan tujuan standar. Dari situ, ia bisa melihat sumber air mana yang kerap digunakan masyarakat serta risiko yang kemungkinan timbul karena kurangnya kualitas sumber air yang dipiliih.
Akses air rumah tangga layak itu 93 persen, 97,8 persen di kota, dan 87,1 persen di pedesaan yang aman hanya sebanyak 11,0 persen. Ini harus layak dan aman, kalau melihat keterjangkauan air di rumah sebanyak 40,2 persen, kawasan dalam pagar rumah 21 persen, dan di luar kawasan rumah 38,8 persen.
“Jadi kalau dilihat dari analisa dengan para pakar ketersediaan sarana air keperluan minum ada 95,8 persen, ini merupakan angka survei regional,” ujar Doddy.
“Air isi ulang ini memiliki 31,1 persen. Riset yang baru kami lakukan juga di tahun 2020 itu studi determinan status gizi hampir nggak jauh beda angkanya, jadi blok sensus yang dibangun BPS itu luar biasa jadi punya keuntungan untuk mengintegrasikan melihat dimensi sosial ekonominya,” ucapnya di acara yang sama.
Menurut dia, air isi ulang memiliki risiko pada kerusakan kemasan ditambah distribusi yang panjang sampai ke tempat penjualan, penggunaan air isi ulang di perkotaan mencapai 16 persen. Tidak hanya konsen pada kualitas dan kecukupan air minum namun kualitas perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada kesehatan dan pertumbuhan anak.
“Jadi di dalam program ini tidak bisa one fit for all karena air minum ini vital. Air ini sebenarnya zat gizi cuma tak bisa dikendalikan besar. Air isi ulang lebih banyak di Papua, ya air isi ulang ini yang harus dijaga kualitasnya. NTT (Nusa Tenggara Timur) stunting no. 1 di Indonesia, jadi ada korelasi air bersih sanitasi dengan kesehatan,” tambah Doddy,
Memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas merupakan hak dasar bagi bangsa, Indonesia berupaya mencapai titik air minum aman dikonsumsi masyarakatnya.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, R. Vensya Sitihan menjelaskan definisi air minum adalah untuk keperluan minum, masak, menyiapkan makanan, dan personal hygiene.
“Target RPJMN 2020-2024 taget 100 persen air minum layak, kalau sudah sampai sini pekerjaan rumah kita tinggal sedikit. Kualitas air rumah tangga aman, jadi secara rutin dilakukan pemantauan terhadap kualitas air minum. Jadi bertahap 2020 – 2024 taget itu bisa kita capai, 100 persen air minum layak, dan 15 persen akses air minum aman,” kata Vensya. (ant)
“Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.”
“Sudah melakukan proses pemilihan sampling dan survei untuk menembus target SKM-RT. Rencana ini harus matang, sebab kalau tidak sama saja dengan merencanakan kegagalan,” kata Direktur Pengembangan Metodologi Sensus dan Survei BPS, Sarpono dalam keterangan tertulis, Jumat.
BPS memberikan dukungan sepenuhnya dari sisi metodologi di antaranya adalah mengenai penyusunan desain sampling dan kerangka sampelnya, jadi dari hasil sensus penduduk memiliki kerangka yang bisa dimanfaatkan untuk survei kegiatannya, kata Sarpono dalam webinar Katadata bertajuk ‘Diseminasi Hasil Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga 2020′.
Dr. Sarpono menambahkan, estimasi tingkat nasional mencapai 25.000 sampel rumah tangga. Menurutnya, ini merupakan output yang cukup baik. Selain menyusun metodologi, BPS juga menyiapkan aspek lapangan seperti blok sensus, jumlah rumah tangga per blok sensus, dan menyiapkan aspek lapangan lainnya.
Menurut Kepala Puslitbang Upaya Kesehatan Masyarakat Kemenkes, Doddy Izwardy, sampling yang didapat untuk mengejar peningkatan kualitas air minum itu merupakan tujuan standar. Dari situ, ia bisa melihat sumber air mana yang kerap digunakan masyarakat serta risiko yang kemungkinan timbul karena kurangnya kualitas sumber air yang dipiliih.
Akses air rumah tangga layak itu 93 persen, 97,8 persen di kota, dan 87,1 persen di pedesaan yang aman hanya sebanyak 11,0 persen. Ini harus layak dan aman, kalau melihat keterjangkauan air di rumah sebanyak 40,2 persen, kawasan dalam pagar rumah 21 persen, dan di luar kawasan rumah 38,8 persen.
“Jadi kalau dilihat dari analisa dengan para pakar ketersediaan sarana air keperluan minum ada 95,8 persen, ini merupakan angka survei regional,” ujar Doddy.
“Air isi ulang ini memiliki 31,1 persen. Riset yang baru kami lakukan juga di tahun 2020 itu studi determinan status gizi hampir nggak jauh beda angkanya, jadi blok sensus yang dibangun BPS itu luar biasa jadi punya keuntungan untuk mengintegrasikan melihat dimensi sosial ekonominya,” ucapnya di acara yang sama.
Menurut dia, air isi ulang memiliki risiko pada kerusakan kemasan ditambah distribusi yang panjang sampai ke tempat penjualan, penggunaan air isi ulang di perkotaan mencapai 16 persen. Tidak hanya konsen pada kualitas dan kecukupan air minum namun kualitas perlu diperhatikan karena akan berpengaruh pada kesehatan dan pertumbuhan anak.
“Jadi di dalam program ini tidak bisa one fit for all karena air minum ini vital. Air ini sebenarnya zat gizi cuma tak bisa dikendalikan besar. Air isi ulang lebih banyak di Papua, ya air isi ulang ini yang harus dijaga kualitasnya. NTT (Nusa Tenggara Timur) stunting no. 1 di Indonesia, jadi ada korelasi air bersih sanitasi dengan kesehatan,” tambah Doddy,
Memenuhi kebutuhan air minum yang berkualitas merupakan hak dasar bagi bangsa, Indonesia berupaya mencapai titik air minum aman dikonsumsi masyarakatnya.
Direktur Kesehatan Lingkungan Kemenkes, R. Vensya Sitihan menjelaskan definisi air minum adalah untuk keperluan minum, masak, menyiapkan makanan, dan personal hygiene.
“Target RPJMN 2020-2024 taget 100 persen air minum layak, kalau sudah sampai sini pekerjaan rumah kita tinggal sedikit. Kualitas air rumah tangga aman, jadi secara rutin dilakukan pemantauan terhadap kualitas air minum. Jadi bertahap 2020 – 2024 taget itu bisa kita capai, 100 persen air minum layak, dan 15 persen akses air minum aman,” kata Vensya. (ant)