Site icon Bangga Indonesia

EPISTEMOLOGI PENDIDIKAN PANCASILA

Ir. Danang Sumiharta, M.Sc., MM., M.Si. (Analis Wawasan Kebangsaan dan Wakil Ketua Komnas Pendidikan Provinsi Jawa Timur)

Bismillahirrohmanirrohim

Epistemologi  biasanya didefinisikan sebagai cabang ilmu filsafat yang membahas tentang ilmu pengetahuan secara menyeluruh dan mendasar. Secara ringkas, epistemologi disebut sebagai ”theory of knowledge”. (Lihat, J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, (Yogyakarta: Kasinisius, 2002)).  Epistemologi berbicara tentang sumber-sumber ilmu dan bagaimana manusia bisa meraih ilmu. Sementara itu, knowledge atau ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam kehidupan manusia. Kaitan dengan judul tulisan ini ialah upaya untuk menggali konsep-konsep atau ilmu pendidikan berdasarkan Pancasila. Kajian ini penting, karena berbagai pihak saat ini sedang gencar-gencarnya bicara tentang Pancasila.

Jika ingin menyusun konsep pendidikan yang khas Indonesia berbasis Pancasila, sepatutnya berangkat dari makna kata-kata penting dalam Pancasila dan juga konteks sejarah penyusunan naskah Pembukaan UUD 1945, yang memuat naskah Pancasila. Jangan berangkat dari angan-angannya sendiri.  Ambillah contoh sila kedua: ”Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Para petinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tentu hafal betul bunyi sila tersebut. Tapi, bagaimana sepatutnya kita memahami sila kedua itu? Apa arti kata ”kemanusiaan”, ”adil” dan juga kata ”beradab” dalam sila tersebut?  Mengapa rumusannya bukan: ”Kemanusiaan yang berbudaya”, atau ”Kemanusiaan yang berbudi luhur”, atau ”Kemanusiaan yang berkarakter”? Mengapa?

Seperti diketahui, rumusan sila kedua itu merupakan bagian dari ’Piagam Jakarta’ yang dilahirkan oleh Panitia Sembilan BPUPK, tahun 1945, dan kemudian disahkan lalu diterima rumusannya oleh bangsa Indonesia, sampai  hari ini.  Sila kedua ini juga lolos dari sorotan berbagai pihak yang keberatan terhadap sebagian isi Piagam Jakarta, terutama rumusan sila pertama yang berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Jika dicermati, rumusan sila kedua Pancasila itu  menunjukkan kuatnya pengaruh ’Pandangan alam Islam” (Islamic worldview). Makna sila kedua itu sangat berbeda dengan rumusan yang diajukan oleh  Bung Karno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPK. Ketika itu, Bung Karno mengusulkan “lima sila” untuk Indonesia Merdeka, yaitu: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau Perikemanusiaan (3) Mufakat atau Demokrasi (4) Kesejahteraan Sosial (5) Ketuhanan.  Jadi, berdasarkan sila kedua Pancasila yang resmi berlaku, maka konsep kemanusiaan  yang seharusnya dikembangkan di Indonesia adalah kemanusiaan yang adil dan beradab; bukan kemanusiaan yang zalim dan biadab. Pertanyaannya kemudian, pandangan alam manakah yang bisa menjelaskan makna ”adil” dan ”adab” secara tepat?

Jawabnya, tentu ”Pandangan-alam Islam”. Sebab, kedua istilah itu – adil dan adab – merupakan istilah yang berasal dari kosa kata dasar Islam (Islamic basic vocabularies). Cobalah simak dan cermati, apakah ada padanan kata yang tepat untuk istilah ”adil” dan ”adab” dalam bahasa-bahasa yang ada di wilayah Nusantara? Hingga kini! Apakah bahasa Jawanya kata ”adil”? Apakah bahasa Sundanya kata ”adab”? Bagaimana kita harus menerjemahkan sila ”Kemanusiaan yang adil dan beradab” ke dalam bahasa Jawa? Bisa disimpulkan, kedua istilah dan konsep itu – yakni ”adil” dan ”adab” – mulanya memang hanya ditemukan dalam konsep Islam, dan karena itu penelusuran makna hakikinya tentu ditemukan dalam pandangan alam (worldview) Islam. Minimal, tidaklah salah, jika orang Muslim  Indonesia menafsirkan kedua istilah itu secara Islami. Rumusan sila kedua Pancasila itu menunjukkan, bahwa Pancasila sejatinya bukan sebuah konsep sekular atau konsep netral agama, sebagaimana sering dipaksakan penafsirannya selama beberapa dekade ini.

Masuknya kata ”adil” dan ”adab” dalam rumusan Pancasila, sebenarnya merupakan indikasi yang lebih jelas tentang cukup kuatnya pengaruh pandangan-alam Islam pada rumusan Pembukaan UUD 1945, yang memuat rumusan Pancasila. Itu juga ditandai dengan terdapatnya sejumlah istilah kunci lain yang maknanya sangat khas Islam, seperti kata “hikmah” dan “musyawarah”.  Kata ”adil” adalah istilah “khas” yang terdapat dalam banyak sekali ayat al-Quran. Sebagai contoh dalam al-Quran disebutkan, (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memerintahkan berlaku adil dan berbuat ihsan dan memberi kepada keluarga yang dekat  dan melarang dari yang keji, dan yang dibenci, dan aniaya. Allah mengingatkan kalian, supaya kalian ingat.” (QS 16:90).  Istilah adab juga merupakan salah satu istilah dasar dalam Islam. Para ulama telah banyak membahas makna adab dalam pandangan Islam. Kata adab bisa ditemukan dalam sejumlah hadits Nabi saw. Misalnya, Anas r.a. meriwayatkan, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda: ”Akrimū aulādakum, wa-ahsinū adabahum.”  Artinya, muliakanlah anak-anakmu dan perbaikilah adab mereka. (HR Ibn Majah).

Di Indonesia, K.H. M. Hasyim Asy’ari, pendiri NU, menulis sebuah buku berjudul  Ādabul ’Ālim wal-Muta’allim. Kyai Hasyim Asy’ari sangat menekankan pentingnya adab dalam ajaran Islam. Beliau menulis:”At-Tawhīdu yūjibul īmāna, faman lā īmāna lahū  lā tawhīda lahū;  wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā syarī’ata lahū, lā  īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā  ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H).   Jadi, menurut Kyai Hasyim, ”Siapa yang tidak mempunyai adab, sejatinya ia tidak bersyariat, tidak beriman, dan tidak bertauhid.”  Begitulah pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam, sehingga aspek keimanan dan syariat pun perlu menyertakan adab.  Dari judul Kitab Kyai Hasyim Asy’ari, Ādabul Ālim wal-Muta’allim, bisa dipahami, bahwa penerapan adab harus dimulai dari dunia pendidikan. Sebab, itulah pondasi pembangunan manusia beradab dan juga asas untuk mewujudkan peradaban mulia.

Begitu jelasnya bunyi sila kedua: Kemanusiaan yang adil dan beradab! Konsep adil dan adab itu juga sejalan dengan pasal 31 ayat 3 UUD 1945: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.”

Berikutnya, UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional  dan UU No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi pun menegaskan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah untuk membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Jadi, ada keterpaduan konsep tentang manusia Indonesia ideal – yang menjadi tujuan pendidikan — antara Pancasila, UUD 1945, UU Pendidikan Nasional, dan UU Pendidikan yang tinggi.  Untuk membentuk ”insan mulia” — manusia adil dan beradab, atau manusia bertaqwa – itulah tugas dunia pendidikan di Indonesia. Tujuan itu tidak mungkin diraih tanpa bimbingan wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Allah SWT). Maka, logisnya, konsep pendidikan dan keilmuan yang dikembangkan dan diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, sepatutnya tidak bertentangan dengan konsep pendidikan Nabi Muhammad Shalallahu ’alaihi Wassallam– khususnya bagi orang Indonesia yang muslim.  Maka, sesuai dengan istilah penting dalam Pancasila, UUD 1945, dan UU Pendidikan Nasional, seharusnya yang dikembangkan dan diaplikasikan adalah konsep pendidikan adab dan akhlak; bukan sekedar konsep pendidikan karakter. Pendidikan adab dan akhlak mengacu kepada al-Quran, Sunnah, dan tradisi pendidikan para ulama Islam, tanpa mengabaikan nilai-nilai positif pada budaya lokal.

Pendidikan adab dan akhlak  juga punya suri tauladan (uswah hasanah) yang jelas, yaitu Nabi Muhammad Shalallahu ’Alaihi Wassallam.  Tentu bukan tanpa maksud, jika sejak era Bung Karno, dilanjutkan oleh Pak Harto dan seterusnya, perayaan Maulid Nabi Muhammad dilaksanakan di Istana Negara. Dalam biografinya, Dia dan Aku: Memoar Pencari Kebenaran, (Jakarta: Kompas, 2006),  saat menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Daoed Joesoef mengaku pernah mengusulkan kepada Presiden Soeharto agar di Istana Negara juga diadakan Perayaan Natal, bukan hanya Perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Karena usulnya tidak dikabulkan Pak Harto, maka ia mengadakan Perayaan Natal Bersama di Departemen P&K yang dipimpinnya.

Apakah adil dan beradab, jika Nabi Muhammad Shalalallahu ’Alaihi Wassallamdiperingati hari lahirnya, tetapi tidak dijadikan sebagai suri tauladan dalam pendidikan dan kehidupan? Padahal, beliau diutus untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS 21:107). Beliau adalah manusia dengan akhlak paling mulia dan sempurna. (QS 68:4). Jadi, sangatlah adil dan beradab, jika kepada anak-anak muslim diajarkan konsep pendidikan akhlak, dengan Nabi Muhammad saw sebagai contoh utamanya. Siapa manusia yang bisa dijadikan suri tauladan dalam pendidikan karakter? Adakah manusia Indonesia yang berani mengaku ia lebih hebat akhlaknya daripada Nabi Muhammad Shalalallahu ’Alaihi Wassallam?

Epistemologi Beradab

Merujuk kepada Pancasila dan  UUD 1945, sepatutnya, Filsafat ilmu yang dijadikan sebagai pijakan konsep pendidikan nasional Indonesia harusnya bukan Filsafat Ilmu sekuler, yang mengabaikan atau mengecilkan konsep keilmuan berbasis wahyu (revealed knowledge). Dalam Aqaid Nasafiah dikatakan bahwa sebab manusia meraih ilmu ada tiga: dengan panca indera, khabar shadiq (termasuk wahyu), dan akal sehat. Adab dalam keilmuan mengharuskan bahwa ilmu wahyu yang bersifat pasti (’ilm), tidak bisa digusur oleh ilmu inderawi (empiris) yang bersifat dugaan dan spekulatif. Misal, teori bahwa manusia Indonesia adalah keturunan Nabi Adam a.s., tidak bisa dikalahkan oleh ”teori” bahwa manusia Indonesia berasal dari ’hominid’ (sebangsa kera). Sebab, hingga kini, tidak ada seorang manusia pun bisa membuktikan, bahwa kera bisa menjadi manusia. Atau, tidak ada manusia yang bisa membuktikan bahwa dirinya pernah menjadi kera. Pun, hingga kini, belum ada profesor yang kawin dengan kera dan kemudian memiliki anak, 75% kera dan 25% manusia. Silakan buktikan!

Contoh lain adalah pelajaran tentang teori ”kebutuhan manusia”. Hingga kini, masih juga diajarkan, bahwa kebutuhan primer manusia adalah makan, minum, sandang, dan papan. Belum diajarkan di sekolah-sekolah bahwa yang juga termasuk dalam kebutuhan primer manusia adalah berzikir kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Padahal, ayat al-Quran begitu jelas pesannya: ”Ingatlah, dengan berzikir kepada Allah, hati akan menjadi tenang!” (QS 13:28). Jadi, berzikir itu merupakan kebutuhan primer manusia, karena kebutuhan manusia bukan hanya aspek fisik!

Lagu Indonesia Raya mengamanahkan: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Logisnya, pemerintah kemudian mengembangkan konsep pembangunan jiwa bangsa, agar bangsa ini sehat jiwa dan raganya; agar jiwanya jauh dari ciri utama manusia Indonesia – yakni MUNAFIK – sebagaimana dipidatokan oleh budayawan Mochtar Lubis, di Taman Ismail Marzuki, 6 April 1977. Kata Mochtar Lubis: “Salah satu ciri manusia Indonesia yang cukup menonjol ialah HIPOKRITIS alias MUNAFIK. Berpura-pura, lain di muka, lain di belakang, merupakan sebuah ciri utama manusia Indonesia sudah sejak lama…”Al-Quran menyebut, bahwa ”pembangunan jiwa insan” itu adalah ”tazkiyatun nafs”. Manusia yang beruntung adalah yang membersihkan jiwanya, dan manusia yang celaka adalah yang mengotori jiwanya.  (QS 91:9-10). Maka, sungguh tidak adil dan beradab, jika konsep pembangunan jiwa al-Quran tidak diajarkan di sekolah-sekolah dan di perguruan tinggi.

Meskipun bukan secara tegas ditegaskan bahwa Indonesia adalah Negara Islam, tetapi para perumus Pembukaan UUD 1945, seperti Bung Karno, Bung Hatta, KH Wahid Hasyim, Haji Agus Salim, dan sebagainya, telah berjuang agar negara ini berdasar kepada Ketuhanan Yang maha Esa. Apalagi para pimpinan negeri ini adalah muslim, semua mereka dan kita semua, kelak akan berdiri di depan Satu-Satunya Hakim yang Maha adil, yaitu Allah Subhanahu Wata’ala; mempertanggung jawabkan kebijakan dan amal kita.

Indah sekali pesan pujangga besar, Raja Ali Haji dalam Gurindam 12:  ”Barangsiapa tiada memegang agama, maka sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama!”

Wallahu a’lam bish shawab.*

Ir. Danang Sumiharta, M.Sc., MM., M.Si. (Analis Wawasan Kebangsaan dan Wakil Ketua Komnas Pendidikan Provinsi Jawa Timur)

Exit mobile version