GORES
Dewi Fibrianti Astuti dari SMK N 4 Surabaya
Tululut tululut tululut. Telepon di ruangan berbunyi bersamaan dengan pena yang baru saja ku letakkan.
“Selamat siang Ibu Rachma Dwi Astuti selaku CEO PT. HARAPAN KASIH. File proposal yang ditawarkan oleh vendor sudah saya kirim ke email anda ya bu. Silakan dicek sudah masuk atau tidak, Terima kasih.” Ucap sekretaris dari sambungan telepon.
“Baik, akan saya cek setelah ini. Terima kasih.” Balasku sambil mengembalikan gagang telepon.
Ku sisihkan tumpukan berkas, mempersiapkan laptop kebanggaan untuk menunjukkan data-data yang akan aku analisa. Jemariku mulai berdansa ria di atas deretan tombol-tombol. Ku tekan ikon amplop merah bertuliskan gmail seperti biasanya akan hadir sederetan iklan yang akan menyita waktu untuk menontonnya. Ku buang pandangan dari laptop dan beralih pada segelas air putih berada di samping, betapa ia terlihat menyegarkan. Nampaknya aku terlalu sibuk dengan rentetan berkas itu sampai tega membuat tenggorokanku sendiri kering.
“Ingin hasil ujian maksimal ? Ingin masuk sekolah favorit ? Segera bergabung bersama BrilianUs !” Tutur sang duta merek di sela-sela akhir durasi iklan.
Seketika aku berhenti meneguk air dan berpaling pada layar laptop. Kata-kata itu terdengar tidak asing. Sama seperti terpaan ombak yang dengan tega mengikis pasir di tepi pantai, arus kilas balik mendesak untuk kembali ke masa lalu saat aku menginjak bangku SMP. Saat itu dunia terasa begitu dingin, ingin rasanya menyerah dan ikut membeku bersama angan-angan kosong ku.
Aku duduk dibangku sekolah dasar dan menjadi siswa dari lembaga bimbingan belajar ternama tentunya membuatku ingin mendapatkan nilai akademik tinggi. Menjelang Ujian Nasional tiada hari tanpa soal, bahkan waktu bermain terlewatkan. Karena berpikir keras membuat tenaga seolah terkuras habis dan tidur adalah pilihan yang tepat daripada bermain. Bak alu pencukil duri hasil akhir yang didapatkan hanya standar rata-rata sehingga membuat aku “terbuang” dari SMP terbaik impian dan pada tahap akhir perankingan namaku tercantum di sekolah pilihan ke-3. Hufft… kecewa dan merasa bersalah pada keluarga datang secara bersamaan seolah badai datang memporak poranda kan hidupku.
Maklum, terlahir dari keluarga berlatar belakang pendidikan yang tinggi membuatku memegang tanggung jawab besar atas mewujudkan harapan mereka, alih-alih merealisasikan aku malah meruntuhkannya. Sejak saat itu lah Ayah dan Bunda tidak akan mengizinkanku bepergian sepulang sekolah kecuali pergi ke tempat bimbingan belajar atau izin kerja kelompok. Kakakku yang baik, penurut, dan pintar selalu menjadi tolak ukur atas pencapaian diriku membuat hari-hari terasa sesak dililit oleh berbagai tuntutan.
Segala sesuatu yang ku lakukan tak pernah sepenuhnya benar dimata keluarga, selalu saja ada cela untuk mereka memojokan, jangan begini dan harus begitu adalah kalimat andalan yang terlalu sering terdengar. Itu sebabnya,sikapku berubah menjadi sangat pendiam, sibuk membaca komik di kamar, dan sudah jarang berbagi kisah kepada keluarga. Pada suatu ketika orang tua ku mengajak ke suatu tempat yang tak pernah di duga yaitu psikiater. Aku mencoba mengendalikan emosi dan sebisa mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaan dari psikolog dengan tenang meskipun sekujur tubuh bergetar meratapi diri yang tampak nanar.
“Baik Bapak dan Ibu setelah saya lihat dari dampak dan akibat perubahan perilaku ananda Rachma tidak ada masalah yang serius. Rachma masih dalam proses peralihan dari masa anak-anak ke remaja ini normal. Rachma hanya butuh cinta, kasih sayang serta dukungan kearah positif yang sangat berpengaruh terhadap pembentukan karakter…”
Itulah yang bisa ku tangkap dari apa yang dikatakan psikolog selebihnya aku tak tahu rasa sedih, kesal, dan kecewa campur aduk memecahkan fokus. Di tengah perjalanan pulang aku terus melamun melihat ke arah luar jendela sambil sesekali menyeka air mata yang berhasil lolos dari pelupuk mata dan saat itu lah aku mengetahui hal yang paling menyakitkan adalah menangis tanpa suara. Sekolah dan tempat bimbel adalah tempat pelarian dari masalah keluarga hampir seluruh waktu ku habiskan di sana Terlepas perubahan sikapku di rumah teman-teman mengenalku sebagai sosok yang ceria dan konyol, tak heran mereka selalu menjadikanku sebagai bahan candaan mereka akan mulai tertawa sambil memanggil “zombi” saat aku datang di pagi hari berjalan dengan sempoyongan. Yaaa begitulah bimbel selama 4 jam ditambah PR dari sekolah yang menumpuk memaksaku untuk tetap terjaga di tengah malam membuatku seringkali tak cukup istirahat dan kurang berenergi.
Sudah 2 tahun predikat itu tercap padaku menjadi saksi kuatnya diri ini masih mampu berpura-pura bahagia pada dunia dengan tawa konyol di wajah sedangkan jiwa merintih kepedihan akan hati yang terus menerus tergores. Awalnya, aku pikir berteman hanyalah status sosial belaka tak ada arti khusus di hidup ini sampai suatu ketika seseorang hadir membuat hatiku merasakan kembali kehangatan cinta kasih yang beberapa tahun terakhir tak pernah ku rasakan khususnya dari keluarga. Dia adalah Dewi Rihana salah satu murid pintar di kelas sikapnya yang terlihat serius membuatku sungkan untuk sekadar bertegur sapa, kita mulai bersahabat pada 1 tahun terakhir di SMP melalui pembentukan kelompok belajar.
Aku selalu bertanya tentang tugas matematika yang sulit dipahami baik dari sekolah maupun dari tempat bimbingan belajar kepada Rihana. Begitupun, dia yang rutin meminta penjelasan fisika dariku. Dia ngotot menyodoriku dengan soal-soal latihan sambil berkata “Kamu kan pintar fisika, gampang ini buat kamu sambil tidur juga bisa ngerjainnya” membuat keraguan dalam diriku berubah menjadi ajang untuk menonjolkan kemampuanku. Di antara semua orang dia lah yang paling percaya padaku bahkan melebihi kepercayaan ku terhadap diriku sendiri itu yang membuat hati ini perlahan terbuka untuk nya. Seiring berjalannya waktu kita semakin dekat, aku bisa melihat sisi lainnya yang ceria mematahkan stigma bahwa hidupnya terlalu kaku.
Namun sisi serius nya lebih mendominan membuatnya acak kali memiliki selera bercanda yang berbeda dia tidak suka dengan cacian walau dalam konteks bergurau. Pernah satu hari dia membelaku saat aku di olok “zombi pemalas” oleh teman kelas karena tanganku tiba-tiba kram mungkin dampak dari ngebut merangkum bab 3 biologi sampai tengah malam jadi aku mendribble basket dengan lemas saat pelajaran PJOK di lapangan. Kemudian, ia mencecar mereka dengan sederet pertanyaan apa alasan kalian berkata seperti itu? Apa dia berbuat salah ? Apa dia mengganggu kalian sehingga dia pantas menerima apa yang kalian katakan? Tidak kan! tolong bercanda lah sewajarnya saja! membuat beberapa orang menatap sinis ke arahnya. Hati ku tersentuh sekaligus menyesal karena berhari-hari semenjak kejadian itu Rihana selalu mendapatkan komentar negatif dari teman kelas sedangkan aku tidak punya cukup keberanian untuk melindunginya.
“Rihana, aku minta maaf ya.” Ucapku sambil bersiap untuk duduk di sampingnya
“Sudahlah kamu tidak perlu minta maaf. Aku hanya berharap mereka sadar dan bisa bersikap baik namun nyatanya tidak. Ini bukan pertama kalinya, sejak kelas 7 mereka selalu menggunjing dan menatap sinis setiap aku mendapatkan apresiasi dari para guru. Daripada terpuruk dalam kebencian, lebih baik menjadikannya sebagai motivasi untuk giat belajar. Dengan begitu aku bisa mendapatkan prestasi yang lebih tinggi, itu lah cara yang keren untuk membalas para pengidap penyakit hati seperti mereka.” Balas nya dengan semangat yang berapi-api walau terlihat jelas air mata membendung di kelopak matanya.
Tak ku sangka dibalik kebahagian yang kita tunjukkan selama ini kami sama-sama menyimpan luka. Seketika, air mata membasahi pipi untuk pertama kalinya hatiku merasa sakit melihat kesedihan yang orang lain rasakan, lalu dia bertanya apakah aku baik-baik saja. Air mataku tumpah, membuatku ngin bercerita bagaimana seorang Rachma dengan segala masa-masa sulitnya. Saat, aku bercerita tak ada respon dari Rihana, dia malah mengeluarkan kertas dan pena kemudian serius menulis sampai mengabaikan keberadaanku seolah yang ku katakan adalah omong kosong lalu beberapa menit kemudian dia menyerahkan secarik kertas.
“Untuk Rachma Dwi Astuti teman terbaikku. Aku tahu itu sulit untukmu, sesulit apapun kamu harus yakin bisa melewatinya. Kamu hebat bisa bertahan sejauh ini Rachma! Rachma cerdas dan aku yakin kamu bisa lebih dari ini, jika kamu ikhlas dan mencintai aktivitasmu yaitu belajar dan bersekolah bahkan saat sudah kerja. Harapan pertamaku adalah kamu melakukannya bukan karena tuntutan keluarga melainkan kesadaran diri bahwa dengan belajar kamu akan menjadi orang yang berguna terutama bagi dirimu sendiri. Menurutku, keluargamu bersikap begitu semata-mata untuk kebaikanmu hanya saja cara penyampaian mereka dan cara penerimaanmu yang tak bisa untuk ada pada perspektif yang sejalan. Harapan kedua ku adalah jangan ragu untuk keluar dari crycle toxic friendship dengan alasan takut tidak punya teman. Tenang orang yang tepat akan datang pada waktu yang tepat pula, contohnya seperti aku ini hehe. Dan, harapan ketiga alias yang terakhir semoga kita bisa bertemu esok pada titik puncak kesuksesan. Dari Dewi Rihana teman terbaikmu.”
Dengan Bibir bergetar dan isakan tangis yang masih tersisa akhirnya aku berhasil melafalkan surat darinya sampai selesai. Lalu, kami saling mendekap satu sama lain melepaskan segala beban di hati berjanji seterjang apapun jalan menuju kesuksesan kita akan selalu siap menghadapi sekalipun harus tertatih. Basah di pipi menyadarkanku dari lamunan masa lalu ku buka laci untuk memastikan keberadaan surat itu, untungnya masih tersimpan rapi berlaminating. Mataku menelusuri tiap sudut ruangan berwarna coklat pastel ini sambil mendekap erat surat darinya. Meja marmer dengan vas bunga di atasnya, kursi empuk yang sedang ku duduki, seperangkat komputer mewah, lemari lengkap dengan dokumen yang tertata rapi dan papan nama bertuliskan CEO melambangkan buah hasil perjuanganku. Terima kasih Rihana telah percaya atas kemampuanku, sehingga aku lebih percaya diri dan sampai pada titik ini. Lama tak jumpa, aku merindukanmu Rihana ucapku sambil bersiap kembali pada pekerjaan yang menanti.