Harta yang Halal adalah Kunci Keberkahan dan Mustajabahnya Doa
Sobat. Seorang muslim seharusnya mendapat harta yang halal, makan dan minum yang halal dan dari sumber yang halal, mendapatkan hiburan dengan cara yang halal, menonton apa yang halal, dan seterusnya. Oleh karena itu menjalani kehidupan yang halal menjadi fokus spiritual dalam tindkan kita sehari-hari.
Allah SWT berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلرُّسُلُ كُلُواْ مِنَ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَٱعۡمَلُواْ صَٰلِحًاۖ إِنِّي بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-Mu’minun (23) : 51 )
Sobat. Allah memerintahkan kepada para nabi supaya memakan rezeki yang halal dan baik yang dikaruniakan Allah kepadanya dan sekali-kali tidak dibolehkan memakan harta yang haram, selalu mengerjakan perbuatan yang baik, dan menjauhi perbuatan yang keji dan mungkar. Para nabi itulah orang yang pertama yang harus mematuhi perintah Allah, karena mereka akan menjadi teladan bagi umat di mana mereka diutus untuk menyampaikan risalah Tuhannya. Perintah ini walaupun hanya ditunjukkan kepada para nabi, tetapi ia berlaku pula terhadap umat mereka tanpa terkecuali, karena para nabi itu menjadi panutan bagi umatnya kecuali dalam beberapa hal yang dikhususkan untuk para nabi saja, karena tidak sesuai jika diwajibkan pula kepada umatnya. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
Hai manusia, sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik, Dia tidak menerima kecuali yang baik. Sesungguhnya Allah Ta’ala memerintahkan kepada orang-orang yang beriman apa yang diperintahkan-Nya kepada Rasul-rasul-Nya. Maka Rasulullah saw membaca ayat ini (ya ayyuhar-rusulu kulu minath-thayyibati wa’malu saliha inni bima ta’malu ‘alim, “Wahai para rasul! Makanlah dari (makanan) yang baik-baik, dan kerjakanlah kebajikan. Sungguh, Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.). Kemudian Rasulullah saw membaca lagi ayat ya ayyuhalladzina amanu kulu min thayyibati ma razaqnakum¦Kemudian Nabi menerangkan keadaan seseorang yang telah melakukan perjalanan panjang (lama), rambutnya tidak teratur dan penuh debu, dan makanannya dari yang haram, minumannya dari yang haram dan pakaiannya dari yang haram pula. Orang itu berkata sambil menadahkan tangan ke langit, “Ya Tuhanku! Ya Tuhanku! Bagaimana mungkin doanya itu akan terkabul?” (Riwayat Muslim dan at-Tirmidzi)
Pada ayat ini Allah mendahulukan perintah memakan makanan yang halal dan baik baru beramal saleh. Hal ini berarti amal yang saleh itu tidak akan diterima oleh Allah kecuali bila orang yang mengerjakannya memakan harta yang halal dan baik dan menjauhi harta yang haram. Menurut riwayat yang diterima dari Rasulullah, beliau pernah bersabda:
Sesungguhnya Allah tidak menerima ibadah orang yang dalam perutnya terdapat sesuap makanan yang haram. Dan diriwayatkan dengan sahih pula bahwa Nabi saw bersabda, “Setiap daging yang tumbuh dari makanan yang haram maka neraka lebih berhak membakarnya.” (Riwayat Muslim dan at-Tirmizi)
Di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi hatim dan Ibnu Mardawaih dari Ummi Abdillah saudara perempuan Syaddad bin Aus ra:
Bahwa Ummi Abdillah mengirimkan seteko susu kepada Rasulullah ketika beliau akan berbuka puasa. Susu itu ditolak oleh Rasulullah dan beliau menyuruh pembawa susu itu kembali dan menanyakan kepadanya dari mana susu itu didapatnya. Ummi Abdillah menjawab, “Itu susu dari kambingku sendiri.” Kemudian susu itu ditolak lagi dan pesuruh Ummi Abdillah disuruh lagi menanyakan dari mana kambing itu didapat. Ummi Abdillah menjawab, ‘ saya beli kambing itu dengan uangku sendiri.” Kemudian barulah Rasulullah menerima susu itu. Keesokan harinya Ummi Abdillah datang menemui Rasulullah dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau selalu menolak susu itu?” Rasulullah menjawab, “Para rasul diperintahkan supaya jangan memakan kecuali yang baik-baik dan jangan berbuat sesuatu kecuali yang baik-baik pula.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dan Ibnu Mardawaih)
Demikianlah perintah Allah kepada para Rasul-Nya yang harus dipatuhi oleh umat manusia karena Allah Maha Mengetahui amal perbuatan manusia, tak ada satu pun yang tersembunyi bagi-Nya. Dia akan membalas perbuatan yang baik dengan berlipat ganda dan perbuatan jahat dengan balasan yang setimpal.
Allah SWT berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ كُلُواْ مِن طَيِّبَٰتِ مَا رَزَقۡنَٰكُمۡ وَٱشۡكُرُواْ لِلَّهِ إِن كُنتُمۡ إِيَّاهُ تَعۡبُدُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.” ( QS. Al-Baqarah (2) :172 )
Sobat. Di dalam ayat ini ditegaskan agar seorang mukmin makan makanan yang baik yang diberikan Allah, dan rezeki yang diberikan-Nya itu haruslah disyukuri. Dalam ayat 168 perintah makan makanan yang baik-baik ditujukan kepada manusia umumnya. Karenanya, perintah itu diiringi dengan larangan mengikuti ajaran setan. Sedangkan dalam ayat ini perintah ditujukan kepada orang mukmin saja agar mereka makan rezeki Allah yang baik-baik. Sebab itu, perintah ini diiringi dengan perintah mensyukurinya.
Sobat. Waspadalah terhadap bahayanya harta yang haram. OK, apa saja bahaya harta haram itu? Mari kita simak satu per satu.
Yang pertama: Di akhirat, harta haram akan dipikulkan di pundak orang yang memilikinya. Bayangkan, jika harta haram itu berbentuk mobil truk dan jumlahnya ada 10 buah. Bagaimana rasanya memikul mobil truk 10 buah? 1 saja berat apalagi 10. 10 detik saja belum tentu kuat apalagi 50 ribu tahun. Itu baru truknya, bagaimana jika ditambah dengan muatannya yang juga merupakan harta haram? Dimana muatan harta haram itu diambil setiap hari dan berlangsung selama bertahun-tahun? Ngeri ngga?
Itu yang pertama. Apa bahaya yang pertama sobat ?
Kemudian, yang kedua adalah doa pemilik harta haram tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT. Sobat , kalau doa kita tidak dikabulkan oleh Allah SWT, Rabb pencipta kita, Rabb pemilik kehidupan kita dan Rabb pemilik alam semesta termasuk dunia dan segala isinya, kepada siapa lagi kita akan berharap? Ada? Jelas tidak ada. OK, itu yang kedua. Apa yang kedua?
Yang ketiga, jika harta haram itu disedekahkan, maka tidak akan diberi pahala oleh SWT. Artinya, amal yang kita lakukan bernilai sia-sia. Rugi ga? Sementara tugas utama kita di dunia ini, sebelum kita pulang menghadap Allah SWT, adalah mencari pahala sebanyak-banyaknya. Itu yang ketiga. Apa yang ketiga?
Yang keempat, tubuh orang yang memiliki harta haram lebih layak masuk neraka. Artinya apa? Artinya tubuh orang tersebut tidak boleh masuk surga sebelum disiksa terlebih dahulu di dalam neraka dengan siksa yang pedih luar biasa.
Sobat, panasnya api neraka adalah 70x lipat panasnya api dunia. Sekarang coba bayangkan, kalau kita masuk kedalam ruangan tertutup berisi api yang menyala-nyala, rasanya kira-kira seperti apa? Panas, pengap, dan tersiksa luar biasa. Bagaimana kalau kita dimasukkan ke dalam neraka yang tertutup dan panas apinya berlipat-lipat? Berapa kali lipat panasnya api neraka? 70x lipat. Itu baru tempatnya, belum makanannya, belum minumannya, belum pakaiannya, belum tempat tidurnya, semuanya menjadi siksa yang pedih luar biasa bagi penghuni neraka.
Sobat , sebagai contoh, silakan buka QS. Al-Hajj ayat 19 dan 20. Disitu diceritakan kepala penduduk neraka itu disiram oleh air yang sedang mendidih kemudian hancurlah segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga hancurlah kulit mereka. Ngeri ngga Bapak/Ibu? Itu yang keempat. Apa yang keempat?
OK sampai disini dulu, sebelum kita lanjutkan ke poin nomor 5, mari kita tarik napas bersama-sama…
Sudah? Siap untuk melihat bahaya yang kelima? OK, kita lihat poin nomor 5. Yang kelima adalah harta haram yang ditinggalkan akan menjadi bekal pemiliknya ke neraka. Sudahlah disiksa dengan siksa yang sangat menyiksa, orang tersebut juga akan ditambah siksanya dengan harta haram yang dia tinggalkan. Bapak/ibu, coba bayangkan kalau tambahan siksanya itu berupa 10 buah mobil truk yang diperoleh dengan cara haram. Panas, haus, lapar, sulit bernafas, dibakar api yang panasnya berlipat-lipat kemudian ditambah juga dengan harus memikul harta haram yang dia tinggalkan di dunia. Tersiksa ga? Sangat-sangat-sangat tersiksa.
Apa itu harta haram? Harta haram adalah setiap harta yang diharamkan syariah atas seorang muslim untuk memiliki dan memanfaatkannya. Definisi ini dapat dilihat di dalam buku Hukum-hukum Harta Haram karya Syekh Abbas Ahmad Muhammad Al-Baz di halaman 39.
Sobat. Contoh Babi itu termasuk harta haram. Konsekuensinya, babi itu tidak boleh atau haram dimiliki/dipelihara walaupun untuk sekedar hobi. Hobi kok melihara babi?
Konsekuensi berikutnya, babi itu tidak boleh atau haram disembelih. Termasuk haram hukumnya bapak/ibu membantu menyembelih babi. Faham?
Berikutnya lagi, babi itu tidak boleh diternakan. Artinya sebagai seorang muslim, Bapak/Ibu haram beternak babi.
Coba bayangkan, babi itu sekali beranak bisa 10-11 ekor. Beda dengan kambing. Berapa banyak kambing sekali melahirkan? Ga banyak, rata-rata paling 2-3 ekor. Sementara babi sekali beranak berapa banyak? 10-11 ekor. Kalau harga 1 anak babi umur 35-40 hari kisaran 800rb x 10 ekor, sekali beranak potensi pendapatannya sekitar 8 juta rupiah. Itu baru dari 1 ekor induk babi. Kalau punya 100 ekor induk babi? Potensinya sekitar 800 juta. Menarik! Tergiur beternak babi?
Salah satu orang terkaya di China adalah Qin Yinglin, pemilik peternakan babi terbesar di China. Hartanya di bulan Oktober 2019 ini sekitar 194 trilyun (kurs Rp 14.000 per dollar). Banyak ngga? Buanyak banget…
Tapi Bapak/Ibu tidak boleh tergiur, karena beternak babi hukumnya haram. OK?
Berikutnya, babi tidak boleh atau haram diperjualbelikan. Uang hasil penjualan babi hukumnya haram. Jelas?
Terakhir, seluruh pemanfaatan harta haram, hukumnya haram. Artinya kalau kita memanfaatkan harta haram itu, baik itu dimakan, diminum, dipakai, dijual dsb hukumnya haram.
Sobat, jika ada seseorang memiliki uang haram, kemudian dengan uang tersebut dia membeli suatu barang, maka barang yang dibeli oleh orang tersebut hukumnya haram. Haram dimiliki, haram dimakan, haram dimanfaatkan, haram diperjualbelikan.
Misalnya, kalau uang hasil korupsi dibelikan domba 1.000 ekor, maka domba tersebut hukumnya haram bagi koruptor tersebut. Haram dimiliki, haram dimakan, haram dimanfaatkan, haram diperjualbelikan.
Sobat, perlu kita ketahui bahwa macam-macam harta haram itu 2. Apa saja itu?
Yang pertama, harta yang haram secara dzatnya… Ok, sekarang kita lihat, contoh harta yang haram karena dzatnya.
Yang pertama, contohnya adalah khamr. Apa itu khamr? Khamr adalah setiap yang memabukkan. Nabi saw bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ خَمْرٌ وَكُلُّ خَمْرٍ حَرَام
“Setiap yang memabukan adalah khomr dan setiap khomr adalah haram.” (HR. Muslim)
OK, apa yang berikutnya? Kita lihat bangkai, darah dan babi. Darimana kita tahun bangkai, darah dan babi itu haram? Silakan dilihat QS. Al-Maidah surat ke 5 ayat 3, apa bunyinya?
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ
Apa artinya? “Diharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi“
Jadi jelas, bangkai, darah dan babi itu haram dzatnya, haram memilikinya, haram memanfaatkannya, dan haram menjualbelikannya.
Termasuk anjing. Haram memiliki anjing, haram memanfaatkan anjing, dan haram menjualbelikan anjing. Kecuali anjing penjaga. Boleh memilikinya, boleh memanfatkannya untuk menjaga kebun/sawah kita, dan boleh juga menjual anjing untuk menjaga kebun/sawah milik pembeli.
Yang kedua, harta yang haram karena cara memperolehnya…contoh harta haram karena cara memperolehnya. Harta riba, harta judi, Harta judi, Harta suap (risywah), Harta curian (mengambil harta orang lain secara diam-diam), Harta rampasan/ghosob (mengambil harta orang lain secara paksa), Harta hasil penipuan.
Sobat. Uang riba secara dzat tidak najis. Ketika kita pegang uang tersebut kemudian kita shalat, maka shalatnya tetap sah. Harta riba bermasalah karena cara memperolehnya. Orang memberikan pinjaman 1 juta kemudian bulan depan minta dikembalikan 1,2 juta. Yang 200rb dinamakan riba.
Sobat. Suap yang dalam bahasa Arab, risywah, bermakna „menyuap‟ (al-Munawwir, 1997:501). Secara umum dan terminologis, suap adalah harta yang diperoleh, disebabkan oleh terselesaikannya suatu kepentingan manusia yang sebenarnya tidak mendapatkan imbalan. Dengan kata lain, harta yang diperoleh dengan jalan selesainya suatu keperluan atau kepentingan, yang sebenarnya dengan selesainya keperluan atau kepentingan itu tidak mendapatkan imbalan. Suap (risywah) dalam Mu‟jam Fuqaha, sebagaimana Arim dalam Kamus Pintar Ekonomi Islam (2014:171) disebutkan, “risywah adalah pemberian harta dan sejenisnya untuk membatilkan yang hak dan membuat benar yang batil”, sedangkan Taqiyuddin An Nabhani (2011:544) mengartikan sebagai „imbalan atas pelaksanaan pekerjaan yang wajib dikerjakan tanpa imbalan oleh orang yang berwewenang atau sebagai imbalan atas tidak dilaksanakannya pekerjaan yang wajib dikerjakan‟
Dari Abdullah bin ‘Amr, dia berkata: Rasûlullâh saw bersabda:
لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي
“Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap”. [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]
Imam Syafii menjelaskan apa saja kriteria hadiah yang tergolong haram (risywah). Pertama, hadiah dengan maksud si pemberi hadiah itu mendapatkan haknya lebih cepat daripada waktunya yang semestinya.
Kedua, hadiah dengan maksud bahwa si pemberinya memperoleh sesuatu yang bukan haknya.
Misalnya, seorang hakim menerima hadiah dari tergugat atau terdakwa supaya pihak-pihak yang berperkara itu dimenangkan dalam perkaranya atau dibebaskan dari tuntutan hukuman. Padahal, bukti-bukti yang ada menunjukkan sebaliknya.
Ketiga, hadiah dengan maksud bahwa pejabat yang bersangkutan mem bebaskan si pemberi dari seluruh atau sebagian kewajiban yang seharusnya ditunaikannya.
Sebagai contoh, hadiah yang diterima seorang petugas pajak dari si wajib pajak sehingga kewajiban pajaknya diperkecil.
Keempat, hadiah yang dikategorikan sebagai pemerasan.
Dalam hal ini, si pemberi dipaksa melakukan penyuapan untuk mencegah dirinya dari kerugian yang akan mengancam keselamatan diri, kepentingan, orang-orang, atau hal-hal lain yang penting baginya.
Sobat sekali lagi Harta riba, harta judi, harta suap, harta curian, harta rampokan dan harta hasil penipuan haram dimiliki dan haram dimanfaatkan.
Pada zaman beliau SAW, pernah ada kasus yang menegaskan seorang pejabat dilarang menerima suap.
Sebagaimana diriwayatkan Abi Humaid as-Sa’idy, suatu ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang laki-laki untuk menjadi amil zakat bagi bani Sulaim.
Namanya, Abdullah bin al-Latbiyah. Setelah melaksanakan tugasnya, pria itu menghadap Nabi SAW. Dia berkata, “Ini harta zakat untukmu (wahai Rasulullah SAW untuk baitulmal) dan yang ini adalah hadiah (untukku).” Rasulullah SAW pun menanggapinya:
أفلا جلس في بيت أبيه أو أمه حتى تأتيه هديته إن كان صادقً “Jika engkau benar (dalam menunaikan tugas), apakah engkau (mau) duduk di rumah ayah atau ibumu maka hadiah itu datang kepadamu?”
Setelah kejadian ini, beliau SAW berpidato di hadapan orang-orang. Sehabis mengucapkan puji-pujian kepada Allah, bersabdalah baginda sembari mengutip kata-kata Ibnu al-Latbiyah tadi. Kemudian, Nabi SAW mengingatkan kepada sekalian hadirin:
والله لا يأخذ أحد منكم شيئًا بغير حقه إلا لقي الله تعالى، يحمله يوم القيامة، فلا أعرفن أحدًا منكم لقي الله يحمل بعيرًا له رُغَاءٌ، أو بقرةً لها خُوَارٌ، أو شاة تَيْعَرُ
“Demi Allah, begitu seseorang mengambil sesuatu dari hadiah itu tanpa hak, nanti pada Hari Kiamat dia akan menemui Allah dengan membawa hadiah (yang diambilnya itu). Lalu, saya akan mengenalinya, dia memikul di atas pundaknya (bagaikan) unta melekik atau sapi melenguh atau kambing mengembek.”
Hadits cukup panjang yang disahihkan Imam Bukhari itu jelas mewanti-wanti kaum Muslimin agar berhati-hati dalam menjalankan amanat publik, apalagi yang berkaitan dengan ibadah syariat. “ Barang siapa yang telah aku angkat sebagai pekerja dalam satu jabatan kemudian aku beri gaji maka sesuatu yang diterima di luar gajinya adalah ghulul (korupsi),” demikian hadits lainnya dari Nabi SAW, sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud.
Sobat. Prinsip yang harus kita yakini : Ketaatan kepada Allah SWT akan membawa kebaikan/kemaslahatan. Setiap dosa (termasuk memiliki dan memanfaatkan harta haram) akan mengakibatkan keburukan/ kemudhorotan.
Sobat. Dalama bahasa Ustadz Felix Siauw, taat bahagia, maksiyat sengsara. Artinya kalau kita taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita akan mendapatkan kebahagiaan. Tetapi jika kita maksiyat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka kita akan mendapatkan kesengsaraan.
Sekali lagi, taat bahagia, maksiyat sengsara.
( DR Nasrul Syarif M.Si. Dosen Pascasarjana UIT Lirboyo dan Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur. Penulis Buku Gizi Spiritual )