Heta: “Kembali untuk Memberi Bukti”
Karya: Faiza Zahra Aulia
SMP NEGERI 1 JENANGAN, PONOROGO
Heta adalah seorang anak yang tinggal di pelosok desa yang bernama “Kampung Sungai Jati”. Sesuai dengan namanya para penduduk tinggal di pinggir sungai yang berada ditengah-tengah hutan Jati. Sebagian besar penduduk di desa tersebut bekerja sebagai buruh tambang yang bertempat di desa seberang. Ekonomi penduduk di desa tersebut terbilang cukup miris dan memprihatinkan. Kadang penggunaan listrik pun juga harus menunggu giliran dari pemerintah. Dari keadaan tersebut banyak anak-anak yang tidak bisa bersekolah, mereka justru memilih ikut bekerja dengan orang tuanya. Tetapi berbeda dengan orang tua Heta yang menginginkan anaknya untuk tetap bersekolah dan menjadi orang sukses. Mereka ingin Heta tidak seperti ayah dan ibunya seperti sekarang.
“Kring…kring…kring…” suara alarm jadul milik seorang anak gadis yang bernama Heta, alarm sudah menunjukkan pukul 4 pagi. Mendengar suara alarm tersebut Heta bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melakukan sholat Subuh bersama ayah dan ibu nya. Hal ini sudah ia lakukan sejak kecil. Hal disiplin, taat dan patuh sudah ditanamkan pada diri Heta dari orang tua nya dari ia masih kecil. “Heta segera sarapan dan bersiap untuk bersiap pergi ke sekolah” teriak ibu Heta dari arah dapur. Mendengar itu Heta langsung pergi ke dapur untuk sarapan bersama ibunya. Ayah Heta sudah berangkat bekerja setelah subuh tadi dan pulang nya sore hari menjelang petang.
“Ibu… akankah hari ini aku bisa terpilih untuk masuk di SMA unggulan itu??, aku merasa tidak yakin akan hal ini” ucap Heta sedikit murung karena tidak yakin bisa diterima di SMA unggulan tersebut,” Jangan seperti itu nak… Ibu yakin kamu pasti bisa. Ingat usaha tidak akan mengkhianati hasilnya” ucap ibu Heta sambil mengelus kepala Heta yang menunduk. Saat itu juga Heta merasa mendapat dorongan untuk tetap bersemangat dan yakin bahwa dia bisa. Jam sudah menunjukkan pukul 06.30, Heta berangkat ke sekolah, tak lupa ia mencium tangan ibunya. Ia berangkat dengan mengendarai sepeda tua milik ibunya.
“Cekrek..” Heta memakirkan sepeda di dalam sekolah. Zura merasa terheran dan terkejut melihat teman-temannya yang menggunakan mobil untuk ke sekolah. Disaat itu juga seluruh pandangan mata tertuju kepada Heta, dia hanya bisa menunduk sambil berjalan tanpa menghiraukannya. “Baik anak-anak silahkan memasuki ruangan XI IPS 2 untuk mengikuti test seleksi” terdengar suara panitia dari toa sekolah. Saat mendengar itu, Heta seketika langsung gemetar dan muncul keringat dingin. Tetapi Heta berusaha menghilangkan semua perasaan itu. Heta berjalan dengan tegap menuju ruangan tersebut sambil kedua tangannya memegang tas di pundaknya. “emhhmm.. huh… aku pasti bisa” tepat di depan pintu ruangan tersebut Heta menarik napas cukup dalam dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia bisa melakukannya.
Seleksi test telah selesai, jam menunjukkan pukul 11.40 seluruh siswa berkumpul di lapangan untuk menanti pengumuman. “Terimakasih anak-anak telah mengikuti test seleksi yang diadakan di SMA Jati unggulan ini,” ucap bapak kepala sekolah yang diikuti tepuk tangan para siswa. Disaat itu juga Heta berdoa kepada Tuhan dan merasa ini harapan satu-satunya untuk bisa membanggakan orang tua nya. Datanglah seorang panita sambil membawa kertas dan berjalan mengarah ke tempat mikrofon berada. “Baiklah adik-adik saya akan mengumumkan hasil seleksi tets tadi. Untuk adik-adik yang diterima segera menuju ruangan kantor untuk mengambil buku, tetapi ingat tetap antri dan tertib! dan bagi adik-adik yang tidak diterima jangan berkecil hati dan tetap semangat.” Tak disangka nama Heta terpanggil untuk siswa yang diterima, seketika dia langsung menangis sambil mengucap syukur kepada Tuhan untuk semua ini. Setelah semua selesai, Heta memutuskan untuk segera pulang karena tidak sabar ingin memberitahu kabar gembira ini kepada ibunya.
“Assalamu’alaikum Ibu..” teriak Heta dari depan pintu, “Wa’alaikumussalam iya nak sebentar” balas ibu heta dari arah dapur yang sedang mencuci piring. Ibu Heta segera membukakan pintu, Heta langsung memeluk ibunya sambil menangis. “Loh.. ada apa ini? mengapa kamu menangis nak?” ucap ibu Heta sambil kebingungan, Heta menceritakan semua nya kepada ibunya dan mereka berdua berpelukan sambil menangis bahagia. “Tapi ibu… ada yang ingin aku sampaikan kepada ibu” Heta mengatakan dengan nada sedih, “Jadi pembelajaran dilakukan secara online menggunakan handphone karena saat ini belum bisa bertatap muka karena masalah pandemi covid-19 ini” ucap Heta sambil menatap ibunya. “Benarkah nak? Jika kamu menggunakan handphone milik mu itu tetap bisa?” ucap ibu Heta sambil memegang kedua tangan Heta. Heta membuka tasnya dan mengambil handphone-nya ia menatap sambil berfikir bagaimana nasibnya jika dia hanya punya handphone jadul bekas ayahnya ini bahkan masih menggunakan tombol sebagai medianya. “Apakah tidak ada cara lain nak untuk tetap bisa mengikuti pembelajran ini tanpa lewat handphone?” ucap ibu Heta yang merasa kasihan kepada anaknya, “Mungkin bisa bu, besok Heta akan pergi ke sekolah untuk memastikannya” ucap Heta sambil tersenyum kepada ibunya. Heta adalah seorang anak yang tidak tega melihat orang tunya sedih karena dirinya, dia mengalihkan kesedihan itu dengan senyum manisnya meskipun dibalik senyumnya menyimpan rasa sedih yang tak mau dia tunjukkan kepada orang tuanya.
“Tok.. tok.. tok.. Assalamu’alaikum” terdengar suara laki-laki yang cukup keras sambil mengetuk pintu rumah Heta. Mendengar suara tersebut, Heta bergegas lari membukakan pintu dang langsung memeluk laki-laki tersebut…. tak lain ia adalah ayah Heta yang baru pulang dari kerjanya. Heta menceritakan semua apa yang terjadi hari ini pada ayahnya. Keluarga kecil Heta sekarang diselimuti rasa bahagia, tetapi Heta masih memikirkan bagaimana besok ia bisa mengikuti pelajaran.
Jam menunjukkan pukul 4 pagi, Heta bangun dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan melaksanakan sholat subuh dengan ayah dan ibunya. Mereka sarapan pagi bersama, kebetulan hari ini ayah Heta libur bekerja. “Ibu pagi ini nanti aku akan pergi ke sekolah dan nanti mungkin akan pulang sedikit sore” ucap Heta setelah selesai makan. Sambil mengelus kepala Heta, ibunya berkata “Baiklah nanti ibu bawakan bekal untuk kamu”. “Nak maafkan ayah belum bisa memberikan fasilitas yang cukup untuk kamu, ayah benar-benar merasa sangat sedih melihatmu seperti ini. “Tak apa ayah mungkin ini memang ujian untuk Heta, Heta yakin bahwa Heta bisa menjadi orang sukses. Dan saat ini Heta hanya meminta do’a dari ayah dan ibu” ucap Heta dengan tersenyum sambil memegang kedua tangan ayah dan ibunya. “Ayah…. Ibu…. aku pamit dulu ya kalian tetap di rumah saja jangan khawatirkan aku, ingat ini Heta yang sudah besar bukan Heta si anak TK lagi” ucap Heta sambil tertawa karena ucapannya sendiri. Ayah dan ibunya hanya bisa membalas dengan senyuman, mereka tahu dibalik tawa Heta ia menyimpan rasa sedih hanya demi orang tuanya.
Heta mengendarai sepeda tuanya untuk pergi ke sekolah, sekitar 30 menit Heta sampai di sekolahnya. Betapa bingungnya Heta melihat gerbang sekolah yang tertutup dan dikunci dengan gembok dan juga tidak ada satu orang pun disekolah tersebut. Heta berusaha mengetuk-ketuk pintu gerbang dan mencoba berteriak untuk membukakan pintu gerbang tersebut. Sudah 1 jam heta melakunnya tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan sekarang Heta duduk di bawah pohon randu yang ada di sepanjang jalan raya depan sekolahnya. Hingga jam 3 sore Heta masih tetap menunggu tetapi tidak ada siapapun di sekolahnya. Heta pun memutuskan untuk pulang, walau ada rasa sedikit kecewa.
“Assalamu’alaikum ayah.. ibu.. Heta pulang” ucap Heta sambil memakirkan sepedanya. Heta masuk rumah dan menemui ayah dan ibunya….. “Wa’alaikumussalam nak, bagaimana tadi apakah kamu sudah bertemu dengan ibu guru?” Tanya ibu Heta yang sedkit khawatir. “Tidak bu, tadi benar-benar tidak ada seorang pun di sekolah” jawab Heta kepada ibunya. “Sudah jangan bersedih, besok kamu coba lagi untuk pergi ke sekolah, apakah besok perlu ayah antar untuk pergi kesekolahnya?” ucap ayah Heta sambil mengelus kepala Heta dengan lembut. “Tidak usah ayah, tidak apa-apa Heta bisa berangkat sendiri, dan bukannya besok ayah harus bekerja?” tanya Heta kepada ayahnya. “Iya memang besok ayah harus bekerja tapi tak apa jika ayah harus mengantarkan anak ayah ke sekolah terlebih dahulu”. “Tak apa ayah Heta bisa berangkat sendiri, ayah bekerja saja” jawab Heta dengan senyum manisnya yang selalu membuat oraang yang melihat senyumnya merasa lebih bahagia.
Keesokan paginya Heta pergi lagi ke sekolah, tetapi tidak seperti kemari. Heta berangkat lebih awal dengan tujuan agar bisa bertemu dengan bapak atau ibu guru. Setelah 30 menit perjalanan ke sekolah Heta sampai di depaa pintu gerbang sekolah dan seperti kemarin gerbangnya tertutup dan dikunci gembok, tetapi Heta masih menunggu di depan gerbang, tak terasa Heta sudah menunggu lebih dari 2 jam. Karena cuaca sudah mau hujan Heta memutuskan untung pulang. Sampai di rumah Heta menceritakan kepada ibunya bahwa tadi tidak ada seorang pun di sekolah, hal ini membuat Heta menjadi sedih, akan etapi Heta tetap pergi ke sekolah walau Heta tidak bertemu dengan bapak atau ibu guru di sekolahnya. Heta sudah pulang pergi dari rumah hingga sekolah selama 1 minggu dan tetap tidak ada hasilnya.
1 minngu telah lewat, hari kembali menjadi Senin lagi. “Ibu bagaimana ini sudah satu minggu sejak awal Heta tidak bisa mengikuti pembelajaran sekolah” ucap Heta sambil menundukkan kepalanya karena sedih “Nak.. ketika kamu ke sekolah apakah benar-benar tidak ada seorang pun disana? Bagaimana jika ki-” ucapan ibu Heta terpotong karena terdengar suara ketukkan pintu dari luar rumah. “Tok..tok..tok permisi..” Heta dan ibunya pergi membuka pintu “Oh iya ada apa ya pak? Silahkan masuk terlebih dahulu” ucap ibu Heta kepada seorang bapak-bapak tersebut. “Tidak usah bu, saya hanya ingin memberikan surat ini kepada ananda Heta, ini surat dari sekolah” ucap bapak-bapak tersebut sambil memberikan sebuah amplop yang berisi surat. “Oh iya terimakasih pak, ada apa ya pak ini?” ibu Heta bertanya dengan sedikit kebingungan “Maaf ibu saya tidak tahu saya hanya disuruh pihak sekolah untuk mengantarkan surat ini ke rumah ananda Heta, sudah bu saya pamit dulu terimakasih” ucap bapak tersebut sambil membungkukkan badan untuk pergi. “Oh iya pak sekali lagi saya ucapkan terimakasih” balas ibu Heta.
Heta dan ibunya membuka bersama surat tersebut dan ternyata itu adalah surat teguran untuk Heta karena tidak mengikuti pembelajaran online selama satu minggu, dan meminta Heta dan orang tuanya untuk datang ke sekolah. “Ibu bagaimana ini Heta sudah mendapat surat teguran dari sekolah”, “Tidak apa-apa Heta besok ibu akan menemanimu pergi ke sekolah dan disana ibu akan jelaskan semuanya kepada kepala sekolah” ucap ibu Heta untuk menenangkan anaknya. Keesokan paginya Heta dan ibunya pergi ke sekolah. Sesampai di sekolah Heta dan ibunya pergi ke ruang kepala sekolah.
“Apakah ini benar ibu dari ananda Heta?” – Bapak Ojin (Kepala sekolah)
“Iya pak benar saya ibu dari ananda Heta” – Ibu Heta
“Kenapa Heta bisa tidak mengikuti pembelajaran selama satu minggu ini?, padahal ini baru pertama kali masuk kenapa bisa seperti ini?” – Ucap pak Ojin dengan tegas
“Jadi begini pak…” – Ibu Heta menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya yang membuat Heta tidak bisa mengikuti pembelajaran.
“Heta apakah benar kamu sudah pergi ke sekolah setiap hari dalam satu minggu ini?” – Tanya pak Ojin kepada Heta untuk memastikan kebenaran yang diucapkan oleh ibu Heta.
“Iya pak benar saya pergi ke sekolah setiap pagi tetapi tidak ada seorang pun di sekolah, saya sudah menunggu di depan gerbang sampai sore tetapi tidak ada seorang pun yang tahu” – Jelas Heta kepada pak Ojin.
“Para guru berada di sekolah sejak pagi sampai 4 sore, bagaimana kamu bisa berkata seperti itu apakah kamu berbohong kepada saya” – Balas pak Ojin kepada Heta
“Tidak pak saya tidak berbohong” – Ucap Heta lirih
“Sudahlah, jika kamu tahu kalau kamu miskin kenapa sekolah? lebih baik tidak usah sekolah kalau seperti ini bukan kamu saja yang repot tapi pihak sekolah juga ikut menanggungmu jadi terpaksa kamu bapak keluarkan dari sekolah” – Ucap pak Ojin dengan nada tinggi kepada Heta.
Mendengar itu Heta hanya bisa menangis lirih dan ibunya hanya bisa menenangkan. Tiba-tiba ada seorang tukang kebun sekolah yang bernama pak Sobin masuk ke ruangan pak Ojin. “Maaf pak sebelumnya saya ingin menjelaskan tentang kejadian yang sebenarnya tentang ananda Heta ini” ucap tukang kebun itu kepada kepala sekolah”. Pak Sobin menjelaskan apa yang pak Sobin lihat. Sebenarnya saat hari Jum’at dan Sabtu kemarin pak Sobin sempat melihat Heta duduk di depan gerbang tetapi pak Sobin tidak tahu jika itu murid yang ingin datang ke sekolah, dia kira hanya seorang yang berteduh di depan gerbang sekolah. Setelah menceritakan semuanya, pak Ojin percaya dengan perkataan Heta dan Ibunya. Akhirnya pak Ojin meminta maaf kepada Heta dan ibunya karena sudah salah paham. Tetapi Heta tetap menerima hukuman karena tidak mengikuti pembelajaran dalam satu minngu, hukuman tersebut berupa pengurangan nilai kepada Heta.
Semenjak saat itu, setiap pagi Heta harus pergi ke sekolah untuk mengambil tugas harian. Walau seperti itu, Hera tetep semangat karena Heta sudah berjanji untuk bisa menjadi orang sukses agar bisa membanggakan ayah dan ibunya. Hari-hari sudah terlewat, kerja keras Heta untuk tetap bisa bersekolah sangat kuat dengan semua ini terbayarkan. Heta mendapatkan ranking 1 paralel dari kelas 10 sampai kelas 12. Memang peribahasa yang satu ini tidak pernah salah “usaha tidak akan mengkhianati hasil”.
3 tahun telah berlalu, hari ini saatnya ujian sekolah yang biasa disebut dengan UN. “Heta…ayo segera sarapan! hari ini kamu ujian, kamu harus makan banyak, supaya nanti kamu bisa mengerjakan dengan lancar” teriak ibu Heta sambil menyiapkan sarapan. Heta pun datang dan melahap semua makanan yang disiapkan oleh ibunya. “Ibu aku sudah selesai makan, Heta berangkat dulu ya”. “Iya hati-hati ya selalu berdoa dan kamu harus percaya diri bahwa kamu bisa” ucap ibu Heta memberi semangat kepada anaknya. Heta mencium tangan ibunya dan meminta doa untuk kelancaran ujiannya nanti. Ujian telah selesai tak disangka Heta mendapat nilai tertinggi di tingkat SMA. Hari kelulusan telah tiba dimana seluruh siswa mengajak orang tuanya untuk datang. Betapa bahagianya ayah dan ibu Heta melihat anaknya mendapatkan ranking 1 nilai tertinggi ditingkat SMA, dan sekarang Heta mendapat banyak Tawaran dari berbagai Universitas ternama untuk mengajak Heta bergabung. Akhirnya Heta memutuskan untuk melanjutkan ke universitas yang menjadi mimpinya sejak kecil yaitu “Universitas Panca Bakti”.
Saat menjadi mahasiswa, Heta mendapatkan beasiswa jadi tidak terlalu membebani orang tuanya. Heta pun berhasil lulus dalam waktu 4 tahun, mendapat IP tertinggi dan bisa langsung bekerja sebagai seorang guru. Saat ini Heta berumur 23 tahun tetapi ia sudah menjadi seorang guru. Setelah sukses Heta tak lupa akan perjuangkan ayah dan ibunya. Heta selalu menyempatkan waktunya untuk selalu bersama ayah dan ibunya.
Setelah beberapa tahun menjalani karir sebagai seorang guru. Heta pun ditunjuk untuk menjadi kepala sekolah di “SMA Jati”, itu adalah sekolah Heta dahulu. Saat mendengar berita tersebut Heta langsung teringat masa-masa dimana dia diremehkan, disitu Heta membuat perjanjian pada dirinya sendiri untuk bisa menjadi kepala sekolah yang adil dan bertanggung jawab. Hari pertama masuk, Heta menjadi seorang kepala sekolah adalah hari Senin dan disitu pertama kalinya Heta menjadi pembina upacara. Saat waktu amanat pembina upacara, disitu Heta menceritakan kisahnya saat bersekolah disitu, seketika seluruh guru menangis mengingat kejadian itu dan semua guru tak menyangka bahwa Heta adalah murid miskin yang dahulu hampir dikeluarkan dari sekolah tersebut. Saat ini Heta merasa sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu mendukung dan memberi semangat kepada Heta, sekarang Heta menjadi seorang kepala sekolah yang adil dan bertanggung jawab kepada semua guru, murid, wali murid, maupun kepada lingkungan sekitar.
******SELESAI******