Bangga Indonesia, Jakarta – Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa puasa Ramadhan adalah hukum wajib, dan merupakan salah satu rukun Islam.
Namun dalam situasi tertentu puasa Ramadhan tidak boleh dilakukan, seperti bagi wanita yang sedang haid atau setelah melahirkan, atau bagi mereka yang sedang dalam perjalanan jauh. Tetapi mereka tetap memiliki kewajiban untuk melakukan qadha di hari lain.
Persoalannya kemudian, orang yang meninggalkan puasa Ramadhan seringkali menunda atau bahkan lupa menunaikan qadha (mengganti) puasanya hingga Ramadhan berikutnya.
Menanggapi hal tersebut, simak sesi tanya jawab bersama Ustadz Mahbub Maafi Ramdlan, Wakil Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU:
Menurut mayoritas ulama, dalam hal seseorang dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam, seperti sakit, perjalanan jauh, haid dan melahirkan, menunda pelaksanaan qadha hingga Ramadhan berikutnya, ia wajib membayar fidyah disertai dengan kewajiban berpuasa qadha .
Pandangan mayoritas ulama ini sebenarnya dianalogikan dengan status seseorang yang dengan sengaja membatalkan puasanya tanpa alasan yang dibenarkan oleh hukum Islam.
Karena baik orang yang sengaja membatalkan puasa maupun orang yang sengaja menunda pelaksanaan qadha puasanya hingga Ramadhan berikutnya, sama-sama dianggap mengabaikan kemuliaan puasa.
Demikian seperti yang kita pahami dari apa yang disampaikan Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu sebagai berikut; Demikian pula, wajib membayar fidyah dan menunaikan qadha – menurut mayoritas ulama (selain mazhab Hanafi) – pada orang yang melalaikan qadha puasa Ramadhan sehingga ia menunda qadha pada sejumlah puasa yang tersisa hingga puasa berikutnya. . Hal ini karena dianalogikan dengan orang yang sengaja membatalkan puasanya (tanpa alasan yang dibenarkan syariah, penting). Karena keduanya dianggap orang yang tidak menghormati kemuliaan puasa. (Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz, 2, hlm. 688-689)
Tentang BesaranFidyah yang harus dibayar adalah satu lumpur atau sekitar tujuh ons beras untuk setiap sisa puasa, dan diberikan kepada orang miskin.
Bahkan menurut pendapat kuat di mazhab syafi’i, fidyah bisa dilipatgandakan sesuai dengan penundaan yang berlipat ganda.
Misal seseorang pada tahun 2019 tidak berpuasa selama lima hari dan baru melakukan qadha setelah berpuasa pada tahun 2021, maka wajib membayar fidyah sebanyak dua kali. Totalnya 10 lumpur .
Namun menurut mazhab Maliki dan Hanbali, fidyah tidak berlipat ganda.
Jadi bagaimana jika orang-orang menunda implementasiqadha tanpa alasan syar’i, lalu meninggal meninggalkan hutang puasa Ramadhan?
Dalam konteks ini, Syekh al-Islam Zakariya al -Anshari dalam Syarh Manhaj menjelaskan; “Jika seseorang menunda qadha puasa, sementara ada kesempatan untuk melakukan qadha , sampai bulan Ramadhan berikutnya, maka dia meninggal, maka untuk setiap hari puasa yang tersisa, dua lumpur dikeluarkandari warisannya; satu lumpur karena dia meninggalkan puasanya satu hari dan lumpur lainnyakarena dia menunda pelaksanaanpuasa qadha- nya.
Ini adalah kasus jika tidak ada yang membuat qadha-kan puasa, tetapi jika ada, maka cukup dengan mengeluarkan satu lumpur sebagai denda karena keterlambatan. ” (Lihat, Syekh Nawawi Banten, Kasyifah as-Saja, hal. 114).
Selanjutnya, bagaimana dengan orang yang memiliki kewajiban berpuasa qadha, sedangkan ia lupa berapa hutangnya dalam puasa?
Seharusnya karena itu hutang kepada Tuhan, harus dicatat dengan baik oleh orangnya agar tidak dilupakan.
Tetapi jika Anda lupa maka cara yang paling masuk akal adalah membuat perkiraan yang meyakinkan. Dengan kata lain, orang tersebut wajib menjalankan puasa qadha sampai dia yakin bahwa semua qadha telah dilaksanakan.
Ini seperti kewajiban melaksanakan shalat qadha bagi orang yang meninggalkannya karena ada udzur, sedangkan dia sendiri tidak tahu atau lupa berapa jumlahnya.
Dalam hal ini, menurut mayoritas ulama, ia wajib melakukan qadha hingga ia yakin bahwa tanggung jawabnya berupa shalat wajib telah dibayar atau dipenuhi. (Lihat, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz, XVI, hal.204). (ant)