Site icon Bangga Indonesia

Introspeksi diri dan Bertaubatlah !

Introspeksi diri  dan Bertaubatlah

مَّآ أَصَابَكَ مِنۡ حَسَنَةٖ فَمِنَ ٱللَّهِۖ وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٖ فَمِن نَّفۡسِكَۚ وَأَرۡسَلۡنَٰكَ لِلنَّاسِ رَسُولٗاۚ وَكَفَىٰ بِٱللَّهِ شَهِيدٗا  (٧٩)

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi. “ (QS. An-nisaa’ :79 )

Sobat. Dari segi kesopanan bahwa sesuatu yang baik yang diperoleh seseorang hendaklah dikatakan datangnya dari Allah. Malapetaka yang menimpa seseorang itu hendaklah dikatakan datangnya dari dirinya sendiri, mungkin pula karena disebabkan kelalaiannya atau kelalaian orang lain apakah dia saudara, sahabat atau tetangga.

Sobat. Khalifah Umar bin Khattab pernah berkata:

“Hisablah diri (introspeksi) kalian sebelum kalian dihisab, dan berhias dirilah kalian untuk menghadapi penyingkapan yang besar (hisab). Sesungguhnya hisab pada hari kiamat akan menjadi ringan hanya bagi orang yang selalu menghisab dirinya saat hidup di dunia.” (Diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Shifatul Qiyamah, oleh Imam Ahmad dalam kitab Zuhud-nya. Dan Ibnul Qayyim dalam Madarijus Salikin 1/319)

Menurut khalifah Umar, mengevaluasi diri lebih awal akan memberikan keuntungan kepada kita kelak. Karena dengan rajin mengevaluasi diri sendiri, manusia akan mengetahui dan mengenali kelemahan serta kekurangannya agar dapat segera diperbaiki, mumpung masih hidup di dunia. Hal ini akan memperkecil untuk melakukan kesalahan, sehinga akan memperingan pertanggungjawaban dalam kehidupan di akhirat kelak.

Allah SWT  berfirman dalam QS Al-Hashr ayat 18 :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَلۡتَنظُرۡ نَفۡسٞ مَّا قَدَّمَتۡ لِغَدٖۖ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَۚ إِنَّ ٱللَّهَ خَبِيرُۢ بِمَا تَعۡمَلُونَ   (١٨)

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” ( QS. Al-hashr :18 ).

Sobat. Kepada orang-orang yang beriman diperintahkan agar bertakwa kepada Allah, dengan melaksanakan perintah-perintah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Termasuk melaksanakan perintah Allah ialah memurnikan ketaatan dan menundukkan diri hanya kepada-Nya, tidak ada sedikit pun unsur syirik di dalamnya, melaksanakan ibadah-ibadah yang diwajibkan, dan mengadakan hubungan baik sesama manusia.

Dalam ayat yang lain diterangkan tanda-tanda orang bertakwa:

Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan ke barat, tetapi kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan salat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar, dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (al-Baqarah/2: 177)

Sobat. Dalam Al-Qur’an ungkapan kata takwa mempunyai beberapa arti, di antaranya: Pertama, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan diajarkan Rasulullah saw seperti contoh ayat di atas. Kedua, takut melanggar perintah Allah dan memelihara diri dari perbuatan maksiat.

Sobat. Orang yang bertakwa kepada Allah hendaklah selalu memperhatikan dan meneliti apa yang akan dikerjakan, apakah ada manfaat untuk dirinya di akhirat nanti atau tidak. Tentu yang akan dikerjakannya semua bermanfaat bagi dirinya di akhirat nanti. Di samping itu, hendaklah seseorang selalu memperhitungkan perbuatannya sendiri, apakah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Jika lebih banyak dikerjakan yang dilarang Allah, hendaklah ia berusaha menutupnya dengan amal-amal saleh. Dengan perkataan lain, ayat ini memerintahkan manusia agar selalu mawas diri, memperhitungkan segala yang akan dan telah diperbuatnya sebelum Allah menghitungnya di akhirat nanti.

Sobat. Suatu peringatan pada akhir ayat ini agar selalu bertakwa kepada Allah, karena Dia mengetahui semua yang dikerjakan hamba-hamba-Nya, baik yang tampak maupun yang tidak tampak, yang lahir maupun yang batin, tidak ada sesuatu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.

Segeralah Bertaubat!

Sobat. Kesalahan dan dosa-dosa yang dilakukan oleh manusia banyak sekali. Setiap hari, manusia pernah berbuat dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar, baik dosa kepada Khaliq (Allah Maha Pencipta) maupun dosa kepada makhlukNya. Setiap anggota tubuh manusia pernah melakukan kesalahan dan dosa. Mata sering melihat yang haram, lidah sering bicara yang tidak benar, berdusta, melaknat, sumpah palsu, menuduh, membicarakan aib sesama muslim (ghibah), mencela, mengejek, menghina, mengadu-domba, memfitnah, dan lain-lain.

Telinga sering mendengarkan lagu dan musik yang membuat lalai dari ingat Allah , tangan sering menyentuh perempuan yang bukan mahram, mengambil barang yang bukan miliknya (ghasab), mencuri, memukul, bahkan membunuh, atau melakukan kejahatan lainnya. Kaki pun sering melangkah ke tempat-tempat maksiat dan dosa-dosa lainnya.

Dosa dan kesalahan akan berakibat keburukan dan kehinaan bagi pelakunya, baik di dunia maupun di akhirat, bila orang itu tidak segera bertaubat kepada Allah. Setiap muslim dan muslimah pernah berbuat salah, baik dia sebagai orang awam maupun seorang ustadz, da’i, pendidik, kyai, atau pun ulama. Karena itu, setiap orang tidak boleh lepas dari istighfar (minta ampun kepada Allah) dan selalu bertaubat kepadaNya, sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau setiap hari memohon ampun kepada Allah dengan mengucapkan istighfar sebanyak 100 kali padahal beliau dijamin masuk surga maka seharusnya kita banyak-banyak  beristighfar kepada Allah.

Sobat. Taubat wajib dilakukan dengan segera, tidak boleh ditunda. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,”Sesungguhnya segera bertaubat kepada Allah dari perbuatan dosa hukumnya adalah wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda.”

Demikian pula  Imam An Nawawi rahimahullah berkata,”Para ulama telah sepakat, bahwa bertaubat dari seluruh perbuatan maksiat adalah wajib; wajib dilakukan dengan segera dan tidak boleh ditunda, apakah itu dosa kecil atau dosa besar.

وَلَيۡسَتِ ٱلتَّوۡبَةُ لِلَّذِينَ يَعۡمَلُونَ ٱلسَّيِّ‍َٔاتِ حَتَّىٰٓ إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ ٱلۡمَوۡتُ قَالَ إِنِّي تُبۡتُ ٱلۡـَٰٔنَ وَلَا ٱلَّذِينَ يَمُوتُونَ وَهُمۡ كُفَّارٌۚ أُوْلَٰٓئِكَ أَعۡتَدۡنَا لَهُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا   (١٨)

“Dan tidaklah taubat itu diterima Allah dari orang-orang yang mengerjakan kejahatan (yang) hingga apabila datang ajal kepada seseorang di antara mereka, (barulah) ia mengatakan: “Sesungguhnya saya bertaubat sekarang”. Dan tidak (pula diterima taubat) orang-orang yang mati sedang mereka di dalam kekafiran. Bagi orang-orang itu telah Kami sediakan siksa yang pedih.” ( QS. An-Nisaa’ : 18 )

Sobat. Tetapi tobat tidak akan diterima Allah jika datangnya dari orang yang selalu bergelimang dosa sehingga ajalnya datang barulah ia bertobat. Orang semacam ini seluruh kehidupannya penuh dengan noda dan dosa, tidak terdapat padanya amal kebajikan walau sedikit pun. Bertobat pada waktu seseorang telah mendekati ajalnya sebenarnya bukanlah penyesalan atas dosa dan kesalahan, melainkan karena ia telah putus asa untuk menikmati hidup selanjutnya. Jadi tobatnya hanyalah suatu kebohongan belaka.

Begitu pula Allah tidak akan menerima tobat dari orang yang mati dalam keadaan kafir, ingkar kepada agama Allah. Kepada mereka ini yakni orang yang baru bertobat setelah maut berada di hadapannya atau orang yang mati dalam keingkarannya, Allah mengancam akan memberikan azab yang pedih nanti di hari perhitungan sesuai dengan apa yang telah diperbuatnya semasa hidupnya di dunia.

Sobat. Tingkat orang yang melakukan tobat yang telah diperingatkan ini diperinci oleh para sufi sebagai berikut:

  1. Ada orang yang memiliki jiwa yang pada dasarnya (fitrahnya) sempurna dan selalu dalam kebaikan. Orang yang demikian apabila suatu waktu tanpa kesengajaan berbuat kesalahan walau sekecil apapun ia akan merasakannya sebagai suatu hal yang sangat besar. Ia sangat menyesal atas kejadian tersebut dan segera ia memperbaiki kesalahannya dan menjauhkan diri dari perbuatan itu. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs mutmainnah.
  2. Ada kalanya seseorang memiliki jiwa yang memang pada dasarnya labil, goyah, sehingga segala tindak tanduknya dikemudikan oleh nafsu dan syahwatnya saja. Sifat yang sudah demikian mendalam pada dirinya dan telah mendarah daging. Setelah sekian lama ia bergelimang dosa dengan memperturutkan kehendak hawa nafsunya akhirnya datanglah hidayah dan taufik Allah kepadanya sehingga ia sadar dan berjuang untuk memperbaiki tindakannya yang salah dan ia kembali pada tuntunan yang diberikan Allah. Hal semacam ini memang jarang terjadi dan bagi yang mendapatkannya benar-benar merupakan orang yang diberi petunjuk oleh Allah. Nafsu yang seperti di atas disebut nafs ammarah.
  3. Ada pula orang yang memiliki jiwa di mana untuk mengerjakan dosa besar ia dapat mawas diri, sehingga ia tidak pernah mengerjakannya, tetapi mengenai dosa kecil sering dilakukannya, dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, kadang-kadang nafsu dan syahwatnya dapat ditundukkan dan menanglah petunjuk bahkan kadang-kadang terjadi sebaliknya. Nafsu yang demikian disebut dengan nafs musawwilah.
  4. Terakhir ada pula orang yang memiliki nafs lawwamah. Orang ini sama sekali tidak dapat menghindarkan diri dari perbuatan dosa, baik besar maupun kecil. Apabila ia mengerjakan dosa maka datang kesadarannya dan ia bertobat minta ampun. Tetapi suatu saat datang lagi dorongan nafsu syahwatnya untuk berbuat dosa dan ia kerjakan pula dan kemudian bertobat lagi sesudah datang kesadarannya, begitulah seterusnya. Tobat yang demikian itu adalah tobat yang terendah derajatnya, namun begitu kepada orang seperti ini tetap dianjurkan agar selalu mengharap ampunan dari Allah.

( DR Nasrul Syarif M.Si.  Penulis Buku Gizi Spiritual dan Santripreneur  Santri Milenial . Dosen Pascasarjana IAI Tribakti Lirboyo. Wakil Ketua Komnas Pendidikan Jawa Timur )

Exit mobile version