Jangan Perlakukan Anakku seperti korban Covid
Petir menggelegar membelah angkasa, suaranya yang memekakkan Telinga terus bersahutan, Derasnya hujan lebih keras suara tangisku melepas anak semata wayangku.
Aku memukul pintu kaca tebal berulang kali, aku menyaksikan nafas anakku dari kejauhan, dari luar ruangan
“Susteeerrr…anakkku …anakku, ” aku berteriak
Anakku jangan pergi nak, ibu disini, jangan pergi nak..” pintaku
Sayup matanya mulai redup, lalu tak bergerak lagi
Dokterr….suster biarkan saya masuk, dia anakku dok! “Aku berteriak histeris
Aku lunglai, lemas saat melihat isyarat dokter kepada suster perawat.
Aku pingsan beberapa saat, sayup sayup aku dengar suara orang memanggil namaku, aku buka mata perlahan, aku sudah didalam minibus.
Aku bergegas mencari anakku, lmana anakku…mana anakku? “pintaku
Sementara proses pemakaman” jawab saudaraku
Aku menoleh kearah kanan, aku lihat beberapa orang berpakaian serba bahan plastik lentur menutup seluruh tubuhnya, menggunakan help dan masker
“Lepaskan aku, lepaskan aku, kalian tidak boleh melakukan ini pada anakku, dia tidak menderita covid, ” aku meronta namun orang orang memegang tanganku
Sekali lagi aku hanya bisa memandangi dari kejauhan, menyaksikan beberapa diantara mereka bergantian menimbun pusara anakku.
3 hari sebelumnya
Pukul 21.00 anakku mengiggau, memanggil Ayahnya, tubuhnya panas.
Sdh 2 hari ia memanggilnya, dan sempat tersambung melalui panggilan vidio call, ayahnya mengabarkan kondisi Papua sdh Lockdown selama seminggu, tak ada penerbangan, tak ada kapal merapat dan tak ada logistik masuk.
2 hari sebelumnya
Pukul 03.00 dini hari panas badannya tak turun turun. Aku menelpon nomor darurat, diluar hujan turun lebat sekali.
Diujung panggilan hanphoneku suara wanita menjawab, ” Selamat pagi, dengan Call Centre Rumah Sakit Bahteramas, ada yang bisa kami bantu? ” “mbak anak saya demam tinggi sejak menjelang malam, apa bisa armadanya menjemput anak saya?” ” baik dengan Ibu siapa dan alamatnya dimana?” cs bertanya kembali, aku menjawab sebelum menutup panggilan.
30 menit kemudian suara sirene terdengar, mobil parkir tepat di depan rumah kontrakanku, dan beberapa orang keluar berpakaian serba tertutup rapat, helm dan masker.
Salah saorang bertanya memastikan Namaku dan pesan panggilan Mobil Ambulans. Aku mengangguk dan mempersilahkan mereka masuk, memindahkan ke ranjang lipat dan mengangkatnya ke mobil.
Aku bergegas hendak masuk kemobil namun petugas menghalangi, sambil berkata lirih “mhn maaf Ibu kami belum bisa memastikan gejala anak Ibu, Ibu bisa ikut kami dengan kensaraan terpisah. Ibu bisa menemuinya di ruang IGD, mhn maaf dan mohon kerjasamanya”
Aku memesan taxi dan menelpon suami, mengabarkan kalau anak kami sdh dirawat di Rumah sakit. Ia menghiburku dan menguatkan agar aku banyak berdoa.
Sampai di ruang IGD, Aku mencari anakku, sambil tengak tengok kanan kiri, aku bertanya nama pasien an Anakku kepada suster penjaga.
Suster itu bertanya “Ibu, orang tuanya Novalia?” ” aku jawab “Iya” “mhn maaf sebelumnya Ibu sesuai standard prosedure penanganan kami, pasien dengan gejala panas tinggi, kami perlu memeriksa pasien beserta seluruh keluarganya” kata suster tersebut
“Ibu bisa ikut kami u pemeriksaan di ruangan” kata suster satunya.
Mereka mengecek suhu tubuhku, mengambil sampel air liur dan darah, mengajukan beberapa pertanyaan.
“Aku tak sabar ingin ketemu anakku, “apa saya sdh bisa ketemu anak saya sus ?” tanyaku
Aku baru akan di kabari esok pagi,
Suara hujan mulai melirih, terdengar sholawat menjelang subuh terdengar dari pengeras suara masjid, aku mengambil air wudhu dan sholat sunnah 2 rakaat, selesai sholat subuh aku munajatkan doa “ya Allah jika engkau lebih sayang kepada anakku, maka ambilah, jika engkau ridho aku memikul amanah ini, kembalikan seperti awalnya ya Allah”
Satu hari sebelum kepergiannya
Pukul 06.00 Aku masih memegangi gagang handphone sambil menangis tiada henti, suara suamiku kudengar begitu berat, gelisah dan bingung, ia terjebak lockdown di pulau terujung Indonesia, ia bekerja diperusahaan vendor pertambangan.
Pukul 07.00 Aku masih duduk lemas, aku tak bisa kemana mana, ruangan isolasi ini dikunci, aku merasakan seperti seorang narapidana. Aku tak tau bagaimana keadaan anakku, pikiranku membayangkan, bagaimana jika ia siuman dan mencariku,
Beberapa saat kemudian suara anak kunci berputar, pintu terbuka, aku segera hendak beranjak turun..tapi salah satu petugas memberikan isyarat larangan.
“Ibu mohon bersabar sedikit, kami masih perlu melakukan pemeriksaan dan menunggu hasil lab” suaranya seperti seorang wanita
Tiga orang yg masuk berpakaian APD lengkap, dan dua security menjaga di luar.
“Anak ibu ada diruang sebelah, kondisinya masih kritis, sampai saat ini belum sadarkan diri” lanjutnya
“Dok, anak saya tidak terkena covid kan?” tanyaku
“kami belum bisa memastikan, masih menunggu hasil lab 4-5 hari kedepan, dugaan sementara anak Ibu mengalami DBD, trobositnya terus menurun” jawabnya
“karena standard operasional kami saat ini menggunakan akses covid 19 maka kami minta kerjasamanya Ibu” dokter itu meminta
“bagaimana saya bisa menemui anak saya Dok?, saya ingin mengetahui keadaannya, bagaimana kalau ia bangun dan mencari saya dok?” pintaku meratap
“Saat anak Ibu siuman, petugas kami akan mengizinkan ibu melihat anak ibu, namun dengan pakaian standard penanganan covid, namun sampai hari ini kami masih menunggu APD untuk keperluan tersebut” jelasnya
Dokter dan perawat beranjak pergi, setelah selesai melakukan pengecekan dan sampel dari tubuhku.
Pukul 12.00 aku belum menerima kabar tentang Anakku, suara diketuk dan tak lama pintu di buka, seorang pelayan Rumah sakit menyodorkan ransum makan siang,
Aku mengejarnya sambil berkata “Bu bisa minta tolong lihatkan anakku di ruangan sebelah, kalau kalau dia sudah bangun” pintaku sambil merapatkan telapak tanganku
Ia memberi isyarat anggukan, dan berlalu sebentar bersama rapatnya daun pintu ruanganku. Tak lama suara ketukan, dari pintu dengan bagian lembaran kaca 20×40 cm ia memberi isyarat belum ada tanda tanda anakku siuman, aku membalas isyaratnya tanda terimakasih.
Dini hari pukul 01.00 seorang perawat masuk ruanganku, menawarkan masker, menyemprot tanganku dengan cairan sanitizer, dan melakukan fooging ringan keseluruh tubuhku, “Ibu boleh melihat anak Ibu, dari luar ruangan” kami lihat ia sudah siuman dan memanggil Ibu”
Aku bergegas ke luar ruangan, dan melihat anakku hanya didepan pintu, aku melambaikan tanganku, tapi ia hanya menatap sayu, aku melihat bibirnya memanggilku.
Namun hanya beberapa saat, kemudian alrm detak jantung melemah, aku berteriak memanggil dokter, aku lihat perawat bergegas ke ruang isolasi anakku.
Hari ini 3 hari berlalu sepeninggal Anakku, handphoneku berdering dari ujung panggilan, seorang petugas rumah sakit tempat anakku dirawat mengabarkan, hasil lab anakku dan aku sdh seluar. Hasilnya negativ covid.
Ya Allah, mereka telah memperlakukan anakku seperti pasien corona, mereka bahkan tak memperlakukan proses pemakaman anakku layaknya orang yang meninggal wajar.
Aku ingin marah, tapi kembali lagi aku tersungkur dalam keterbatasanku sebagai manusia biasa, Ia telah mengambil titipan amanah yg diberikan kepadaku.
Dalam tafakurku, aku memahami Tuhan menurunkan sesuatu dengan hikmah; ada pelajaran besar dalam hal ini bagi mereka yang arif dan bijaksana untuk melihat dan menyadari.
Apa yang mustahil bagi manusia , Tidak ada yang mustahil bagi Allah.
Termasuk di antaranya adalah manfaat bagi ujian keimanan dan kesabaran.
رَبَّنا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa Neraka, (TQS, Ali Imran : 191)
Rohadianto
#90HariMenulisBuku
#InspirasiIndonesiaMenulis
#StayAtHome