Site icon Bangga Indonesia

Keterpaduan Sains dengan Agama dalam perspektif Epistemologis

Sumber gambar google

Keterpaduan Sains dengan Agama dalam

 perspektif Epistemologis

 Dr. Nasrul  Syarif M.Si

Sobat. Suatu kajian dianggap sah sebagai sebuah disiplin ilmu jika memiliki kejelasan epistemologis. Epistemologis  mempertanyakan  proses terumuskannya teori-teori ilmiah, menyangkut  sumber, proses dan prosedur, dan teknik-teknik yang digunakan  untuk sampai pada kesimpulan, yang kemudian  menjadi teori  ilmiah. Karena itu, sebuah  disiplin  ilmu  harus  memiliki konsistensi  mengenai  sumber, proses, dan teknik-teknik  analisis  walaupun  terkadang  hal ini  hanya  merupakan kesepakatan para  ilmuwan  yang  menekuni bidang kajian yang sama.

Sobat. Bagi para ahli  filsafat ilmu, keberadaan epistemology  merupakan  suatu keharusan  yang tidak bisa  ditawar. Karena itu, pembahasan  tentang keterpaduan  sains  dengan  agama  harus memiliki landasan  epistemologis, maka keterpaduan  sains  dengan  agama akan berlangsung secara  konstan, dan  memiliki landasan filosofis  yang cukup mendalam. Karena itu untuk menuntaskan pembahasan  tentang  keterpaduan  sains  dengan agama  harus didekati secara  epistemologis.

Sobat. Kaum  muslimin  kesulitan  menyatukan sains  dengan agama ( Islam )  karena  substansi  sains  itu  sendiri  bertolak belakang dengan  agama ( Islam ). Maka, terjadilah kepribadian terpecah ( split personality ). Di satu sisi, ia  sangat taat  beragama. Di Sisi yang lain, sains  yang ia pelajari tidak kompatibel dengan tauhid Islam.

Karena itu, perlu rumusan  konseptual  yang  bersifat  epistemologis agar dapat menyatukan  ilmu-ilmu duniawi dengan ilmu agama. Dengan  adanya rumusan konseptual itu, para  ilmuwan  muslim  diharapkan mampu  mendekonstruksi realitas  keilmuan  yang bersifat dikotomik  dan sekuleristik, serta merekonstruksinya untuk  mewujudkan keterpaduan sains  dengan agama.

Sobat. Jika kita melakukan penelusuran sejarah  khususnya sejarah keilmuan di eropa, sejak zaman renaissance  sampai  sekarang, hubungan sains  dengan keyakinan agama  mengalami pergulatan sejarah yang sangat panjang. Barbour  yang  mengamati  sejarah perkembangan hubungan sains  dengan agama di barat. Memetakan hubungan tersebut  menjadi; konflik, indepedensi, dialog dan integrasi[1].   Demikian juga  Haught  yang melihat hubungan  agama  dengan sains melalui pendekatan konflik, kontras, kontak dan konfirmasi[2]

Sobat. Barbour  menegaskan  bahwa ia  setuju dengan pola integrase  seperti dalam tradisi “natural theology”, kedalaman  eksplorasi  sains  terhadap alam  semakin membuktikan keyakinan  terhadap Tuhan, bukan sebaliknya; penguasaan sains  berbanding terbalik  dengan keimanan.

Demikian pula pandangan seorang ilmuwan Iran, Murtadha Mutahhari mengenai  integrasi dan konfirmasi  beliau menegaskan, pemisahan sains dari keimanan  menyebabkan kerusakan  yang tidak bisa diperbaiki. Keimanan mesti  dikenali lewat sains. Keimanan  bisa  tetap aman  dari berbagai takhayul  melalui pencerahan sains. Keimanan tanpa  sains akan  berakibat fanatisme dan kemandekan.[3]

Sobat. Wikipedia mendefinisikan  Epistemologi  merupakan  teori ilmu pengetahuan ( science )  yang  melakukan investigasi  mengenai  asal-usul, dasar, metode dan batas-batas  ilmu pengetahuan. Karena itu epistemology   membahas  tentang  proses  terbentuknya  sebuah teori ilmu pengetahuan. Epistemologi  juga  sering diartikan  sebagai  cabang filsafat  yang mencurahkan  perhatian terhadap  dasar, lingkup, dugaan-dugaan  serta ketentuan umum  yang terandal untuk mengklaim  sebagai ilmu pengetahuan. Karena  itu secara sederhana, epistemology  merupakan proses untuk menghasilkan  sebuah teori, termasuk sumber dan metode  yang digunakan.

Epistemologi positivism  banyak mendapat kritik  baik dari barat  maupun timur karena  dalam perspektif positivism, ilmu hanya dibangun berdasarkan realitas inderawi, sama sekali tidak terkait  dengan nilai, apalagi agama. Apa yang berada di luar realitas  yang bersifat  inderawi tidak termasuk  kategori ilmiah. Karena itu, pengkajian ilmiah menurut  Comte, hanya  bisa dilakukan melalui; pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Pandangan-pandangan positivisme telah mengakibatkan  dikotomi  ilmu-ilmu duniawi dengan ilmu keagamaan.

Padahal seharusnya, seperti ilmuwan muslim masa keemasan Islam, pembelajaran  berbagai ilmu terdorong  oleh perintah Tuhan, dan terdorong oleh hasrat  mengenal Tuhan. Oleh karena itu  kita harus merekontruksi epistemologis  dengan  kembali meletakkan dasar-dasar (fondasi)  keilmuan  yang memadukan antara ilmu-ilmu duniawi  dengan kesadaran ketuhanan.

Sobat. Pandangan kaum “ Neo tradisionalis”   seperti Sayyed Hossein Nasr  yang mengembangkan  epistemology ilmu yang bersifat teosentris ( berpusat pada Tuhan ). Dalam perspektif teosentris, semua ilmu berasal dari wahyu. Mereka sama sekali tidak bisa menerima  teori-teori ilmiah  yang dibangun  atas  dasar realitas inderawi. Nasr  menegaskan  bahwa sains  modern tidak kompatibel  dengan Islam, bahkan akan menggergoti sumsum tauhid Islam.  Hal ini karena sains modern  yang lahir sejak zaman renaissance  di eropa  berwatak sekuler  dan berwatak  penolakan terhadap agama Kristen di eropa. Pandangan sekuler ini ( memisahkan agama dari kehidupan duniawi) semula ditujukan terhadap Kristen  akhirnya berkembang pula kepada seluruh agama termasuk Islam.[4]

Sobat. Padahal  Islam  sudah lama  memiliki tradisi  empiris  yang sangat kuat, yang membawa pada  kegemilangan sains  pada masa keemasan Islam. Ibnu alHatsam  seorang ahli Fisika  Muslim  yang hidup pada  abad kedua hijriah  telah  memperkenalkan tradisi  metode ilmiah  untuk menguji  sebuah hipotesis. Metode  ilmiah al-Haytsam  dimulai dari pengamatan empiris,  perumusan masalah, formula hipotesis, uji hipotesis dengan eksperimen, analisis  hasil  eksperimen, interpretasi data, formulasi kesimpulan, dan diakhir dengan  publikasi. Publikasi ini kemudian dinilai oleh peer-review  yang memungkinkan setiap orang  melacak bila perlu  mengulangi apa yang dilakukan  oleh seorang peneliti. Proses peer-review  sudah menjadi tradisi yang kuat  dalam sejarah keilmuan di dunia Islam. Ishaq bin Ali Ar-Rawi (854-931) memperkenalkan tradisi empiris dan peer-review  dalam dunia medis.[5]

Sobat. Mengenai epistemology keilmuan yang  memadukan kegiatan ilmiah dengan kesadaran ketuhanan  adalah sebagai berikut : 1. Teori ilmiah yang  bersifat empiris  dan netral. 2. Teori ilmiah hasil pemikiran sesorang  tentang realitas. 3. Teori-teori ilmiah  hasil kajian teks kitab suci. Semua  kegiatan ilmiah  berada  dalam satu  alur  untuk  mencapai ridho Allah SWT.

Sobat.  Allah  telah  menciptakan  karakteristik  dan  potensi  pada setiap  benda di alam semesta. Misalnya : pada buah-buahan  terdapat  potensi bagi terjadinya ulat, pada merang dan phon kayu  terdapat potensi  tumbuhnya jamur. Seorang ilmuwan  dapat  mempelajari karakteristik dan potensi-potensi tersebut. Allah  pun  mendorong  manusia  untuk memahami  setiap potensi  dan karakteristik  setiap  benda. Maka,  seorang  ilmuwan  dapat  melakukan eksperimen  yakni melakukan pengkondisian dengan  membuat  berbagai perlakuan  untuk mengeluarkan  atau merekayasa  potensi tersebut.  Karena  itu, manusia  dengan  segala kemampuan akalnya  mampu merekayasa  terhadap hasil  ciptaan Allah  berupa potensi-potensi  yang ada di setiap benda, tetapi manusia tidak mampu menciptakan  potensi itu.

Sobat.  Adapun mengenai  teori dan deskripsi kriteria kebenaran ada 4 teori kebenaran : 1. Teori korespodensi proses mencapai kebenaran pengamatan terhadap realitas empiris  bukti kebenarannya adalah fakta yang terindera. 2. Teori Koherensi  proses mencapai kebenaran  menggunakan logika  yang ditopang bukti empiris  bukti  kebenaran logika dan fakta. 3. Pragtisme proses mencapai kebenaran  realitas  empiris  bukti kebenaran fakta empiris. 4. Keimanan  proses mencapai kebenaran  telaah  terhadap firman Allah  dan hadits Rasul  bukti kebenaran logika yang ditopang fakta tentang kebenaran Al-Quran.

Sobat. Namun demikian, dengan adanya kebenaran Imani ( faith theory of truth ), tidak berarti  teori kebenaran yang  bersifat  empiris  tertolak. Ketika melakukan  proses pengkajian  fakta  yang bersifat empiris  melalui eksperimen, dengan sendirinya, kita menggunakan teori-teori kebenaran empiris. Sebaliknya, ketika kita melakukan pengkajian tentang kitab suci, kemudian menerapkannya pada dunia nyata, kebenaran yang kita gunakan  adalah kebenaran Imani  yang ditopang  oleh logika  dan realitas  empiris. Karena itu, dasar dari proses pencarian  kebenaran  adalah  logika yang ditopang oleh fakta empiris.

[1] Ian G. Babour, When Science Meets Religion : Enemies, Strangers, or partner, Edisi Bahasa Indonesia terjemahan E.R Muhammad ( Jakarta: Mizan, 2002) h. 39-41

[2] John F. Haught,  Science and Religion : From Conflict to Conversations, Edisi Bahasa Indonesia terjemahan Fransiskus Borgias ( Jakarta : Mizan, 2004) h. 1-2

[3] Murtadha Mutahhari, dikutip dari Jalaluddin Rahmat, Pskologi Agama: Sebuah Pengantar ( Jakarta: Mizan, 2003) h.57

[4] Sayyed Hossein Nasr,  Islam  and Contemporary Society ( London : Longman Group, 1982)h. 176-180

[5] Fahmi Amhar , TSQ  Stories ( Bogor : Al-Azhar Press, 2010 )h. 53

Exit mobile version