Site icon Bangga Indonesia

Maafkan Aku – Juara 1 Lomba Cerpen JEC 2020 Komnasdik Jatim

JUARA 1 LOMBA CERPEN TINGKAT SMP_ZAVIAR AZZADILA ARIFANDA_ ASAL SMP NEGERI 5 KARANGPLOSO KAB. MALANG

Maafkan Aku

Karya: Zaviar Azzadila Arifanda (SMPN 5 KARANGPLOSO)

 

Syifa, itulah nama panggilanku. Aku duduk di kelas XII di SMA MATAHARI. Aku memiliki adik yang bernama Dava, dia duduk di kelas VII SMP MELATI. Dia selalu di sayang dan di puji-puji oleh orangtuaku, karena dia memang pintar. Sedangkan aku, adalah kebalikan dari Dava. Aku selalu dibanding-bandingkan, entah katanya aku kakak yang tidak bisa mendidik adiknya dengan baik, entah katanya aku anak yang ceroboh lagi.

Semuanya selalu Dava. Aku merenung, serasa aku orang terbodoh di dunia ini. Adikku, Dava. Dia selalu memberikan semangat untukku, “Kak, jangan dengarkan omongan yang tidak baik yang diucapkan orangtua kita maupun orang lain, asalkan kakak tidak berbuat salah”. Tidak ada sifat kesombongan yang tertanam dalam jiwa Dava, adikku.

Bunda yang melahirkanku, hingga aku bisa melihat dunia seindah ini, dia lebih menyayangi Dava. Begitupun dengan ayah, dia selalu memberi uang saku lebih banyak untuk Dava. Aku hanya bisa diam menghadapi tidak keadilan ini.  Tetangga sebelah rumah, juga mengucilkanku. Tetangga bisa tau karena bunda yang biasanya bicara tentang keburukanku, aku hanya bersabar melihat kehidupanku yang begitu rumit ini.

Keesokan harinya, aku sudah berada disekolah. Aku duduk di bangku paling belakang yang dekat dengan jendela. Seorang guru sedang menerangkan sesuatu di depan kelas. Tiba-tiba guru itu bertanya kepada setiap murid, termasuk aku. Sekarang tiba giliranku.

“Syifa, apa cita-citamu kelak?” Tanya bu guru.

“Cita-cita saya berbeda dengan yang lainnya, bu.  Cita-cita saya hanya ingin membanggakan orang tua saya dan menunjukkan kalau saya ini bisa”. Jawabku.

“Jawaban yang sangat bagus, tapi kenapa kamu memiliki cita-cita seperti itu?” Tanya bu guru dengan ekspresi penasaran.

“Saya ingin orangtua saya bangga, dan menyayangi saya seperti waktu kecil dulu. Saya berharap kemampuan yang saya punya ini, bisa membuahkan hasil yang lebih baik tanpa bermimpi”. Jawabku.

“Luar biasa, kamu Syif”. Kata bu guru.

Bel berbunyi, tanda waktu pulang telah tiba. Semua siswa-siswi beramai-ramai meninggalkan kelasnya masing-masing. Aku dan Adit, sahabatku pulang dengan berjalan kaki. Sambil menghirup udara di sore yang cerah dengan bunyi suara klakson mobil yang saling sahut-menyahut. Beberapa menit kemudian, Adit bertanya kepadaku, Syif, kenapa wajahmu pucat banget? Kamu sakit ya? Kita istirahat aja dulu disini.”

“Tidak, aku tidak sakit kok. Cuma lemes aja”. Jawabku dengan suara kecil. Sebenarnya aku menyembunyikan penyakitku ini kepada siapapun, kecuali Dava, adikku. Sebulan yang lalu, aku dan Dava ke rumah sakit. Dava mengantarkanku untuk periksa, kata dokter aku mengidap penyakit kanker hati karena kebanyakan begadang dan kurang tidur malam. Jika tidak segera di operasi, akibatnya juga akan fatal.

Adit kembali menjawab, “Aku takut terjadi apa-apa sama kamu Syif, kita istirahat disini aja dulu”. Aku akhirnya istirahat sebentar di pinggir jalan. Adit ingin mengantarkanku pulang, tapi aku menolaknya karena tidak mau merepotkannya.

Sampai akhirnya, aku telah tiba di rumah. Bunda menatapku dengan tajam, “Syif, wajahmu kok pucat begini kenapa? Kamu sakit ya?” Tanya bunda sambil mengusap keningku. Aku ngomong sama bunda kalau cuma pusing doang, bukan yang lain. Setelah itu bunda menyuruhku untuk makan dan minum obatnya, dan aku melaksanakan perintah bunda.

“Oh iya, bun. 1 bulan lagi Syifa akan melaksanakan UNBK, doakan  semoga lulus yaa”, jawabku.

Bunda menjawab dengan ekspresi tak peduli, “Iya, bunda dan ayah akan mendoakanmu. Kalau kamu lulus kamu mau kuliah apa gimana, Syif?”

“Kalau aku ditakdirkan dan ada uang ya aku kuliah”. Jawabku.

“Terserah kamu aja deh”. Jawab bunda tak peduli.

Malam hari yang dipenuhi bintang dan bulan bersinar terang, aku masih duduk menghadap jendela dan menyaksikan keindahan di malam ini, di tanganku aku masih membawa buku pelajaran untuk persiapan besok. Aku berusaha belajar dengan baik, supaya mendapat nilai seperti yang kuharapkan. Jam dinding terus berputar, hingga menunjukkan angka 12. Tapi aku masih belum bisa tidur, banyak hal yang masih kupikirkan. Terutama tentang penyakitku ini, semakin hari aku makin merasa bersalah pada ayah dan bunda. Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk membicarakan tentang penyakitku ini.

Pada tanggal 16 juli 2020, pihak sekolah memberikan pengumuman bahwa mulai hari ini, kegiatan belajar dan mengajar dilaksanakan dalam jaringan atau Belajar Dari Rumah (BDR). Kegiatan UNBK akan diganti dengan Ujian Sekolah secara online. Dua minggu sebelum Ujian Sekolah online, aku tetap mengikuti pembelajaran dari rumah dan mempersiapkan diri untuk Ujian Sekolah.

1 April 2020. Suasana pagi hari yang indah serta diiringi suara burung yang bersahut-sahutan, membuatku semangat untuk melaksanakan Ujian Sekolah online hari pertama. Masing-masing mata pelajaran berlangsung selama 120 menit. Kondisiku ini semakin hari semakin melemah, aku sebenarnya khawatir tentang berita Covid-19 ini, apa jangan-jangan aku terinveksi virus ini?. Tapi akan ku singkirkan ketakutanku ini, karena aku hanya fokus membanggakan kedua orangtuaku dan aku ingin menunjukkan Syifa yang sekarang bukan Syifa yang dulu.

Ujian telah usai, semua siswa-siswi tinggal menunggu pengumuman kelulusan. Hari pengumuman telah tiba, segera ku cek link pengumuman yang diberikan oleh wali kelasku. Melihat notifikasi loading di HP ku, jantungku mulai berdebar berdebar, mataku mulai berkaca-kaca, di dalam hati aku hanya bisa melantunkan doa.

Hasil ujian pun muncul di layar HP ku, kubaca dengan seksama pengumumannya. Aku sangat kaget begitu melihat namaku tercantum sebagai peringkat 1 Ujian Sekolah. Perasaanku campur aduk saat itu, kaget bercampur senang. Ku cermati layar HP ku berkali-kali, seakan tidak percaya.

Aku senang dan terharu atas semua ini. Tak kusadari aku telah berhasil menggapai mimpiku. Aku segera menghampiri bunda dan ayah di ruang keluarga dan menunjukkan hasil Ujian Sekolah yang masih muncul di HP ku. Bunda menangis sambil memelukku, aku jadi ikut terharu campur bahagia. Di dalam hatiku aku berbicara, “Aku merasa bahagia karena telah memperoleh kasih sayang seperti dulu lagi”. Dalam pelukan itu, aku mendengar  bunda berkata sambil sesenggukan, “Maafkan bunda nak, bunda dan ayah menyesal telah membanding-bandingkan kamu. Kamu sudah membuktikan kalau sekarang kamu menjadi anak yang hebat”. Mendengar kata-kata bunda, aku hanya bisa terdiam dan memeluknya semakin erat.

Keesokan harinya, bunda memutuskan untuk memasak makanan enak untuk makan bersama keluarga kami. Bunda bilang ini untuk merayakan pencapaian menjadi peringkat 1 sekolah. Walaupun perayaan yang sederhana, tapi aku senang sekali karena kesempatan seperti ini jarang dilakukan di keluarga kami sebelumnya. Di tengah perayaan kecil ini, tiba-tiba kepalaku pusing, wajahku pucat, mataku berkunang-kunang, penglihatanku mulai kabur, tubuhku lemas tidak berdaya.

Setelah beberapa waktu aku tidak sadarkan diri. Aku terbangun dan mendapati diriku terbaring di ruang perawatan. “Kakak sudah siuman?” Ucap Dava yang duduk disamping tempat tidurku. Setelah aku sadar, aku mendengar cerita dari Dava,bahwa pada saat kejadian di rumah tempo hari, bunda dan ayah sangat panik. Ayah tergesa-gesa untuk mencari taksi. Setelah ayah mencari taksi, aku langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Saat aku sedang ditangani dokter, Dava bercerita kepada bunda dan ayah tentang penyakitku yang sebenarnya. “Sebenarnya kakak itu mempunyai penyakit kanker hati, mungkin dia sengaja tidak bilang siapa-siapa agar tidak membuat khawatir orang-orang disekitarnya, terutama orangtuanya”. Kata Dava dengan mata berkaca-kaca.

“Kenapa kamu tidak bilang dari dulu, penyakit ini tidak bisa dibuat main- main”. Kata ayah sambil menghampiriku dengan panik. Bunda hanya bisa meneteskan air mata, tidak bisa bicara apa-apa. Bunda lari menuju ruangan dokter, diikuti oleh ayah. Ternyata bunda ingin mendonorkan hatinya untukku, aku tidak menyangka dia semudah itu berkorban nyawa untukku. Ayahku sudah melarangnya tapi juga tidak didengarkan. Bunda akhirnya mendonorkan hatinya untukku. Sampai saat ini bunda masih belum sadarkan diri. Dia begitu berkorban untukku. Setelah aku menerima donor hati itu, aku berhasil melewati masa-masa kritis. Dokter mengabarkan bahwa bunda telah meninggalkan kita semua. Aku panik, aku menangis sejadi-jadinya, aku merasa bersalah dengan semua kejadian ini.

Aku, Dava, dan ayah, tidak percaya dengan semua kenyataan ini. Aku merasa bersalah kepada orang tua ku, terutama bunda. Karena aku, bunda jadi korbannya. Seandainya waktu bisa diputar kembali, biar aku saja yang pergi bukan bunda. Aku tidak tau bagaimana hidupku tanpa bunda, aku juga belum bisa membahagiakannya. Maafkan anakmu ini, bunn.

“Ini bukan salahmu sayang, ini semua sudah ditakdirkan begini. Kita harus mengikhlaskannya, tidak ada gunanya untuk menangis, kalau kita terus-terusan sedih, bunda tidak akan tenang disana. Sekarang kalian berdua fokuslah dengan sekolah, buat ayah sama bunda bangga ya nak”.  Kata ayah menyemangati aku dan Dava.

“Iya yah, aku akan membuat ayah dan bunda bahagia”. Jawabku. “Doa ayah selalu menyertaimu sayang”. Jawab ayah. Berkat ayah, aku menjadi semangat untuk melanjutkan kuliahku di Fakultas Sastra pada kampus impian saya sejak dulu. Aku akan mengejar cita-citaku selanjutnya sebagai penulis yang akan dikenal dengan karya-karyanya.

-SELESAI-

 

 

Exit mobile version