Bangga Indonesia, Banyuwangi – MENGAKHIRI PROBLEM HUTANG BUMN
Hutang yang dimiliki dalam sebuah negara dalam sistem Kapitalis adalah sebuah keniscayaan. Konon, tidak satupun negara didunia saat ini yang bebas dari hutang. Sehingga wajar dari tahun ke tahun penguasa di negeri ini selalu mendengungkan pentingnya hutang untuk pembangunan maupun infrastruktur yang diharapkan bisa membawa keuntungan bagi negara. Sebagaimana yang diungkapkan oleh wakil ketua komisi IX DPR RI Eriko Sotarduga bahwa utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal IV 2020 tidak membahayakan karena masih berada dibawah 40 persen dari produk domestik bruto (GDP). Negara lain bahkan ada yang lebih dari itu. Sehingga hutang tidak menjadi masalah karena dibuat untuk meningkatkan daya saing Indonesia di tingkat internasional (kompas.com 17/2/2021)..
Berbicara hutang negara tentu tidak lepas dari hutang yang dimiliki oleh BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Menteri BUMN Erick Thohir mengungkap sejumlah BUMN memiliki beban hutang tinggi dan semakin parah karena tekanan ekonomi di tengah pandemi Covid-19 (cnnindonesia.com 21/1/2021). PLN, berhutang hingga Rp500 triliun. Begitu pula dengan Garuda Indonesia juga menanggung beban rugi yang besar. Total utang Garuda Indonesia di Kuartal II-2020 membengkak berkali lipat hingga mencapai Rp147, 5 triliun. Perusahaan BUMN Karya juga mengalami kerugian tahun 2020. Waskita Karya mencatatkan kerugian sebanyak Rp7,3 triliun, dan Wijaya Karya mengalami penurunan laba dari Rp819,4 miliar menjadi Rp128,7 miliar. Menurut data kementrian BUMN, hutang perusahaan negara dari tahun ke tahun mengalami kenaikan. Tercatat hutang yang dimiliki sebesar Rp942,9 triliun, kemudian naik pada 2018 menjadi Rp1.251,7 triliun. Sedangkan, sejak 2019, utang meningkat menjadi Rp1.393 triliun. (Okezone.com, 1/2/2021)
Dalam sistem kapitalis saat ini hutang yang dilakukan oleh sebuah negara mutlak dilakukan untuk pembangunan. Seolah membangun tanpa hutang adalah mustahil. Sehingga ketika pemerintah menambah hutang terus dimaklumi, dengan dalih masih dibawah GDP, juga dimanfaatan untuk infrastruktur yang bakal menguntungkan negara juga. Padahal pembangunan infrastruktur yang menelan biaya tinggi sering kali dilakukan bukan berdasarkan kajian yang cukup, tapi karena orientasi proyek. Misalnya proyek listrik 35 ribu Megawatt yang belakangan dihentikan karena konsumsi listrik tidak sebesar prediksi sehingga terjadi over supply. Oleh karena itu, demi mewujudkan proyek pembangunan infrastruktur, BUMN dijadikan salah satu mesin penggeraknya. Konsekuensinya, utang BUMN terus membengkak.
Sebagaimana disebutkan dalam RPJM 2015-2019, pemerintah membutuhkan dana sebesar Rp4.796 triliun (US$358 miliar) untuk pembangunan infrastruktur. Sedangkan anggaran yang bisa disediakan oleh pemerintah hanya sekitar 41 persen saja. BUMN hanya bisa menyediakan 22 persen. Sisanya, sekitar 37 persen (Rp1.752 triliun), diharapkan datang dari investor swasta, namun target ini tidak teraih. Akhirnya tanggung jawab pembiayaan tersebut telah dialihkan kepada BUMN dalam bentuk penugasan. Dan jadilah BUMN melakukan hutang (detik.com, 29/9/2020). Walhasil, penugasan tersebut sebenarnya hanyalah pengalihan penciptaan utang dari negara kepada BUMN.
Para pengamat ekonomi telah mengingatkan agar kewaspadaan terhadap melejitnya utang BUMN ini. Jika kita menengok krisis 1997/1998, salah satu kondisi yang memicu terjadinya krisis saat itu adalah gagal bayar utang korporasi karena semakin naiknya jumlah hutang perusahaan. Jika penguasa terus saja meneruskan ambisi pembangunan infrastruktur dengan menambah utang BUMN, patut dikhawatirkan krisis akan berulang.
Hutang BUMN yang kian menumpuk pun semakin tidak terkendali akibat tata kelola sistem Kapitalis yang dipakai untuk mengatur negeri ini. BUMN yang seharusnya berfungsi sebagai pengelola kekayaan milik rakyat dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat justru dijadikan ajang bagi-bagi kue para korporat. Akhirnya tujuannya bukan lagi berorientasi pada pemenuhan hajat hidup masyarakat, namun lebih kepada keuntungan para kapital. Belum lagi BUMN juga dijadikan lahan bagi-bagi kursi untuk kepentingan politik oligarki. Sebagaimana yang ramai menjadi pembicaraan akhir-akhir ini pengangkatan jabatan komisaris BUMN ditempati oleh orang-orang yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya, namun karena menjadi bagian dari pendukung rezim yang berkuasa.
Akibat penerapan sistem kapitalisme neoliberal, satu per satu perusahaan BUMN dilepas ke pasar atas nama liberalisasi ekonomi. Terbukti banyak perusahaan BUMN yang diprivatisasi, seperti Kimia Farma, Perusahaan Gas Negara, Krakatau Steel, Adhi Karya, Waskita Karya, BNI, BRI, BTN, Bank Mandiri, Aneka Tambang, Bukit Asam, Semen Indonesia, Garuda Indonesia, Jasa Marga, Telkom, Indosat, dan sebagainya. Walhasil, siapa yang bermodal besar berpeluang memiliki saham BUMN. Dan tentunya fungsi pelayanan rakyat tidak akan pernah bisa diwujudkan.
Pengelolaan BUMN dalam Islam
Islam memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan kekayaan rakyat. Dalam Islam, harta rakyat masuk dalam kepemilikan umum yang tidak boleh diliberalisasi atau diprivatisasi. Sebab, privatisasi berarti akan menghilangkan hak-hak publik masyarakat. Industri yang bergerak di sektor kepemilikan umum yaitu BUMN, harus bebas dari privatisasi. Sebagaimana sabda Nabi Saw, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Inilah pedoman dasar dalam mengelola harta dan kekayaan alam yang terkategori milik umum. Dengan demikian, hutang yang semakin menumpuk bisa dihindari jika kepemilikan umum dikelola secara mandiri oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Pembangunan yang dilakukan penguasa juga harus dilakukan berdasarkan kepentingan sesuai hukum syariat. Penguasa tidak boleh terjebak pada proyek terlihat besar namun nyatanya hanya menguntungkan para kapital.
Hendaklah para penguasa menghayati hadis Rasulullah saw. berikut,
“Tidak ada seorang hamba yang dijadikan Allah mengatur rakyat, kemudian dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya (tidak menunaikan hak rakyatnya), kecuali Allah akan haramkan dia (langsung masuk) surga.” (HR Muslim)
Pengaturan kekayaan negara yang berorientasi pada kemaslahatan rakyat telah dipraktikkan sistem pemerintahan islam yaitu khilafah selama berabad-abad. Sehingga kemakmuran terwujud di seantero negeri. Maka hanya satu jalan untuk mengakhiri carut-marutnya pengelolaan BUMN saat ini, yaitu dengan mengembalikan seluruh pengelolaan kekayaan negara sesuai syariat islam. ( FATA VIDARI dari Banyuwangi Jawa Timur.)