Bangga Indonesia, Jakarta – KFC, yang dikenal dengan ayam goreng renyahnya, kini tengah menghadapi beberapa masalah serius yang berdampak pada kinerja finansialnya. Dalam beberapa waktu terakhir, PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST), pengelola KFC di Indonesia, mengungkapkan bahwa mereka mengalami kerugian yang cukup besar hingga harus menutup sejumlah gerai. Lantas, apa saja penyebab KFC merugi? Mengapa merek sekuat KFC bisa mengalami kesulitan seperti ini? Artikel ini akan mengulas berbagai faktor yang menyebabkan raksasa fast food ini terpuruk.
Faktor Penyebab KFC Merugi
1. Geopolitik yang Mengganggu Reputasi KFC
Salah satu penyebab KFC merugi yang paling mencolok adalah dampak dari ketegangan geopolitik yang terjadi di Timur Tengah. Ketika konflik antara Israel dan Palestina memuncak, banyak pihak menyerukan boikot terhadap perusahaan-perusahaan yang dianggap mendukung Israel, termasuk KFC.
Sebagai merek asal Amerika Serikat, KFC tanpa sengaja ikut terjebak dalam isu ini. Boikot ini menyebabkan penurunan penjualan yang signifikan di beberapa pasar, yang pada gilirannya menggerus pendapatan mereka. Bahkan, penurunan ini terus berlanjut hingga tahun 2024, menghalangi upaya KFC untuk pulih.
2. Gangguan Rantai Pasokan dan Inflasi Harga Komoditas
Selain faktor geopolitik, penyebab KFC merugi berikutnya adalah gangguan pada rantai pasokan global yang menyebabkan lonjakan harga bahan baku. Perubahan iklim yang ekstrem di beberapa negara penghasil bahan makanan, seperti ayam dan minyak goreng, mengganggu pasokan yang cukup stabil sebelumnya.
Tak hanya itu, kondisi ini juga semakin parah dengan adanya inflasi global yang mengakibatkan kenaikan harga komoditas pangan. Kenaikan harga bahan baku seperti minyak goreng dan tepung terigu menyebabkan KFC kesulitan menjaga harga produk agar tetap terjangkau bagi konsumen. Tanpa penyesuaian harga yang memadai, margin keuntungan pun semakin tergerus.
3. Persaingan yang Makin Sengit
Tidak bisa dipungkiri bahwa persaingan di industri makanan cepat saji semakin ketat. Penyebab KFC merugi selanjutnya adalah meningkatnya kompetisi dengan merek-merek lain, baik lokal maupun internasional. Quick Service Restaurants (QSR) lain, seperti McDonald’s, Burger King, dan restoran lokal yang lebih fleksibel, mulai menarik pelanggan dengan inovasi yang lebih segar.
Beberapa pesaing ini juga tidak menghadapi boikot seperti yang dialami oleh KFC. Belum lagi, banyak pesaing yang mampu beradaptasi dengan cepat terhadap tren baru, seperti penyajian makanan sehat atau layanan pengantaran yang lebih efisien, yang semakin membuat KFC sulit untuk mempertahankan posisinya.
4. Kenaikan Biaya Produksi dan Upah Minimum
Kenaikan biaya produksi juga menjadi faktor penting yang menyebabkan kerugian besar bagi KFC. Salah satu penyebab utamanya adalah kenaikan upah minimum di banyak wilayah, yang tidak bisa sepenuhnya diimbangi dengan kenaikan harga menu.
Pada saat yang sama, KFC memilih untuk tidak menaikkan harga menu pada kuartal IV tahun 2023 hingga 2024, yang menyebabkan tekanan finansial yang lebih besar. Keputusan ini ternyata berimbas pada kemampuan mereka untuk menutup biaya operasional, terutama dengan adanya kenaikan biaya bahan baku dan tenaga kerja. Akibatnya, margin keuntungan pun menipis, dan KFC harus berjuang lebih keras untuk tetap bertahan.
5. Penurunan Daya Beli Masyarakat
Salah satu dampak ekonomi terbesar yang dirasakan oleh banyak perusahaan adalah penurunan daya beli masyarakat. Masyarakat yang tertekan dengan inflasi, harga kebutuhan pokok yang terus merangkak naik, dan ketidakpastian ekonomi semakin memilih untuk menghemat pengeluaran mereka.
Dalam situasi seperti ini, pengeluaran untuk makanan cepat saji yang terbilang lebih mahal pun menjadi salah satu hal yang bisa dipangkas. Hal ini berujung pada berkurangnya transaksi di gerai-gerai KFC dan menurunnya angka penjualan secara keseluruhan. Semakin sedikit konsumen yang datang, semakin besar kerugian yang harus ditanggung oleh perusahaan.
6. Pengaruh Kenaikan Kurs Mata Uang
Tak hanya masalah internal, faktor eksternal juga berperan penting dalam merugikan KFC. Salah satunya adalah fluktuasi nilai tukar mata uang, terutama terhadap dolar AS. Beberapa bahan baku yang masih diimpor, seperti marinasi dan bumbu-bumbu khusus, semakin mahal karena kenaikan kurs.
Meskipun pengaruhnya tidak besar pada beberapa bahan baku lokal, dampak dari kenaikan nilai tukar tetap cukup signifikan, membuat KFC harus menghadapi biaya produksi yang lebih tinggi. Dalam dunia bisnis yang sangat kompetitif, kenaikan biaya ini bisa menjadi beban tambahan yang sulit untuk ditanggung, terlebih ketika mereka kesulitan menaikkan harga produk.
7. Penutupan Gerai dan Pemutusan Hubungan Kerja
Sebagai dampak dari kerugian yang besar, KFC terpaksa menutup sejumlah gerai di Indonesia. Hingga September 2024, setidaknya 47 gerai KFC telah ditutup, dan ini berimbas pada pengurangan jumlah karyawan. Sebanyak 2.274 karyawan kehilangan pekerjaan, sementara jumlah gerai yang tersisa kini hanya 715 dari sebelumnya 762 pada akhir tahun 2023.
Penutupan gerai ini menjadi langkah terpaksa yang harus dilakukan untuk menekan biaya operasional, meskipun hal ini juga turut mengurangi jumlah pelanggan yang dapat dijangkau. Efek domino dari penutupan ini jelas sangat berpengaruh pada reputasi merek, karena konsumen sering kali melihat banyaknya gerai yang tutup sebagai pertanda bahwa perusahaan sedang dalam masalah.
8. Upaya Pemulihan dengan Teknologi dan Promosi
Namun, KFC tidak menyerah begitu saja. Perusahaan ini telah mengambil langkah-langkah strategis untuk bangkit kembali. Salah satunya adalah dengan memperkenalkan aplikasi KFCku, layanan Pay n Pick, serta memanfaatkan drive-thru dan layanan pengantaran untuk meningkatkan penjualan.
Selain itu, mereka juga menjalin kemitraan dengan agregator untuk memperluas jangkauan layanan online dan menawarkan promosi menarik yang dapat menggugah minat konsumen. Manajemen KFC berharap, dengan menjaga kualitas produk, pelayanan, dan kebersihan, mereka dapat memulihkan kinerja bisnis dan mencapai “Operation Excellence”.
Secara keseluruhan, penyebab KFC merugi tidak hanya datang dari satu sisi, melainkan dari berbagai faktor yang saling berkaitan, baik internal maupun eksternal. Ketegangan geopolitik, gangguan rantai pasokan, inflasi harga bahan baku, hingga persaingan yang semakin ketat menjadi tantangan besar bagi KFC.
Namun, dengan beradaptasi melalui inovasi dan meningkatkan pengalaman pelanggan, KFC masih memiliki peluang untuk bangkit. Terlepas dari kesulitan yang mereka hadapi, optimisme untuk memulihkan kinerja tetap ada, dan banyak yang berharap KFC akan segera kembali mendominasi pasar fast food Indonesia seperti sebelumnya.