Jumat, 4 Oktober 2024

Pengamat : Kebijakan Plt Pemkab Jember Bukan Opsi Terbaik

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati,”

Bangga Indonesia, Jember, Jawa Timur – Pengamat pemerintahan dan keuangan daerah dari FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman MPA menilai kebijakan yang dilakukan Bupati Jember Hendy Siswanto dengan memutasi seluruh pejabat eselon II, III, dan IV menjadi pelaksana tugas (plt) dalam penataan birokrasi kurang tepat.

“Dalam konteks normal baik secara iklim dan budaya birokrasi, mendemisionerkan pejabat definitif menjadi plt merupakan langkah yang kurang tepat,” kata Hermanto, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.

Bupati Hendy menyerahkan SK Plt kepada 631 pejabat di lingkungan Pemkab Jember yang dimutasi dan ditetapkan sebagai plt, sedangkan Sekretaris Daerah Jember Mirfano ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) di aula Pendapa Wahyawibawagraha Jember, Jumat (12/3).

“Apa yang dilakukan Bupati Hendy dengan penetapan Perbup KSOTK 2021 sebenarnya menggunakan fondasi raperbup yang sudah diajukan Plt Bupati A Muqit Arief,” katanya pula.

Bahkan pengundangan yang dilakukan saat ini juga sama dengan yang dilakukan mantan Bupati Faida saat itu, dengan mendemisioner seluruh jabatan dan mengangkat plt, namun bedanya yang dilakukan Faida saat itu ada masih menyisakan masalah dengan belum menjalankan rekomendasi surat Mendagri serta pengundangan SOTK cacat secara hukum.

“Yang sama baik dilakukan Bupati Hendy dengan mantan Bupati Faida adalah memutuskan demisioner pada pejabat lama dan mengangkat pelaksana tugas,” kata pakar kebijakan publik itu.

Menurutnya, beberapa praktik di kabupaten lain bahwa perubahan KSOTK tidak harus berimplikasi plt semua jabatan, seperti yang dilakukan Bupati Bogor dengan langkah mengukuhkan kembali pejabat lama untuk jabatan dengan ketentuan SOTK baru, bukan menjadikan plt.

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati, sehingga semua diasumsikan demisioner semua jadi staf dan bupati mengangkat pejabat baru dengan status plt,” katanya pula.

Ia menilai status plt adalah status implikasi kegamangan bupati, karena adanya larangan untuk melakukan mutasi dan rotasi jabatan sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta surat edaran Mendagri, yang salah satu poinnya adalah bupati atau wali kota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemprov atau pemda dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.

Sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP), lanjut dia, terdapat batasan-batasan untuk plt yang diatur pada pasal 34 ayat 2, meskipun tidak begitu jelas yakni plh atau plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Ketentuan yang jelas yang harus dijadikan pedoman sebagaimana SE Mendagri larangan mutasi adalah Surat Edaran BKN Nomor 2/se/vii/2019,” katanya lagi.

Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa plt adalah pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran.

“Artinya keputusan strategis itu masih melekat pada pemberi mandat dalam hal ini bupati selaku kepala daerah. Jabatan plt hanya berlaku untuk 3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan berikutnya,” katanya lagi.

Ia mengatakan konteks itu yang harus diperhatikan, karena di Jember saat ini pada posisi pembahasan APBD 2021 dan semua yang terlibat dalam proses APBD 2021 mulai dari penyusunan KUA PPAS, dan setelah ditetapkan untuk dibahas RKA OPD menjadi rancangan APBD 2021 yang merupakan kebijakan strategis dan terkait anggaran.

Sedangkan saat ini kepala OPD di Jember semuanya adalah plt dan tentunya memiliki kewenangan terbatas (tidak memiliki kewenangan) karena jabatan mandatori.

“Itu masalah yang harus dipikirkan dan Bupati Hendy harus hati-hati dalam melangkah. Kasus di Bondowoso dan beberapa daerah lain, yakni DPRD menolak membahas karena OPD adalah plt yang tidak memiliki kewenangan bicara perubahan anggaran,” ujarnya pula.

Hermanto menilai pilihan langkah yang diambil Bupati dengan nilai plusnya bisa menggeser orang yang dirasakan menghambat proses dengan mengganti sementara orang yang yang dirasa bisa mempercepat proses APBD 2021.

Namun, nilai minusnya adalah mengosongkan dan mengangkat plt di semua jabatan yang tentunya memiliki keterbatasan dan tidak berwenang membahas anggaran.

“Semua akan tergantung dinamika politik di Jember. Jember koyoke wis wayahe mikir lagi (Jember sepertinya harus berpikir lagi),” katanya pula. (ant)

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati,”

Bangga Indonesia, Jember, Jawa Timur – Pengamat pemerintahan dan keuangan daerah dari FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman MPA menilai kebijakan yang dilakukan Bupati Jember Hendy Siswanto dengan memutasi seluruh pejabat eselon II, III, dan IV menjadi pelaksana tugas (plt) dalam penataan birokrasi kurang tepat.

“Dalam konteks normal baik secara iklim dan budaya birokrasi, mendemisionerkan pejabat definitif menjadi plt merupakan langkah yang kurang tepat,” kata Hermanto, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.

Bupati Hendy menyerahkan SK Plt kepada 631 pejabat di lingkungan Pemkab Jember yang dimutasi dan ditetapkan sebagai plt, sedangkan Sekretaris Daerah Jember Mirfano ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) di aula Pendapa Wahyawibawagraha Jember, Jumat (12/3).

“Apa yang dilakukan Bupati Hendy dengan penetapan Perbup KSOTK 2021 sebenarnya menggunakan fondasi raperbup yang sudah diajukan Plt Bupati A Muqit Arief,” katanya pula.

Bahkan pengundangan yang dilakukan saat ini juga sama dengan yang dilakukan mantan Bupati Faida saat itu, dengan mendemisioner seluruh jabatan dan mengangkat plt, namun bedanya yang dilakukan Faida saat itu ada masih menyisakan masalah dengan belum menjalankan rekomendasi surat Mendagri serta pengundangan SOTK cacat secara hukum.

“Yang sama baik dilakukan Bupati Hendy dengan mantan Bupati Faida adalah memutuskan demisioner pada pejabat lama dan mengangkat pelaksana tugas,” kata pakar kebijakan publik itu.

Menurutnya, beberapa praktik di kabupaten lain bahwa perubahan KSOTK tidak harus berimplikasi plt semua jabatan, seperti yang dilakukan Bupati Bogor dengan langkah mengukuhkan kembali pejabat lama untuk jabatan dengan ketentuan SOTK baru, bukan menjadikan plt.

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati, sehingga semua diasumsikan demisioner semua jadi staf dan bupati mengangkat pejabat baru dengan status plt,” katanya pula.

Ia menilai status plt adalah status implikasi kegamangan bupati, karena adanya larangan untuk melakukan mutasi dan rotasi jabatan sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta surat edaran Mendagri, yang salah satu poinnya adalah bupati atau wali kota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemprov atau pemda dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.

Sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP), lanjut dia, terdapat batasan-batasan untuk plt yang diatur pada pasal 34 ayat 2, meskipun tidak begitu jelas yakni plh atau plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Ketentuan yang jelas yang harus dijadikan pedoman sebagaimana SE Mendagri larangan mutasi adalah Surat Edaran BKN Nomor 2/se/vii/2019,” katanya lagi.

Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa plt adalah pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran.

“Artinya keputusan strategis itu masih melekat pada pemberi mandat dalam hal ini bupati selaku kepala daerah. Jabatan plt hanya berlaku untuk 3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan berikutnya,” katanya lagi.

Ia mengatakan konteks itu yang harus diperhatikan, karena di Jember saat ini pada posisi pembahasan APBD 2021 dan semua yang terlibat dalam proses APBD 2021 mulai dari penyusunan KUA PPAS, dan setelah ditetapkan untuk dibahas RKA OPD menjadi rancangan APBD 2021 yang merupakan kebijakan strategis dan terkait anggaran.

Sedangkan saat ini kepala OPD di Jember semuanya adalah plt dan tentunya memiliki kewenangan terbatas (tidak memiliki kewenangan) karena jabatan mandatori.

“Itu masalah yang harus dipikirkan dan Bupati Hendy harus hati-hati dalam melangkah. Kasus di Bondowoso dan beberapa daerah lain, yakni DPRD menolak membahas karena OPD adalah plt yang tidak memiliki kewenangan bicara perubahan anggaran,” ujarnya pula.

Hermanto menilai pilihan langkah yang diambil Bupati dengan nilai plusnya bisa menggeser orang yang dirasakan menghambat proses dengan mengganti sementara orang yang yang dirasa bisa mempercepat proses APBD 2021.

Namun, nilai minusnya adalah mengosongkan dan mengangkat plt di semua jabatan yang tentunya memiliki keterbatasan dan tidak berwenang membahas anggaran.

“Semua akan tergantung dinamika politik di Jember. Jember koyoke wis wayahe mikir lagi (Jember sepertinya harus berpikir lagi),” katanya pula. (ant)

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati,”

Bangga Indonesia, Jember, Jawa Timur – Pengamat pemerintahan dan keuangan daerah dari FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman MPA menilai kebijakan yang dilakukan Bupati Jember Hendy Siswanto dengan memutasi seluruh pejabat eselon II, III, dan IV menjadi pelaksana tugas (plt) dalam penataan birokrasi kurang tepat.

“Dalam konteks normal baik secara iklim dan budaya birokrasi, mendemisionerkan pejabat definitif menjadi plt merupakan langkah yang kurang tepat,” kata Hermanto, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.

Bupati Hendy menyerahkan SK Plt kepada 631 pejabat di lingkungan Pemkab Jember yang dimutasi dan ditetapkan sebagai plt, sedangkan Sekretaris Daerah Jember Mirfano ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) di aula Pendapa Wahyawibawagraha Jember, Jumat (12/3).

“Apa yang dilakukan Bupati Hendy dengan penetapan Perbup KSOTK 2021 sebenarnya menggunakan fondasi raperbup yang sudah diajukan Plt Bupati A Muqit Arief,” katanya pula.

Bahkan pengundangan yang dilakukan saat ini juga sama dengan yang dilakukan mantan Bupati Faida saat itu, dengan mendemisioner seluruh jabatan dan mengangkat plt, namun bedanya yang dilakukan Faida saat itu ada masih menyisakan masalah dengan belum menjalankan rekomendasi surat Mendagri serta pengundangan SOTK cacat secara hukum.

“Yang sama baik dilakukan Bupati Hendy dengan mantan Bupati Faida adalah memutuskan demisioner pada pejabat lama dan mengangkat pelaksana tugas,” kata pakar kebijakan publik itu.

Menurutnya, beberapa praktik di kabupaten lain bahwa perubahan KSOTK tidak harus berimplikasi plt semua jabatan, seperti yang dilakukan Bupati Bogor dengan langkah mengukuhkan kembali pejabat lama untuk jabatan dengan ketentuan SOTK baru, bukan menjadikan plt.

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati, sehingga semua diasumsikan demisioner semua jadi staf dan bupati mengangkat pejabat baru dengan status plt,” katanya pula.

Ia menilai status plt adalah status implikasi kegamangan bupati, karena adanya larangan untuk melakukan mutasi dan rotasi jabatan sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta surat edaran Mendagri, yang salah satu poinnya adalah bupati atau wali kota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemprov atau pemda dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.

Sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP), lanjut dia, terdapat batasan-batasan untuk plt yang diatur pada pasal 34 ayat 2, meskipun tidak begitu jelas yakni plh atau plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Ketentuan yang jelas yang harus dijadikan pedoman sebagaimana SE Mendagri larangan mutasi adalah Surat Edaran BKN Nomor 2/se/vii/2019,” katanya lagi.

Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa plt adalah pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran.

“Artinya keputusan strategis itu masih melekat pada pemberi mandat dalam hal ini bupati selaku kepala daerah. Jabatan plt hanya berlaku untuk 3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan berikutnya,” katanya lagi.

Ia mengatakan konteks itu yang harus diperhatikan, karena di Jember saat ini pada posisi pembahasan APBD 2021 dan semua yang terlibat dalam proses APBD 2021 mulai dari penyusunan KUA PPAS, dan setelah ditetapkan untuk dibahas RKA OPD menjadi rancangan APBD 2021 yang merupakan kebijakan strategis dan terkait anggaran.

Sedangkan saat ini kepala OPD di Jember semuanya adalah plt dan tentunya memiliki kewenangan terbatas (tidak memiliki kewenangan) karena jabatan mandatori.

“Itu masalah yang harus dipikirkan dan Bupati Hendy harus hati-hati dalam melangkah. Kasus di Bondowoso dan beberapa daerah lain, yakni DPRD menolak membahas karena OPD adalah plt yang tidak memiliki kewenangan bicara perubahan anggaran,” ujarnya pula.

Hermanto menilai pilihan langkah yang diambil Bupati dengan nilai plusnya bisa menggeser orang yang dirasakan menghambat proses dengan mengganti sementara orang yang yang dirasa bisa mempercepat proses APBD 2021.

Namun, nilai minusnya adalah mengosongkan dan mengangkat plt di semua jabatan yang tentunya memiliki keterbatasan dan tidak berwenang membahas anggaran.

“Semua akan tergantung dinamika politik di Jember. Jember koyoke wis wayahe mikir lagi (Jember sepertinya harus berpikir lagi),” katanya pula. (ant)

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati,”

Bangga Indonesia, Jember, Jawa Timur – Pengamat pemerintahan dan keuangan daerah dari FISIP Universitas Jember Hermanto Rohman MPA menilai kebijakan yang dilakukan Bupati Jember Hendy Siswanto dengan memutasi seluruh pejabat eselon II, III, dan IV menjadi pelaksana tugas (plt) dalam penataan birokrasi kurang tepat.

“Dalam konteks normal baik secara iklim dan budaya birokrasi, mendemisionerkan pejabat definitif menjadi plt merupakan langkah yang kurang tepat,” kata Hermanto, di Kabupaten Jember, Jawa Timur, Sabtu.

Bupati Hendy menyerahkan SK Plt kepada 631 pejabat di lingkungan Pemkab Jember yang dimutasi dan ditetapkan sebagai plt, sedangkan Sekretaris Daerah Jember Mirfano ditetapkan sebagai Penjabat (Pj) di aula Pendapa Wahyawibawagraha Jember, Jumat (12/3).

“Apa yang dilakukan Bupati Hendy dengan penetapan Perbup KSOTK 2021 sebenarnya menggunakan fondasi raperbup yang sudah diajukan Plt Bupati A Muqit Arief,” katanya pula.

Bahkan pengundangan yang dilakukan saat ini juga sama dengan yang dilakukan mantan Bupati Faida saat itu, dengan mendemisioner seluruh jabatan dan mengangkat plt, namun bedanya yang dilakukan Faida saat itu ada masih menyisakan masalah dengan belum menjalankan rekomendasi surat Mendagri serta pengundangan SOTK cacat secara hukum.

“Yang sama baik dilakukan Bupati Hendy dengan mantan Bupati Faida adalah memutuskan demisioner pada pejabat lama dan mengangkat pelaksana tugas,” kata pakar kebijakan publik itu.

Menurutnya, beberapa praktik di kabupaten lain bahwa perubahan KSOTK tidak harus berimplikasi plt semua jabatan, seperti yang dilakukan Bupati Bogor dengan langkah mengukuhkan kembali pejabat lama untuk jabatan dengan ketentuan SOTK baru, bukan menjadikan plt.

“Jember mengambil langkah melakukan plt, karena dirasa ada pejabat yang menghambat atau tidak sejalan dengan visi dan misi bupati, sehingga semua diasumsikan demisioner semua jadi staf dan bupati mengangkat pejabat baru dengan status plt,” katanya pula.

Ia menilai status plt adalah status implikasi kegamangan bupati, karena adanya larangan untuk melakukan mutasi dan rotasi jabatan sesuai Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta surat edaran Mendagri, yang salah satu poinnya adalah bupati atau wali kota yang akan melakukan penggantian pejabat di lingkungan pemprov atau pemda dalam jangka waktu 6 bulan terhitung sejak tanggal pelantikan harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mendagri.

Sesuai Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UUAP), lanjut dia, terdapat batasan-batasan untuk plt yang diatur pada pasal 34 ayat 2, meskipun tidak begitu jelas yakni plh atau plt melaksanakan tugas serta menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan rutin yang menjadi wewenang jabatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Ketentuan yang jelas yang harus dijadikan pedoman sebagaimana SE Mendagri larangan mutasi adalah Surat Edaran BKN Nomor 2/se/vii/2019,” katanya lagi.

Dalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa plt adalah pejabat pemerintahan yang memperoleh wewenang melalui mandat tidak berwenang mengambil keputusan dan/atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi kepegawaian dan alokasi anggaran.

“Artinya keputusan strategis itu masih melekat pada pemberi mandat dalam hal ini bupati selaku kepala daerah. Jabatan plt hanya berlaku untuk 3 bulan dan dapat diperpanjang paling lama 3 bulan berikutnya,” katanya lagi.

Ia mengatakan konteks itu yang harus diperhatikan, karena di Jember saat ini pada posisi pembahasan APBD 2021 dan semua yang terlibat dalam proses APBD 2021 mulai dari penyusunan KUA PPAS, dan setelah ditetapkan untuk dibahas RKA OPD menjadi rancangan APBD 2021 yang merupakan kebijakan strategis dan terkait anggaran.

Sedangkan saat ini kepala OPD di Jember semuanya adalah plt dan tentunya memiliki kewenangan terbatas (tidak memiliki kewenangan) karena jabatan mandatori.

“Itu masalah yang harus dipikirkan dan Bupati Hendy harus hati-hati dalam melangkah. Kasus di Bondowoso dan beberapa daerah lain, yakni DPRD menolak membahas karena OPD adalah plt yang tidak memiliki kewenangan bicara perubahan anggaran,” ujarnya pula.

Hermanto menilai pilihan langkah yang diambil Bupati dengan nilai plusnya bisa menggeser orang yang dirasakan menghambat proses dengan mengganti sementara orang yang yang dirasa bisa mempercepat proses APBD 2021.

Namun, nilai minusnya adalah mengosongkan dan mengangkat plt di semua jabatan yang tentunya memiliki keterbatasan dan tidak berwenang membahas anggaran.

“Semua akan tergantung dinamika politik di Jember. Jember koyoke wis wayahe mikir lagi (Jember sepertinya harus berpikir lagi),” katanya pula. (ant)

Next Post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Recent News