Site icon Bangga Indonesia

PENTINGNYA MEMASUKKAN KESADARAN KETUHANAN PADA SAINS

Sumber gambar google

Pentingnya memasukkan Kesadaran Ketuhanan pada Sains

DR Nasrul Syarif M.Si

Sobat. Keterpaduan sains  dengan agama ( Islam )  ternyata hanya  memerlukan  sudut pandang Islam ( Islamic world view ) dalam melihat berbagai persoalan. Keterpaduan akan  tercapai  manakala nilai-nilai  dan ajaran Islam  menjadi  sudut pandang dalam melihat dan memecahkan  berbagai persoalan duniawi.

Sobat. Hussein Abdullah  menyebutkan sikap kaum muslimin  terhadap  berbagai teori  yang datang  dari luar Islam ( baik dari barat maupun dari timur atau belahan bumi lainnya ), harus dipilah  menjadi tiga bagian, yakni : 1. Sikap terhadap sistem kehidupan , seperti sistem social, sistem politik, dan sistem ekonomi yang datang dari luar Islam. 2.  Sikap terhadap  hadharah  atau  sudut pandang kehidupan yang menjadi ciri khas suatu kaum, dan terkait dengan keyakinan mereka. 3. Sikap  terhadap teori-teori ilmiah  yang  netral, yang tidak terkait  dengan suatu keyakinan tertentu.

Sobat. Maka  terdapat tiga sikap  yang  harus  menjadi  pegangan  para scientist  muslim, di mana sikap  tersebut dibangun atas landasan  aqidah Islam.

Pertama. Kaum muslimin  harus  menolak  hadharah dan tsaqofah  yang berasal dari kaum non-muslim  yang terkait dengan keyakinan yang bertentangan dengan  Islam. Oleh sebab itu,  mengambil hadharah dan tsaqofah  yang selain Islam untuk dioterapkan  berarti telah mengambil keyakinan, sudut pandang, dan hukum-hukum yang bukan Islam. Namun demikian, ini tidak berarti hadharah dan tsaqofah  selain Islam tidak boleh dipelajari. Sebab pada dasarnya dalam Islam semua pengetahuan boleh dipelajari, termasuk ilmu sihir sekalipun. Yang tidak boleh mengadposi, mengamalkan atau mempraktikkan pengetahuan yang bertentangan dengan Islam.

Kedua. Mengenai madaniyyah, jika madaniyyah  tersebut sekalipun  berbentuk fisik tetapi  diambil  dan berasal  dari  suatu pandangan  hidup tertentu selain Islam, maka seorang muslim tidak boleh mengambilnya, seperti patung budha dan salib. Sebaliknya jika madaniyyah  tersebut  berupa  hasil  dari sains  yang bersifat netral, maka seorang muslim boleh mengambilnya  seperti  mobil, alat komunikasi, televisi,  dan pengeras  suara.

Ketiga. Kaum muslimin  boleh  mengambil ilmu-ilmu  yang  bersifat eksperimental  dan netral, dari mana pun sumbernya, seperti ilmu-ilmu fisika  yang  bersifat fraksis, ilmu kedokteran, ilmu-ilmu computer, dan lain sebagainya.[1]  Termasuk dalam hal ini, setiap  upaya  untuk  meningkatkan  kualitas  dan kuantitas  barang dan jasa. Ketika Rasulullah SAW ditanya  tentang tata cara  penyerbukan kurma, maka beliau menjawab, “ antum a’lamu biumuri dunyakum – Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.”  Artinya  untuk masalah-masalah  praktis  yang terkait  dengan  teknologi  untuk  menopang  kehidupan, maka seorang muslim boleh mengambilnya  dari mana pun berasal, baik dari Islam maupun dari luar Islam.

Sobat. Oleh karena itu, sebagai  sebuah langkah strategik  untuk  mencapai  keterpaduan  sains  dengan  agama. Setelah memilah  antara teori  yang merupakan hasil pemikiran seseorang, juga setelah memilah  antara sistem, hadharah  dan sains  yang netral. Setidaknya kita  dapat melakukan lima langkah strategic, yakni

  1. Fiksasi . Menerima teori-teori yang dihasilkan melalui proses berpikir sains yang bersifat  empiris-laboratoris, obyektif, factual dan replicable. Karena bersifat netral dan tidak terkait dengan keyakina agama atau ideology tertentu, maka seorang muslim dapat belajar  tentang sains kepada siapapun, termasuk kepada non muslim.
  2. Internalisasi. Jika teori-teori ilmiah tidak terkait dengan keyakinan dan netral maka ilmuwan muslim bisa melakukan internalisasi.
  3. Koreksi.Jika teori-teori ilmiah mengandung keyakinan agama tertentu atau ideology yang bertentangan dengan Islam namun netral maka ilmuwan muslim bisa melakukan koreksi.
  4. Substitusi. Jika teori-teori ilmiah mengandung keyakinan agama tertentu dan ideology yang bertentangan dengan islam dan juga tidak netral maka ilmuwan muslim melakukan substitusi.
  5. Adisi. Jika teori-teori ilmiah terkait dengan keyakinan ya atau tidak  dan  bersifat netral ya atau tidak maka ilmuwan muslim harus melakukan adisi.

Sobat. Kita  harus  memandang  obyek sains  berdasarkan  world view ( sudut pandang )Islam, bukan  sudut pandang positivism  yang menolak Tuhan  dan Wahyu.   Kita  perlu mewujudkan  kesadaran Tuhan ( kesadaran tauhid )  terhadap benda-benda  yang dikaji  melalui proses ilmiah laboratoris, tanpa mengganggu proses alamiah ( sunnatullah ) yang terdapat  pada benda yang bersifat fisikal-material tersebut, dan tanpa mengganggu  proses  dan prosedur sains. Kesimpulan yang diperoleh tidak hanya  menghasilkan hal-hal  yang bersifat madaniyyah, melainkan memunculkan kesadaran  ketuhanan ( idrak sillah billah ).

Oleh Karena itu, semakin tinggi pemahaman seseorang terhadap materi  melalui proses  dan prosedur ilmiah, sejatinya ia harus  semakin memahami ketentuan Allah  tentang benda tersebut. Hal ini hanya mungkin  jika  terdapat kesadaran tauhid  yang sangat tinggi pada  diri seorang saintis.

Sobat. Ketika Al-Qur’an  menyebutkan beberapa jenis  tumbuhan  dan hewan, maka hal ini  menjadi pendorong utama bagi para ilmuwan  untuk mempelajari karakteristik  tumbuhan dan hewan tersebut. Beberapa tumbuhan dan hewan tersebut  dalam Al-Qur’an ialah ; zaitun, tin, kurma, delima, lebah, unta, burung, semut, belalang, ikan, dan nyamuk. Karena itu, studi tentang tumbuh-tumbuhan (botani) dan kehidupan hewan (hayawan) menjadi salah satu aspek yang menjadi perhatian ilmuwan muslim.

Internalisasi  kesadaran tauhid  terhadap proses  pekerjaan sains  akan melahirkan sikap  seorang muslim  yang  khas  terhadap  hasil penelitian sains. Sekalipun bentuk teorinya sama, kesadaran dan motivasinya berbeda. Abdus Salam, pemenang hadiah nobel bidang fisika pada tahun 1979 bersama Steven Weinberg  sepakat dengan Weinberg  mengenai penggabungan gaya-gaya elektromagnetik lemah, tetapi Abdus Salam  termotivasi oleh latar belakang religiusitas yang tinggi.

Sobat. Dengan  menjadikan  tauhid  sebagai paradigma , maka  semua ilmu akan bermuara pada pembuktian  keberadaan  dan kebesaran Allah ; sebagai instrument  untuk melaksanakan perintah Allah, berorientasi pada  tindakan  dan perilaku  untuk  mendekatkan diri  kepada Allah, mewujudkan idealisasi Islam  dalam  mewujudkan umat Islam  sebagai umat  terbaik (khaira ummah)  serta  mewujudkan konsepsi  Islam  sebagai agama  yang memberikan rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil”alamin ).

Paradigma Al-Qur’an menurut Kuntowijoyo, ialah : “Suatu kontruksi  pengetahuan  yang memungkinkan kita memahami realitas  sebagaimana Al-Qur’an memahaminya.” Konstruksi pengetahuan  berdasarkan Al-Qur’an  akan membantu  merumuskan desain-desain mengenai sistem Islam yang menyangkut berbagai aspek kehidupan, termasuk sistem pengetahuan. Karena itu, paradigm Al-Qur’an, selain  memberikan gambaran aksiologis, juga memberikan wawasan epistemologis.[2]

Sobat. Kesadaran  Ketuhanan  harus  menjadi factor  bagi keberhasilan  pendidikan. Ini merupakan basis  yang sangat mendasar. Atas  basis ini, dapat dilakukan spesialisasi  sesuai dengan minat masing-masing. Kajian-kajian Islam lanjutan dapat  menjadi salah satu pilihan spesialisasi. Selain itu siswa dapat  memilih spesialisasi lain, seperti berbagai  keterampilan yang  berasal dari sains  dan teknologi, kewirausahaan dan lain sebagainya.

Maka indikator keberhasilan  perwujudan integrasi  keilmuwan  adalah sebagai berikut :

  1. Adanya kesadaran Ketuhanan yang sangat tinggi ; tujuan hidup yang paling utama ialah mencapai ridha Allah sampai terbentuknya kepribadian Islam.
  2. Adanya kemampuan dasar tentang Keislaman  yang dapat  mendorong ke arah transformasi  social, yakni pembebasan  dari nilai-nilai dan belenggu pemikiran barat  yang sekuler, menciptakan kehidupan manusia yang lebih baik dan kesadaran religiusitas ( transedensi ).
  3. Adanya kemampuan memadai dalam  bidang spesialisasi  yang menjadi tujuannya. Hal ini, tentu memerlukan  pengkondisian yang cukup baik.

Keterpaduan sains  dengan agama ( Islam )  ternyata hanya  memerlukan  sudut pandang Islam ( Islamic world view ) dalam melihat berbagai persoalan. Keterpaduan akan  tercapai  manakala nilai-nilai  dan ajaran Islam  menjadi  sudut pandang dalam melihat dan memecahkan  berbagai persoalan duniawi. Hanya saja, ketika world  view Islam yang muncul  dalam memecahkan berbagai persoalan ( seperti persoalan ekonomi dan politik ), maka dengan sendirinya  hal ini akan menggeser sudut pandang  sekulerisme. (  FS, Sidoarjo, 9 Mei 2020 )

[1] Muhammad Hussein Abdullah, al-Dirosah fi al-fikri al-Islamy  ( Aman : Dar al-Bayariq,1990) h.75

[2] Moh. Shofan, Pendidikan Berparadigma Profetik (Gresik : UMG Press, 2000) h.133

Exit mobile version