Bangga Indonesia, Trawas Mojokerto – Peserta “Ngaji Jurnalistik” antusias sekali menyambut tiga pemateri yang dihadirkan media portal Bangga Indonesia di Pesantren Ummul Quro, Seloliman Trawas Mojokerto, Sabtu (23/01/2021).
Pemimpin Redaksi Bangga Indonesia, Abdul Muis yang tampil di sesi pertama seusai salat duhur tampil gayeng. Dengan gaya khasnya yang tidak membosankan, mantan wartawan Jawa Pos ini menyampaikan materi: Menulis yang Benar.
Selama tiga jam penuh peserta yang semuanya nol pengetahuan jurnalistik itu dibuatnya terkesima. Semangat mereka pun menyala. Keingintahuannya soal jurnalisme juga sangat tinggi.
Wartawan senior yang 30 tahun berkarir di Jawa Pos Grup ini puas. Ia lantas meminta peserta tidak hanya pasif menjadi pendengar.
Mereka diminta malam itu juga diberi “PR” langsung menulis salah satu jenis berita dari materi yang sudah disampaikan. “Besok (Minggu) karya Anda saya periksa,” aku Cak Amu, sapaan wartawan yang pernah meliput penemuan markas GAM di Malaysia ini.
Cak Amu mengisahkan semasa menjadi muridnya Dahlan Iskan di Jawa Pos, karya beritanya tidak langsung dimuat. Dahlan butuh waktu tiga bulan untuk masuk bengkel wartawan baru. “Kami melakukan tadarusan setiap pagi,” ujarnya.
Tapi di “Ngaji Jurnalistik” kali ini, Cak Amu tidak meniru cara Dahlan. Ia hanya butuh satu hari, peserta bisa menulis berita.
“Tidak pakai lama. Karya tulisan Anda kalau baik akan langsung ditayang di Bangga Indonesia,” janjinya.
Sesi pertama selesai. Acara salanjutnya menampilkan wartawan milenial, Salman Alfarisi.
Redaktur Pelaksana media ini, juga gayeng di sesi setelah salat magrib. Sarjana Ilmu Komunikasi Universitas Trunojoyo, Bangkalan Madura ini menyampaikan kiat-kiatnya manjadi fotografi jurnalistik yang handal.
Selama dua jam full, mantan wartawan Milenial Jawa Pos ini menggarisbawahi bahwa dunia fotografi sangat penting bagi dunia jurnalistik.
Berita tanpa foto, menurut Salman sama dengan sebuah keluarga. “Berita dan foto itu sama dengan suami istri. Kalau berita itu suami, maka foto adalah istrinya. Jadi berita dan foto hukumnya wajib ada,” jelasnya.
Akan lebih mantap lagi, tambah bapak satu anak ini, wartawan juga bisa menyoting video dari handphone-nya. Media di era kekinian bukan hanya foto yang diperlukan, tapi juga video.
Karena itu, Bangga Indonesia siap menjadi pendamping calon penulis untuk melengkapi keinginannya manjadi penulis plus pemotretan, serta pengambilan video. “Di Bangga Indonesia ini lengkap mentornya. Pakar semua,” seru Salman tersenyum.
Di sesi terakhir, hari pertama pelatihan yang jumlah pesertanya terbatas ini, giliran DR N Faqih Syarif H, M.Si mampu membuat peserta tetap gempita. Tidak ada yang mengantuk, walau hari itu sudah larut malam.
Sesi yang dilanjutkan setelah salat Isyak ini, berlangsung hingga jam 10 malam lebih. Peserta juga tetap tak mengurangi keingintahuan tentang jenis penulisan.
Direktur Bisnis Bangga Indonesia ini, mampu membuat peserta yang sudah mulai mengantuk melek kembali. Ini lantaran bapak dua anak, yang karib disapa Ustad ini, bisa membawa diri sebagai motivator nasional.
Gayanya yang khas, suara yang lantang dan dibarengi segudang referensi penulis top nasional, Ustad Faqih membuat sesi terakhir ini bisa diikuti peserta sampai rampung. Bahkan, beberapa peserta masih ada yang mengajak diskusi soal cara menulis buku yang jitu.
Hampir 30 lebih buku karya Ustad Faqih yang beredar di pasaran. Sang motivator ini menyampaikan kiat-kiatnya bagaimana metodologi menulis yang simpel dan mudah dilakukan.
“Mulai saat ini menulis apa yang kalian lihat, dengar dan rasakan,” pinta pemilik buku Buatlah Tanda di Alam ini.
“Tidak ada kata tidak mungkin. Ada lima alasan kenapa hal itu tidak akan terjadi,” jelasnya.
Menurut dia, ada lima alasan yang menghambat orang meraih sukses termasuk dalam berkarya. Apa?
Pertama, katanya, berpikir negatif. Belum mencoba sudah bilang tidak bisa.
Kedua. Dalih usia. “Yang usia muda saya kan masih muda. Yang tua alasannya saya kan sudah tua,” jelasnya.
Ketiga? Dalih kesehatan. “Kalau dalih kesehatan dipakai kita tidak akan punya tokoh hebat seperti Gus Dur. Apakah Gus Dur pakai dalih kesehatan,” tanya bapak dua anak yang biasa disapa Ustad ini.
Yang keempat, menurut dia, dalih latar belakang pendidikan. “Saya tidak mungkin bisa saya kan bukan sarjana,” ucapnya.
Nah, kalau dalih itu dipakai kita tidak akan punya motivator terbaik di Indonesia seperti Andrie Wongso. “Dia SD tidak tamat. Apakah beliau pakai alasan latar belakang pendidikan?”
Kelima, menurut dia dalih nasib. “Ya gimana lagi sudah nasibnya. Padahal Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu mengubah dirinya sendiri,” ulasnya.
Penyampaian Ustad seakan mampu menghipnotis peserta. Suasana kian gayeng kendati sudah larut malam. Sayang Ustad sendiri yang harus mengakhiri sesi penutup ini karena Minggu pagi masih ada acara lanjutan.
Lagi pula, peserta malam itu juga harus menyelesaikan tugasnya membuat karya tulisan yang akan dibahas di hari kedua Ngaji Jurnalistik ini. (aba)