Bangga Indonesia, Jakarta – Ranginang merupakan salah satu penganan “legendaris” di Jawa Barat, juga di sejumlah daerah lainnya meskipun memiliki nama berbeda.
Terbuat dari beras ketan yang diolah dengan racikan yang sederhana membuat ranginang menjadi makanan yang tahan lama dan menjadi andalan di berbagai kegiatan masyarakat sebagai sajian wajib yang disajikan di dalam toples.
Di Jawa Barat, ranginang selalu ada di setiap pesta sebagai hidangan bagi tamu atau juga selalu tersedia di rumah-rumah penduduk untuk sajian bila ada tamu yang datang berkunjung.
Secara umum ranginang, yang dimasak dengan digoreng dengan minyak, itu warnanya putih. Penganan dari beras ketan itu mengembang ketika digoreng sehingga renyah saat disantap.
Mungkin anak-anak muda sekarang tidak banyak yang bisa bikin ranginang. Sebagian besar pembuatnya adalah orang tua. Resep sederhananya pun turun-temurun tanpa ada yang mencatatnya.
Cara pembuatan ranginang juga tidak mudah. Bahannya adalah beras ketan putih, garam, terasi,dan sedikit daun pandan wangi untuk menambah aroma.
Untuk ranginang konvensional, beras ketan itu dibersihkan seperti biasa, kemudian ditanak hingga matang. Selanjutnya beras itu dicampur dengan sedikit terasi dan sedikit cairan daun pandan wangi hingga merata.
Kemudian beras ketan yang lengket itu kemudian dibentuk bulat-bulat dengan diameter maksimal 5-7 centimeter dan ketebalan sekitar 0,5 centimeter, yang dibentuk dan dalam ayakan atau saringan yang terbut dari anyaman bambu.
Namun dalam pembuatannya jangan terlalu ditekan, karena bisa berpengaruh kepada kerenyahan ranginang saat digoreng.
Bisa juga dicetak dan diletakan di atas alat khusus yang disebut ‘beleketebe’ yang terbuat dari anyaman pelepah daun kelapa. Kemudian setelah semua tercetak bulat-bulat langsung dijemur dalam tiga hari hingga seminggu untuk mendapatkan kekeringan yang maksimal.
Setelah kering dan mengelupas sendiri, maka jadilan ranginan yang siap dikonsumsi setelah digoreng terlebih dahulu.
Namun sekarang, ranginang itu sudah mulai banyak varian rasa. Selain aroma biasa juga ada aroma vanila, atau bahkan ada rasa coklat dan stowbery tergantung kreatifitas pembuatnya.
Penganan ranginan, selain menjadi santapan rakyat, juga menjadi hidangan bagi para pejabat yang hadir dalam berbagai kegiatan. Bahkan ada sejumlah pengrajin ranginang di Jawa Barat yang mengekspor ranginang ke Jepang dan beberapa negara lainnya.
Teman Ngopi
Bagi sebagian orang, makan ranginang menjadi kebiasaan mereka saat pagi hari atau mengisi senggang mereka. Hal ini biasa dilakukan oleh masyarakat di pedesaan.
Pagi hari, sambil menikmati suasana matahari terbit di pedesaan rangingan disajikan di toples di atas meja, ditemani segelas kopi dan juga ‘wajit’ (yang juga makanan legendaris). Makanannyapun diseling dengan menyeruput kopi dengan penuh perasaan dan cita rasa.
Siapapun bisa mencoba kegiatan menikmati pagi dengan ranginang, wajit dan kopi. Para orang tua biasa melakukannya sebelum melakukan aktifitas ke kebun atau tempat kerja mereka.
Biasanya satu gelas kopi cukup membarengi makan satu atau dua bundaran ranginang serta satu atau dua wajit. Durasi menikmatinyapun bervariasi bisa 30 menit sebelum berangkat kerja.
Bagi ibu-ibu yang kreatif, rangingan itu juga bisa dipanggang. Selain untuk langsung disantap, juga bisa ditambah bumbu bawang, kencur, sedikit garam yang kemudian ditumbuk. Kemudian ranginang yang sudah hancur berbaur dengan bumbu itu ditambah bakar ubi kayu atau bakar pisang mengkal yang juga ditumbuk.
Selanjutnya dimasukan dua centong nasi dan ditumbuk sampai merata, maka jadilah “getuk’ atau “gegetuk” yang tak kalah enaknya untuk sarapan pagi. (*)
Dan yang jelas cara menyimpan ranginang yang siap digoreng juga tidak susah, dan bisa disimpankan di mana saja asalkan kondisinya kering. Hanya saja untuk menjadi oleh-oleh bagi saudara, teman atau kerabat sebaiknya dalam bentuk mentah atau sebelum digoreng.
Pasalnya, bila sudah digoreng kondisinya renyah dan mudah hancur bila tertekan di sekelilingnya. Meski demikian, saat ini di gerai-gerai penjualan kuliner banyak dijual ranginan yang siap santap atau sudah digoren dengan kemasan plastik yang kebih kuat sehingga bisa mencegah ranginang remuk di dalamnya.
Penganan legendaris memang tidak bisa dan tidak perlu diperbandingkan dengan makanan-makanan praktis, siap saji, import atau yang lainnya yang diolah dengan kekinian bahkan dukungan teknologi.
Tapi justru kesederhanaan dalam memproduksinya, dan mudah untuk mengembangkan variasinya ini justeru masih menjadi peluang untuk dikembangkan.
Ranginang memang penganan legend, tak tersisih di forum yang selama ini mengandalkannya untuk hidangan para undangan. Meski volumenya mungkin tidak sebanyak masa lalu saat ranginang menjadi andalan bagi tuan rumah hajatan untuk menjamu para tamunya.
Selamati mencoba membuat ranginang, penganan legendaris yang akan tetap eksis. Untuk menjadi penganan di kafe-kafe pun, kenapa tidak?
(*)