Spirit Santri
M.Zainal ‘Abidin
Istilah “santri”, menurut pendapat itu, diambil dari salah satu kata dalam bahasa Sanskerta, yaitu sastri yang artinya “melek huruf” atau “bisa membaca”. Versi ini terhubung dengan pendapat C.C. Berg yang menyebut istilah “santri” berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti “orang yang mempelajari kitab-kitab suci agama Hindu”. Nurcholis Madjid lewat buku Bilik-bilik Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan (1999) menautkan pendapat tersebut dengan menuliskan bahwa kata “santri” bisa pula berasal dari bahasa Jawa, yakni cantrik yang bermakna “orang atau murid yang selalu mengikuti gurunya”.
Ada pula yang mengaitkan asal usul istilah “santri” dengan kata-kata dalam bahasa Inggris, yaitu sun (matahari) dan three (tiga), menjadi tiga matahari. Dinukil dari tulisan Aris Adi Leksono bertajuk “Revitalisasi Karakter Santri di Era Milenial” , maksud tiga matahari itu adalah tiga keharusan yang harus dimiliki oleh seorang santri, yaitu Iman, Islam, dan Ihsan. Menurut hemat penulis harus ada trilogi yang harus diperhatikan santri, yaitu Hubungan dengan Allah (HablumminAllah, HamblumninanNas dan HambluminalAlam)
Adapun menurut Gus Mus (Mustofa Bisri), Santri bukanlah yang ada dipondok pesantren saja, tetapi siapapun yang ber akhlak seperti santri (akhlakul karimah) ialah santri. Keyword nya adalah Akhlak. Maka berakhlaklah seperti yang diajarkan gurumu, dan apa yang ada digurumu juga berasal dari gurunya. Maka di pondok pesantren dikenal dengan istilah Sanad. Sebagaimana juga dikatakan Cak Adib putra dari yai Anwar Manshur, dawuh doanya masyayikh itu menggunakan kata “santri” ketika mendoakan santri-santrinya. Jadi posisikanlah diri kalian sebagai kata santri yang utuh. Seperti yang dikatakan Gus Mus diatas. Untuk mendapatkan keberkahan doa dari masyayyikh.
Dalam masa sebelum berdirinya bangsa Indonesia, kaum santri sudah turut andil dalam membangun peradaban dan pendidikan masyarakat di Indonesia. Sebut saja peran Walisongo dan santri-santrinya yang telah memberi angin segar bagi majunya peradaban, budaya dan pendidikan di masyarakat. Walisongo dan santri-santrinya telah mengajarkan masyarakat Indonesia tentang kesamaan derajat dan arti pentingnya persatuan dan kesatuan dalam mewujudkan masyarakat yang kuat dan berdaulat.
Apakah kontribusi santri sudah selesai begitu saja? Apakah hanya dengan menerima kemerdekaan saja yang telah diperjuangkan simbah-simbah kita dulu. Atau malah berfoya-foya atas kesejahteraan yang diberikan pendahulu kita. Masih pantaskah masih layakkah kita hanya berdiam diri tanpa kontribusi (anfa’) manfaat untuk orang lain. Seharusnya dengan andilnya santri dizaman dulu memberikan era segar saat ini untuk kita jaga keuutuhannya. Jangan apatis (acuh tak acuh). Orang yang baik bukanlah yang cerdas bukanlah yang pandai akan tetapi yang bisa memberi kemanfaatan.
خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain”
Bermanfaatlah untuk masyarakat sekelilingmu, kalau belum bisa manfaatlah untuk keluargamu, kalau belum bisa manfaat lagi bermanfaatlah untuk dirimu sendiri agar lebih siaplagi menabur kemanfaatan. Untuk mengupgrade diri menjadi yang lebih baik memerlukan 2 unsur. Yaitu himatul aliyah (cita-cita luhur) dan Ghiroh (semangat). Keduanya harus ada, salah satu aja geser atau ndak ada ndak akan tercipta pribadi yang baik. Untuk waktu masalah waktu “janganlah cari waktu yang luang, tapi luangkanlah waktumu untuk belajar” seperti redaksi dibawah.
”Dalam sebuah kalam hikmah disebutkan :
العلم لا يعطيك بعضه حتى تعطيه كلك
“ilmu tidak akan sudi memberikan sebagian dirinya kepadamu, hingga kamu bersedia mempersembahkan dirimu sepenuhnya padanya untuk ilmu”
Dari redaksi diatas, untuk mengapai kemanfaatan tahap awal adalah bagaimana membutuhkamn pengetahuan dan untuk mendapatkan pengetahuan atau ilmu dibutuhkan keseungguhan (Tlaten.) Santri berpegag teguh Sebagaimana yang sering digunakan NU dalam kaidah ushul fikihnya yang berbunyi
ﻟْﻣﺣﺎﻓظﺔ ﻋﻟﯽ اﻟﻘدﯾم اﻟﺻﺎﻟﺢ واﻻﺧذ ﺑﺎﻟﺟدﯾد اﻻﺻﻟﺢ
“Memelihara yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik”
Jadi, tidak ada rassisme antara kaum tradisionalis dengan modernis yang mengedepankan akalnya. Dengan berbekal faham Ahalussunah Waljamaah dan semangat santri dapat lebih siap lagi di garda terdepan dimana saja. Langkah selanjutnya setelah faham akan ahlussunah waljamaah tinggal point kedua, bagaimana mengamalkan nilai nilai yang ada didalamnya dalam kehidupan sehari-hari. Mengamalkan tawasut, tawazun, ta’adul, tasamuh dan amar ma’ruf nahi mungkar.
Buang juga stigma (pandangan negatif) seseorang terhadap santri dengan bukti kongkrit. Semisal dengan keilmuanmu, dengan karyamu, dengan kontribusimu terhadap orang lain dll. Karena hanya dengan pembuktian orang orang kan percaya bukan hanya bualan belaka. Ngutip dari Teory perangnya Tsun Zu, mulai sekarang kenalilah dirimu, kenali musuhmu dan kuasai medan perangmu. Kenali dirimu dengan baik, apa kekuatanmu, kelemahanmu, kesukaanmu dll. kenali musuhmu, berupa rasa malas, rasa santai-santai, rasa apatis (acuh tak acuh) dll, kenali medan tempurmu, berupa posisi kamu sekarang dimana apa yang harus kamu selesaikan terlebih dahulu, semisal posisimu ada di formal dan nonformal maka manajemenlah itu semua. Integrasikan (satukanlah) keduanya. Menjadi khafid (hafal alquran) yang ahli dalam bidang sains/tekhnologi dll pilihan kamu itu semua akan mengembalikan kejayaan islam di abad lalu. Zamannya Al-kindi, ibnu rusyd, ibnu sina, ibnu kholdun dll. Prioritakan ilmu agama sebagai pondasi, dan para tokoh terdahulu tersebut tidak terlepas dari alquran. Mereka menghafalnya sejak dini dan beranjak ke ilmu sainsnya.
Baiklah terakhir, tata kembali niat. Ibda’ bi nafsih (mulailah dari dirimu) untuk suatu perubahan dan “you don’t have to be perfect to be amazing” kamu tidak perlu sempurna untuk menjadi yang luar biasa. Berjalanlah di passionmu, di bidang apa yang kamu dalami & kuasai. Dari situ tebarlah kemanfaatan untuk yang lain.
#90HariMenulisBuku
#InspirasiIndonesiaMenulis