Bangga Indonesia, Jakarta – Influencer atau pemengaruh tak melulu soal fesyen, makanan atau wisata. Pencinta buku, baik pembaca atau mereka yang membuat konten, juga dapat berpartisipasi sebagai bookfluencer atau pemengaruh buku dengan menyebarkan energi positif lewat tulisan dan media sosial.
Hestia dari komunitas Baca Bareng berpendapat bookfluencer memiliki peran penting dalam menciptakan komunitas dan ekosistem yang baik. Seorang bookfluencer dapat menciptakan diskusi mengenai buku lewat pendapatnya, termasuk lewat kritik yang disampaikan dengan cara baik.
“Bookfluencer bukan artinya dapat buku gratis lalu sungkan, jadi pasif dan tidak berani mengkritisi,” kata Hestia di bicang-bincang daring Reader’s Gathering: Bookfluencer 101 dari Ruang Tengah, Minggu.
Penulis Okky Madasari menawarkan manifesto mengenai bookfluencer: media sosial adalah ruang publik yang harus dimanfaatkan dan kebisingan serta kedangkalan yang mendominasi media sosial harus diubah jadi percakapan gagasan, ekspresi kreativitas, opini yang berdampak serta pertanyaan kritis dan cerita-cerita yang berjiwa.
Senada dengan Hestia, Okky mengatakan pemengaruh buku bukan sekadar alat promosi alias buzzer. Perannya lebih dari itu, untuk menciptakan percakapan gagasan dan opini yang berdampak di media sosial.
Buku selaris apa pun terasa kurang memuaskan untuk penulis bila gagasannya tidak banyak didiskusikan oleh pembaca.
“Kalau tidak ada bookfluencer, bagaimana caranya kita tahu gagasan buku kita didiskusikan?”
Pemengaruh buku juga lebih dari sekadar pengulas. Dia mengatakan, bookfluencer harus menempatkan diri sebagai pencipta wacana dan pemantik percakapan tentang gagasan yang tertulis dalam sebuah buku, termasuk relevansinya dengan persoalan masyarakat.
“Kita tahu kita semua punya opini yang laik untuk disampaikan,” katanya.
Menurut Okky, bookfluencer adalah kritikus generasi baru yang tidak cuma berasal dari dunia akademisi atau komunitas kebudayaan. Pemengaruh buku bisa berasal dari berbagai latar belakang, yang penting ia bisa menginterpretasi sebuah karya, termasuk relevansinya dengan persoalan masyarakat.
Ia menegaskan, mengkritik tidak sama dengan sekadar mencaci maki, melainkan memaknai sebuah karya.
Oleh karena itu, seorang pemengaruh buku juga pun diharapkan punya tanggung jawab meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sehingga bisa menghasilkan wacana serta percakapan berkualitas.
Hestia menambahkan, siapa pun yang mencintai buku bisa jadi seorang pemengaruh meski jumlah pengikutnya di media sosial belum seberapa.
“Selama kamu memang suka, tulis saja,” ujar dia. ( Ant )