Site icon Bangga Indonesia

Tantangan Royalti Musik di Era Streaming untuk Musisi Indonesia

Tantangan royalti musik di Indonesia, 15/10/2025, Foto ; Istimewa

Bangga Indonesia, Sidoarjo – Industri musik Indonesia terus bergerak mengikuti arus digitalisasi. Kehadiran platform streaming seperti Spotify, Apple Music, Joox, hingga YouTube memberi peluang besar bagi musisi untuk menjangkau pendengar lintas negara. Namun, di balik kemudahan akses ini, muncul masalah penting: tantangan royalti musik. Banyak musisi merasa hasil finansial dari streaming tidak sebanding dengan popularitas lagu yang mereka ciptakan.

Royalti yang Tidak Seimbang

Era streaming memang mengubah cara masyarakat menikmati musik. Orang lebih memilih mendengarkan lagu lewat aplikasi dibanding membeli CD atau unduhan digital. Perubahan ini memberi keuntungan bagi konsumen, tetapi tidak selalu bagi pencipta karya.

Setiap kali lagu diputar, platform streaming memang membayar royalti. Namun jumlahnya sangat kecil, terutama jika dibandingkan dengan biaya produksi musik. Sebagai contoh, ribuan kali putaran lagu kadang hanya menghasilkan beberapa puluh ribu rupiah. Musisi independen merasakan dampaknya lebih berat karena mereka menanggung sendiri biaya rekaman, distribusi, hingga promosi.

Selain nominal yang minim, sistem pembagian royalti juga kerap menimbulkan kebingungan. Tidak semua musisi memahami alur pembagian antara label, publisher, dan platform. Minimnya transparansi membuat banyak musisi kesulitan menilai apakah mereka sudah menerima hak secara penuh.

Mencari Solusi di Tengah Perubahan

Untuk menghadapi tantangan ini, musisi tidak bisa hanya bergantung pada royalti streaming. Banyak yang mulai mencari alternatif pendapatan, seperti mengadakan konser virtual, menjual merchandise, atau bekerja sama dengan brand. Strategi ini membantu mereka menutup kekurangan dari royalti yang tidak seimbang.

Pemerintah dan lembaga terkait juga memegang peran penting. Regulasi hak cipta perlu ditegakkan lebih kuat agar musisi memperoleh perlindungan hukum yang jelas. Lembaga manajemen kolektif (LMK) sebaiknya meningkatkan transparansi dalam menghimpun dan menyalurkan royalti. Dengan begitu, musisi bisa merasa lebih aman ketika berkarya di ranah digital.

Selain itu, kolaborasi antara musisi dengan platform streaming dapat membuka ruang negosiasi baru. Jika ada kesepakatan yang lebih adil, industri musik akan tumbuh sehat tanpa mengorbankan penciptanya.

Era digital membawa peluang besar sekaligus menghadirkan tantangan royalti musik yang nyata. Musisi membutuhkan sistem yang lebih transparan dan adil agar mereka bisa bertahan sekaligus berkembang. Jika tantangan ini teratasi, industri musik Indonesia tidak hanya mampu mengikuti arus global, tetapi juga memberi penghargaan layak bagi setiap karya anak bangsa. (FYN)

Exit mobile version