Site icon Bangga Indonesia

Tradisi Tari Sanghyan Jaran Bali yang Sakral Untuk Ritual Tolak Bala

Tari Sanghyang Jaran

Tari Sanghyang Jaran

Bangga Indonesia, Bali – Pulau Bali memang memiliki traqdisi dan kebudayaan yang masih begitu lekat. Tidak jarang kita jumpai pertunjukan tari yang sangat sakral. Termasuk tradisi tari Sanghyan Jaran Bali.,

Dalam tari Sanghyan Jaran Bali, ada sejumlah pria yang tampak menendang api dari batok kelapa di tengah-tengah arena pertunjukkan. Bukan hanya ditendang saja, tetapi bara api yang panas tersebut juga mereka injak-injak.

Para penari pria yang melakukan pertunjukkan tersebut  dalam kondisi yang kesurupan roh kuda atau jaran. Mereka terus berlari sembari memainkan atau menginjak bara api, tentu saja bara api yang sangat panas, namun anehnya tidak ada satupun penari terbakar.

Apa Itu Tari Sanghyan Jaran

Tari Sanghyan Jaran adalah tarian sakral dari masyarakat Bungkulan, tepatnya masyarakat di daerah Banjar Badung. Tradisi tarian ini mempunyai makna religius dan spiritual yang tinggi untuk para pengemponnya.

Biasanya pementasan dari tari ini diiringi oleh tari kecak. Penggambaran dari bentuk tari ini mirip seperti tarian kuda kepang atau kuda lumping yang juga terkenal di daerah Jawa. Tari ini berkembang di daerah Banjar Badung Bungkulan, dan mempunyai keunikan tersendiri dari Sanghyan Jaran yang juga ada di Bali Selatan atau daerah lainnya.

Ritual tarian di Banjar Badung biasanya memperlihatkan para penari yang menunggangi kuda terbuat dari bahan anyaman bambu. Sedangkan tarian yang ada di Desa Bungkulan sendiri tidak memakai properti apapun. Adapun kostum para penarinya cukup simpel, penari umumnya memilih kostum sesuai keturunan.

Adapun mereka biasanya memakai ampok-ampok, badung, tanpa memakai baju dan ada gongseng di kaki dan tangan. Sebelum pentas, biasanya tubuh penari diolesi oleh tapak dara dalam bentuk tanda tambah dari pamor. Bagian tubuh tersebut, mencakup dada, kening, punggung dan kedua lengan.

Makna Tarian Sanghyang Jaran

Penyelenggaraan tari ini biasanya saat berlangsungnya upacara sakral nangluk merana, yakni pada waktu purnama tepatnya sasih keenam, yakni di bulan Desember. Pada bulan ini masyarakat mempercayai sebagai waktu pancaroba, yaitu perubahan musim ekstrem karenanya wabah dan penyakit akan bermunculan.

Di waktu-waktu inilah agar penyakit tidak menyebar, tarian ini akan berlangsung untuk menetralisir keseimbangan bumi. Pementasan ini biasanya dilakukan sampai dua hari, yaitu sehari sebelum terjadinya purnama dan pada hari purnamanya.

Di samping itu, tradisi tarian ini juga kerap masyarakat Bali pentaskan dalam kondisi tertentu. Seperti terjadinya pabrebeh desa atau saat grubug.

Prosesi Tarian yang Berlangsung

Pementasan tarian ini biasanya berlangsung dengan serangkaian prosesi upacara . Sebelum memulai pementasan, para kelian adat atau penglingsir akan menghaturkan permohonan izin dan memohon supaya kuda atau sang jaran yang sebagai duwe niskala pada pura tersebut hadir untuk melakukan napak pertiwi.

Berlangsungnya ritual juga bermula dari persembahyangan dengan pemangku setempat sebagai pemimpinnya. Jika prosesi persembahyangan sudah berakhir, maka penari duduk bersila di depan pelinggih.

Lalu di hadapan penari ada pengasepan yang sudah dipersiapkan, ini biasanya terbuat dari bahan tanah liat dan ada bara api di atas dulang. Kemudian penglingsir nantinya memolesi tubuh penari menggunakan tapak dara. Ketika bara api telah siap, sekaa gending, yakni teruna-teruni, ibu-ibu dan bapak-bapak memulai nyanyian untuk memanggil roh kuda atau sang jaran agar memasuki tubuh sang penari.

Lantunan nyanyian pada tari Sanghyang Jaran menjadi semakin kencang. Dari titik inilah nantinya para penari kehilangan kesadaran dan mulai mengepak-ngepakkan tubuhnya seperti seekor kuda. Selanjutnya tubuh penari kehilangan kontrol, dan puncaknya adalah penari mengulurkant angan mereka ke bara api panas. (Mel)

Exit mobile version