Usai Bungkam
Terang berganti suram, dan suram kini menetap; menunggu kembali sang
terang yang tak lagi sudi menyambang
Kita masih berdiam disini, terduduk muram diantara bayang-bayang harapan
Entah apakah Tuhan masih mau mendengar setiap untai doa yang tak pernah tersampaikan
Sekalipun kau mengutuk waktu, semua takkan berubah
Dan kini tinggal menunggu sang takdir tersenyum sinting sembari ia mengoyak ribuan hati
Pikirnya sudah berapa banyak noda menjejak pada setiap bulir air mata?
Luka-luka yang tak pernah hilang: ia abadi tanpa tersentuh zaman
Jadi,
Biarlah aku melaknat sekali lagi, demi setiap tetes air mata yang tercemar oleh luka;
Kepada waktu yang hilang, takdir-takdir Tuhan, juga kejamnya kehidupan.
Sembari memandagi puisi karyanya, Nadine menghela napas. Kelas sudah bubar sejak hampir dua jam yang lalu, namun gadis itu masih saja betah duduk di bangkunya—berkutat dengan berlembar-lembar kertas folio yang kemudian ia isi dengan untaian sajak. Dan dari semua puisinya itu, kebanyakan memiliki satu tema yang sama: luka.
Sejak kecil, Nadine memang sudah memiliki minat yang cukup besar terhadap sastra. Sayang, impiannya untuk menjadi seorang sastrawan ditentang keras oleh ibunya. Entah kenapa, sejak dulu ibunya terlihat begitu membenci dunia literatur. Gadis itu pun hanya bisa menurut pada perkataan sang ibu, walau sebetulnya diam-diam ia masih suka menulis puisi yang kemudian di-sembunyikannya di sekolah.
“Pasti menulis lagi, ya?”
Nadine agak tersentak ketika suara tersebut membuyarkan lamunannya. Dihadapannya, tampak sosok April yang sedang melihat-lihat kertas-kertas berisi puisinya di atas meja. “Wah, karyamu banyak sekali, Nad. Kenapa tidak dibukukan sekalian?”
“Ibuku tidak akan suka.” Jawab Nadine pendek. Namun, April tampaknya tidak mengindah-kan ucapan Nadine sama sekali, ia malah asyik membaca puisi-puisi Nadine satu per satu.
“Eh, puisi yang satu ini bagus sekali. Kau beri judul apa untuk puisi yang ini?” tanya April dengan ekspresi tertarik sambil menunjukkan kertas berisi puisi yang ditulis Nadine barusan. Nadine berpikir sebentar. “Umm, mungkin akan kunamai ‘Untuk Dukacita yang Ternodai’.”
“Bagusnya! Bolehkah jika aku membawa karya-karyamu dulu?” pinta April dengan mata berbinar.
“Eh, karya yang yang mana?”
“Semuanya, semua puisi yang pernah kau tulis tentunya!” jawab April mantap.
Nadine agak salah tingkah, tapi ia tetap menyerahkan beberapa buku berisi karyanya kepada April. “Boleh, sih. Tapi buat apa?”
“Ada, deh!” jawab April santai sembari memasukkan buku-buku dan kertas-kertas tersebut ke dalam ranselnya. Kemudian, gadis itu pergi meninggalkannya keluar kelas. “Dah, Nadine!”
Nadine hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya yang satu itu, , kemudian mulai merapikan barang-barangnya. Ia memutuskan untuk pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat sore.
…
Sesampainya di rumah , Nadine langsung menuju ke kamarnya. Tubuhnya terasa sangat lelah. Ia pun langsung mengganti pakaiannya, lantas mengambil handuk, bersiap-siap mandi.
“Pulang telat lagi?”
Nadine menoleh. Di depan pintu kamar, ibu berdiri sambil tersenyum, masih menggunakan celemek. Nadine agak terkejut. “Eh, Ibu…”
Ibu tertawa. “Selalu begitu, sifatmu memang mirip sekali dengan mendiang ayahmu.”
Nadine tersenyum. Sejak Nadine masih kecil, ibunya telah membesarkannya seorang diri, sebab ayah Nadine memang sudah meninggal sebelum Nadine bisa mengingat sosoknya. Untuk mencari penghasilan, ibu memiliki usaha catering yang cukup laris, sehingga hidup mereka berdua berkecukupan, bahkan bisa dikatakan lebih dari cukup. Tapi beberapa saat kemudian, gadis itu teringat sesuatu. “Ah, iya. Ibu, tentang profesi ayah dulu-“
“Jangan tanyakan itu sekarang,” potong ibu cepat. Suaranya yang awalanya hangat berubah menjadi dingin. “Sekarang pergi mandi, setelah itu makanlah. Ibu mau lanjut memasak dulu.” Setelah itu, ibu pergi ke dapur, meninggalkan Nadine sendirian dengan berbagai pertanyaan berkecamuk dalam kepalanya. Entah kenapa, sejak dulu ibu selalu menghindar jika Nadine mulai menanyakan tentang ayahnya, seolah-olah ibunya menyembunyikan sesuatu darinya.
…
2 bulan kemudian.
“Nadine !” Siang itu, April berlari tergopoh-gopoh ke dalam kelas, menghampiri bangku Nadine. Nadine yang sedang membaca buku lantas menoleh. “ Apa ?”,
“ Lihat apa yang kubawa !” seru April dengan napas terengah-engah, namun suaranya tetap terdengar riang. Mata Nadine langsung berbinar ketika melihat benda yang ada di tangan April. “Buku Hilang Bersama Angin karya Pijar Aksara? Ya ampun, ini ‘kan buku yang sangat kuinginkan sejak dulu! Bagaimana kau bisa memilikinya? Bukankah harganya sangat mahal di pasaran?”
April nyengir. “Aku menghabiskan hampir semua tabunganku untuk membelinya, tahu. Habisnya, aku jadi tertarik saat mendengarkan celotehanmu tentang buku ini, sih.”
Nadine tak memedulikan ucapan April. Gadis itu sudah terlanjur asyik pada novel tebal itu yang kini berpindah ke tangannya. Pijar Aksara adalah nama pena dari penulis yang sangat diidolakannya. Ia sudah membaca hampir semua karyanya—yang tentunya tanpa sepengetahuan ibunya, kecuali buku Hilang Bersama Angin yang harganya memang sangat mahal.
Sebenarnya, buku-buku tersebut bukanlah buku baru, malahan kebanyakan sudah terbit sebelum Nadine lahir. Namun, karya-karya Pijar Aksara hingga kini masih banyak diminati orang-orang, sebab tulisan dan puisinya memang bagus serta memiliki gaya yang khas. Sayangnya, penulis terkenal tersebut kini sudah tiada sejak lama, sehingga orang-orang tak bisa menikmati lebih banyak karya-karya hebatnya.
“Oya, aku juga membawa satu buku lagi untukmu.” April merogoh tasnya, membuat Nadine langsung menatapnya dengan antusias.
“Tada! Ini spesial untuk Nadine.” April meletakkan sebuah buku yang cukup tebal di atas meja. Mata Nadine membulat. Pada sampul depan buku tersebut, tertulis jelas judulnya, Untuk Dukacita yang Ternodai: kumpulan sajak luka karya Nadine Athira. Nadine lansung menyambar buku tersebut dari atas meja. “Puisi-puisiku… bagaimana bisa?!”
April hanya terkekeh dengan cengiran khasnya. “Hehehe, bagus, kan?”
“Ini…” Nadine tak bisa berkata-kata sembari tangannya membolak-balikkan halaman buku tersebut. Buku itu jelas masih baru—lembaran halamannya masih bersih, bahkan aroma khas buku barunya masih tercium. Ia sama sekali tak menyangka bahwa April akan mengirimkan puisi-puisi karyanya ke perusahaan penerbit. Gadis itu menatap sahabatnya dengan senyum penuh haru. “Terima kasih banyak, April.”
April mengerlingkan sebelah matanya. “Apapun kulakukan kalau untuk Nadine!”
Mendengar ucapan April, Nadine tertawa lepas. Rasanya, sudah lama sekali dirinya tidak sebahagia ini. Setelah memendam impiannya sejak lama, akhirnya ia resmi mendapat predikat sebagai penulis.
…
Hari itu, dengan perasaan bahagia Nadine pulang ke rumahnya. Akhirnya, buku pertamanya terbit juga. Ah, seandainya ibunya tidak membenci sastra, mungkin saja…
“Apa-apaan ini, Nadine?!”
Jantung Nadine langsung berdegup kencang kala ia mendapati ibunya sudah berdiri di balik pintu dengan tatapan marah. Di tangannya terdapat buku yang sama dengan buku yang tadi April berikan padanya: Untuk Dukacita yang Ternodai.
“Ba… bagaimana ibu bisa tahu…” Suara Nadine tercekat.
“Kau pikir ibu takkan curiga padamu yang sering pulang terlambat? Tahukah kamu bahwa ibu selalu mengawasi gerak-gerikmu?” Suara ibunya terdengar makin meninggi.
Nadine hanya dapat tertunduk. Hatinya benar-benar sakit mendengar ucapan ibunya, yang seakan-akan berusaha menjatuhkannya. “Kenapa…?”
“’Kenapa’, katamu?! Bukankah sejak dulu ibu memang sudah sudah melarangmu? Kenapa kamu sendiri masih berani melawan ibu?!”
“Apa-apaan…” Kali ini, Nadine benar-benar tidak tahan untuk menumpahkan semuanya. “Kenapa ibu sendiri seenaknya melarang Nadine untuk menjadi penulis?! Bukankah seharusnya seorang ibu tidak berhak mengekang atau mengatur-ngatur masa depan anaknya sendiri?!”
“Apa katamu?!”
Nadine refleks menutup mulut. Tidak, seharusnya ia tidak boleh membentak ibunya sendiri.
“Kamu…” Nada suara ibu merendah. “Apakah kamu tahu mengapa ibu melarangmu untuk menjadi seorang penulis?”
Nadine menggeleng kaku, masih tak berani menatap ibunya.
“Sebab, mendiang ayahmu juga adalah seorang sastrawan dengan nama pena Pijar Aksara.” Ucap ibu pelan.
Kepala Nadine terangkat, menatap ibunya tidak percaya. Jadi, identitas asli dari seorang penulis yang selama ini dikaguminya… merupakan ayahnya sendiri? Tapi, kalau memang demikian, lantas mengapa ibunya begitu membenci dunia literarur?
“Tapi,” Ucapan ibu selanjutnya menyela batin Nadine yang berkecamuk. “Ia justru malah berakhir menyedihkan karena tulisannya sendiri. Tiga belas tahun lalu, saat dirimu masih kecil, ayahmu depresi berat karena kecaman yang ditujukan pada tulisannya. Bahkan ia pernah mencoba untuk mengakhiri hidupnya sendiri dengan cara menelan obat tidur hingga overdosis. Hal itu memperburuk kesehatannya , hingga pada akhirnya ia meninggal karena penyakit asma yang dideritanya,”
Mendengarnya, Nadine hanya bisa mematung.
“Makanya…” Mata ibu berkaca-kaca. “Ibu berusaha menjauhkanmu dari dunia literatur karena ibu takut kau akan berakhir sama seperti ayahmu. Ibu tak ingin kau menjadi penulis karena ibu takut kehilanganmu. Maafkan keegoisan ibu…”
Mata Nadine basah. Gadis itu lansung memeluk ibunya dengan erat. “Justru Nadine-lah yang egois, Bu… Nadine seenaknya membantah tanpa memikirkan perasaan ibu…”
Pada saat itu juga, hati Nadine benar-benar lega. Setelah sekian lama, segala bungkam yang tersimpan akhirnya terjawab juga, dan ibunya pun kini telah merestui impiannya. Hingga kemudian Nadine pun menuliskan sebuah puisi, yang gadis itu buat khusus untuk mendiang ayahnya.
Kau Takkan Mati
Percayalah bahwa kau akan tetap abadi bersamaku disini.
Meski pada akhirnya kita harus terpisah tanpa pernah dipertemukan kembali,
Meski ragamu hancur dan tak mampu berdiri,
Meski kemudian kau harus pergi tanpa pernah kembali..
Jiwamu akan tetap terjaga bersama setiap untai aksara yang pernah kau tulis untuk dunia; Takkan terenggut oleh waktu dan takkan pernah mati.
Jombang, 23.9.2020
Ghaitsa Fauziah
Juara 2 Lomba Artikel/Cerpen JEC 2020
MTs Perguruan Mu’allimat Cukir Jombang