Site icon Bangga Indonesia

Wisudanya Seorang Disabilitas

Sumber gambar google

Wisudanya Seorang Disabilitas

Fadillah Atikah Muchid_ Smkn4 Surabaya

      Setiap hari aku menyusuri jalanan Kota Pahlawan. Panasnya matahari seakan menembus sendal jepitku yang sudah menipis, rasanya kakiku terbakar. Tapi jika memiliki uang, aku lebih memilih membeli makanan daripada sendal jepit karena sudah dua hari aku, Eko, dan Aca belum makan. Menghirup asap tebal, memakai topi camping lalu menenteng karung hingga larut malam. Tak pasti jumlah botol yang aku dapatkan, sering aku mendapati mata yang seakan kecewa, Yaah… Mereka berharap aku pulang membawa nasi bungkus, lalu harapan itu pupus karena botol yang ku kumpulkan belum cukup untuk dikilokan.

      Aku memiliki 2 orang anak, yang pertama bernama Eko dan kedua bernama Aca. Tidak ada satupun dari mereka yang bersekolah, Eko anak pertamaku menderita Club foot yaitu cacat sejak lahir yang mempengaruhi salah satu atau kedua kaki. Kondisi ini juga disebut dengan Talipes. Kaki penderita Club Foot berbentuk bengkok seperti terkilir. Dulu Eko bersekolah, tetapi hanya sampai di kelas 5 SD. Aku tak mampu melunasi SPPnya yang semakin lama semakin menumpuk, akhirnya aku putuskan untuk tidak lagi menyekolahkan Eko.

      Bukan tak ingin membayar, tapi uang darimana untuk melunasi SPP? Sementara tak jarang kami makan dua hari sekali. Ini semua akibat ulah suamiku. Namun, dibalik keterbatasan Eko, ada hal luar biasa di dalam dirinya. Ia sangat pandai dalam mata pelajaran matematika, sebenarnya SPP juga bukan satu-satunya hal yang membuat Eko harus putus sekolah. Sering aku mendengar Eko di bully.

      Suamiku pergi setelah ia kena PHK. Kami harus meminjam uang kesana-kemari untuk kebutuhan sehari-hari seperti makan, pendidikan, dan pengobatan kaki Eko. Ia meninggalkan kami dengan setumpuk hutang yang dibebankan padaku. Aku cukup kesusahan setelah kepergiannya, mulai dari mencari tempat tinggal hingga untuk makan. Bahkan, rumah singgahku harus disita untuk membayar hutang suamiku. Kini, hanya kardus tipis pemisah antara tubuhku, Eko, dan Aca dengan tanah. Bahkan sering aku mendapati Eko menenangkan Aca saat kedinginan di malam hari.  Huh…malam kami pun terasa panjang saat aku tak bisa membeli sebungkus nasipun.

     Aku iri melihat mereka, yang berjalan ke sekolah berseragam merah putih lengkap dengan topi dan dasi. Dulu, Eko sempat merasakan, sebelum semuanya hilang dikubur oleh kenyataan.

      Aku sering membayangkan, kapan anakku bisa tersenyum, tertawa gembira seperti teman sebayanya. Kini, aku hanya bisa berharap mereka yang berdasi itu menundukkan pandangannya, melihat sekelilingnya, dan mengulurkan tangannya. Setidaknya untuk ilmu pengetahuan, karena sebuah ilmu tidak akan mati dibanding memberi materi setahun sekali.

      Saat matahari terbit, aku membangunkan Eko untuk bersiap menjual koran.  aku sempat melarang Eko, tak tega rasanya melihat ia harus berjualan Koran.

      Kami berangkat bersama, kemudian berpisah di perempatan lampu merah. Eko menjual korannya di lampu merah, sementara aku dan Aca harus berjalan lagi menuju tempat pembuangan sampah (TPS) untuk mencari botol bekas. Karena botol yang aku dapatkan dari tempat ini lebih banyak dibandingkan dari jalanan atau rumah warga. Aku dan Aca memulai memilah sampah, kemudian mengambil botol di tengah teriknya matahari dan rasa lapar yang berkecamuk. Saat memilah botol aku melihat Aca yang mulai lemas. Rupanya sudah dua hari ini kami belum makan. Panasnya matahari dan bau sampah yang menggunung mungkin membuatnya semakin lemas.

      Aku menenangkan dan mencari tempat teduh untuk Aca. Sambil berharap Allah memberi rezeki lewat tangan tak terduga. Apalagi yang kami harapkan jika bukan dari belas kasihan orang-orang yang peduli! Saat menenangkan Aca, beberapa orang sepertiku berlarian untuk mendapat sebungkus nasi dari para pemuda. Aku berlari dan berharap masih ada setidaknya sebungkus nasi untuk Aca Namun, rezeki itu untuk bukan untukku. Yaah!! dalam hatiku. Aku tidak mendapatkan sebungkus nasi pun, lalu berjalan kembali menuju Aca. Saat berjalan ada tangan yang menyentuh pundakku, perempuan itu berkata.

“Maaf Ibu, nasi yang kami kasih kurang? Apakah ibu sendirian? ” ucap perempuan itu.

” I… Itu, saya sama anak saya yang ada di bawah pohon,” ujarku.

“Ibu, kenapa anaknya seperti ini? ” tanya perempuan itu.

“Sudah dua hari kami belum makan, ditambah panasnya matahari dan bau sampah membuat Aca lemas” jawabku.

“Ini ada Minyak Kayu putih untuk Aca. Perkenalkan nama saya Tita Maya Sari. Nasi kotak yang kami beri hasil dari kepedulian organisasi untuk orang yang kurang mampu, sayang ibu tidak kebagian” Ucap Bu Tita.

“Oo iya, saya Nurhasanah Bu, terima kasih banyak mau peduli pada orang-orang seperti saya.

“Ibu tinggal di mana? ” tanya Bu Tita.

“Saya tinggal di bawah kolong jembatan itu, sering Aca merasa kedinginan,                                               karena hanya kardus tipis alas tidur Kami,” ucapku sambil menangis.

“Astagfirullah…suami ibu kemana? ” tanya Bu Tita kembali.

“Suami saya pergi dan kami hidup sederhana. Namum, cukup untuk               sehari-hari dan biaya berobat Eko,” jawabku.

“Biaya berobat Eko? Anak ibu ada berapa, Eko sakit apa bu? ” tanya Bu   Tita.

“Eko anak pertama saya, dia menderita penyakit Club foot. Kondisi Kaki club     foot berbentuk tidak wajar atau bengkok seperti terkilir. Sehingga, Eko berjalan miring dulu juga sempat bersekolah hanya sampai di kelas 5 Sd. Karena saya tak mampu membayar SPP dan bullying yang diterima Eko karena kakinya itu. Eko juga sering mendapat buku entah darimana yang pasti ia tidak mengambil. Saya ingin orang berdasi itu bisa membantu Eko agar bisa sekolah lagi. Saya sadar betul pendidikan adalah hal penting, tetapi terisinya perut jauh lebih penting. ” ucapku.

          Aku melihat ada air mata yang jatuh dari perempuan muda ini, ia seakan merasakan penderitaan yang keluargaku alami.

“Ibu, saya tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, saya mengikuti organisasi yang peduli dengan orang-orang sekitar. Saya coba membantu, mungkin teman-teman organisasi mau memberikan bantuan untuk Eko.Saya ingin dia bisa sekolah kembali dan tidak mendapat perlakuan semena-mena. Saya coba daftarkan Eko di sekolah luar biasa, maaf bukan maksud menyinggung. Saya ingin Eko bisa fokus sekolah tanpa memikirkan kekurangan dan perkataan orang” ujar Bu Tita dengan memegang tanganku.

“Allahu akbar, terimakasih banyak Bu” Ucapku sambil menangis.

“Eko di mana Bu, saya ingin membelikan Ibu, Aca, dan Eko makan” ucap Bu Tita dengan senyum.

      Aca yang mendengar hal itu langsung bersemangat dan menjawab perkataan Bu Tita.

   “Kakak ada di Lampu merah depan itu Bu, jual koran” ucap Aca.

   “Baik, kita jemput Eko dan… kita makan, ” Ucap Bu Tita sambil menggoda Aca.

      Kebahagiaan Aca terpancar dari raut wajahnya, hatiku menangis. Harusnya aku bisa membelikan Aca makanan tanpa ia minta.

      Setelah beberapa hari menunggu kepastian, akhirnya Eko bisa melanjutkan sekolah. Rasa syukurku tiada tara, setidaknya salah satu dari anakku bisa bersekolah dan menjadi pengharapan baru. Eko semakin pandai di mata pelajaran matematika. Selepas dari SMA luar biasa, Eko melanjutkan kuliah berkat beasiswa yang didapat. Semangat belajar Eko sangat tinggi. Malam harinya dipenuhi membaca dan mengerjakan soal matematika yang didapatnya dari pemilik toko buku.

      Lima tahun berlalu, Eko yang cacat fisiknya mampu menyelesaikan kuliahnya. semua mata tertuju padanya. Eko ditunjuk untuk berpidato agar menjadi contoh untuk orang-orang diluaran sana, bahwa meskipun dengan kekurangan yang dimiliki tidak akan menghambat kesuksessannya. Jika, Eko yang cacat fisik saja bisa maka orang yang sempurna jauh lebih bisa.

“Pendidikan sangatlah penting. Kesuksessan itu bukan hanya punya dia yang berasal dari orang kaya, bukan juga punya orang yang terlahir sempurna fisiknya. Kesuksessan itu punya dia yang mau bekerja keras untuk menggapai mimpinya. Jangan menyerah dengan keadaan. Jangan takut untuk memulai perubahan. Ibu… Terima kasih telah menjadi sosok wanita yang tangguh di bawah terik matahari dan bau sampah yang menyengat. Terima kasih menjadi sandaran untuk Eko dan Aca. Terima kasih ibu mau mempertahankan dan merawat Eko yang cacat dari lahir. Ibu bisa saja meninggalkan Eko di panti asuhan atau menelantarkan Eko kalau ibu mau, tapi yang ibu pilih merawatku. Bagiku ibu adalah yang terbaik untukku” Ucap Eko yang bangga punya ibu sepertiku.

      Tangisku pecah, setelah berpidato Eko berjalan kearahku, Aca dan Bu Tita. Dengan kursi roda yang disediakan, tetapi Eko memilih untuk berjalan dan menghampiriku dengan kekurangannya itu. Semua mata tertuju pada kami.

“Ibu.. terima kasih banyak untuk segala pengorbanan Ibu” tangis Eko pecah di pelukku.

“Sama-sama nak, terima kasih ada di dalam kehidupan ibu dan mau berjuang bersama ibu” ucapku.

“Bu Tita, terima kasih banyak untuk kesempatan yang Ibu kasih. Terima kasih atas kepedulian ibu, benar kata ibu untuk berbuat sesuatu tidak perlu menunggu orang berdasi, semua bisa memberi jika ikhlas dalam hati” Ucap Eko sambil mencium tangan Bu Tita.

“Sama-sama, terima kasih juga tidak menyia-nyiakan kesempatan yang telah diberikan, terima kasih mau berjuang walau kamu punya keterbatasan” Ucap Bu Tita.

“Aca, besok kamu pilih sekolah ya, jangan khawatir soal uang, kakak udah siapin. Ibu juga tidak perlu kerja lagi ya bu, Ibu istirahat saja ya dirumah, biar Eko yang sekarang jadi tulang punggung untuk keluarga” Ujar Eko.

      Setelah wisuda, Eko bekerja di salah satu kantor besar di Jakarta, banyak perubahan yang aku rasakan, keluargaku tidak lagi dipandang rendah, dan sekarang Aca kuliah mengambil jurusan Hukum. Perubahan itu bisa diciptakan asal kesungguh dan hati yang lapang saat dalam situasi terpuruk.

Exit mobile version