Bangga Indonesia, Pamekasan – Situasi dan kondisi pandemi COVID-19 tak menyurutkan semangat kalangan milenial untuk terus bersedekah. Tabungan (sedekah) yang diperuntukkan masyarakat tak mampu tersebut hingga kini masih terus berjalan.
Sedekah “Ghan Saebuh” atau yang disebut Gerakan Sehari Seribu, merupakan celengan atau sebuah tempat untuk menyimpan uang yang ada di kawasan Kecamatan Pademau, Kabupaten Pamekasan, Madura.
Gerakan yang diinisasi kalangan milenial tersebut murni untuk membantu para tetangga yang sedang mengalami keterbatasan ekonomi. Budaya yang sudah dilakukan sejak 2019 lalu, hingga kini terus berjalan. Meski diterpa berbagai kondisi yang ada.
“Alhamdulillah, meski Pandemi covid-19 sampai sekarang masih jalan terus,” ujar Inisiator Kampung Sedekah di Pamekasan, Bustanul Husain, Rabu, (13/01 2021).
Pria yang akrab disapa Inung tersebut menilai saat ini adalah waktu yang tepat untuk membantu meringankan beban masyarakat ditengah terpaan ekonomi.
Tak bisa dipungkiri, kondisi pandemi covid-19 menghantam seluruh aspek lapisan masyarakat. Tak terkecuali persoalan ekonomi.
Terakhir, Inung mengaku sudah menyalurkan bantuan sembako di dua desa yang sempat terendam banjir. Yakni desa Genteng Timur dan Genteng Barat.
Sedikitnya ada sekitar 15-30 paket sembako yang sudah disalurkan ke masing-masing desa.
“Insya allah desember kemarin, kita sudah bagi-bagikan paket sembako kepada warga terdampak banjir,” ungkapnya.
Meski tak seberapa, bantuan tersebut diharapkan bisa membantu meringankan beban masyarakat setempat yang tengah terdampak banjir.
Terbentuknya Kampung Sedekah
Mulanya, Inung melihat adanya sebuah kesenjangan yang terjadi di kelurahan Barurambat Timur. Jika kebetulan kita sedang melintasi kawasan ‘Mor Le’ke’ (Timur Sungai) tepatnya di Jalan Veteran desa tersebut, sebagian besar masyarakatnya memang sudah tergolong menengah keatas.
Namun, jika memasuki kawasan perkampungan, banyak sekali masyarakat yang masih membutuhkan uluran tangan.
“Ada keluarga pemulung, tukang becak, janda tua, dan semacamnya. Kadang untuk keperluan makan hari esok saja mereka masih nyari,” katanya.
Dalam hal ini, dia seakan-akan melihat kurangnya rasa kepedulian masyarakat. Mereka terkesan lebih mementingkan diri masing-masing.
Dari situlah, dia mempunyai inisiatif untuk membangun sebuah kepedulian masyarakat melalui ‘celengan ghan saebuh’ untuk membantu mengurangi beban masyarakat tak mampu. “Kita mikirnya bagaimana bisa membantu mereka,” tambahnya.
Meski sebagian besar diinisiasi kalangan anak muda, namun tradisi disana juga harus melibatkan para sesepuh. Dengan dukungan para sesepuh, celengan Ghan Saebuh akhirnya disetujui.
Sedikitnya ada sekitar 100 celengan yang dibagi-bagikan ke warga yang berkecukupan. Bahkan tak sedikit juga relawan yang turut menabung dicelengan tersebut.
‘Celengan’ tersebut diisi uang setiap harinya seribu rupiah, kemudian dikumpulkan dan disalurkan kepada masyarakat tak mampu.
Bentuk bantuannya pun bervariasi. Ada sembako, peralatan sekolah, tas, uang dan sebagainya. Tergantung kebutuhan masyarakat dan disesuaikan dengan kondisi yang ada.
Setiap bulan, dari celengan Ghan Saebuh tersebut berhasil terkumpul kisaran Rp.2,5 hingga Rp.4 jutaan. Hasil tabungan itu kemudian salurkan kepada janda tua, pemulung, tukang becak hingga anak putus sekolah.
Kegiatan seperti ini, kata Inung, tidak hanya mengajarkan kalangan remaja tentang kepedulian masyarakat, melainkan menyadarkan masyarakat bahwa disitu masih banyak orang yang membutuhkan uluran tangan warga sekitar.
Sejak awal, kegiatan celengan Ghan Saebuh memang menerapkan transparansi, terutama saat menerima hingga menyalurkan ke warga. Para relawan yang sedianya ditugaskan mengambil hasil tabungan membawa secarik kertas untuk ditandatangani donatur.
“Jadi, pada saat pengambilan, celengan dibuka dan dihitung didepan donatur. Kemudian ditulis angkanya dan ditandatangani donatur itu sendiri. Karena sedari dini, kita membangun kepercayaan ditengah masyarakat. Jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada saat penyaluran nanti,” urainya.
Keberadaan relawan yang sebagian besar dari kalangan remaja tersebut memang tak digaji. Mereka datang berbondong-bondong tanpa paksaan dan murni membantu kegiatan tersebut untuk mengurangi beban yang ada di masyarakat sekitar. (El-Hadi)