Bangga Indonesia, Mataram – “Puncak tebing batu terjal, tengah menantikan hadir di sana, kupanjati batu terjal untuk membawaku hadir di sana. Overhang di depan menghadang, Overhang tersenyum merangsang. Bila Aku ragu berpegang, ku jatuh melayang…,”.
Tembang balada era 1990-an berjudul “Overhang” itu dimainkan musisi asal Kota Kembang yang sekarang menetap di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Arry Juliant.
Lahirnya tembang itu tidak terlepas dari aktivitas Kang Arry saat mudanya aktif di Mahasiswa Pecinta Alam MAPAK Alam Universitas Pasundan, Bandung.
Dirinya merekam aktivitas dunia panjat tebing yang pernah dilakoninya, di antaranya di lokasi surga panjat tebing Jawa Barat, yakni Citatah, Padalarang.
Tembang itu menjadi penyemangat tersendiri bagi kalangan pecinta alam di Kota Bandung dan sekitarnya di era 1980-1990-an. Saat harus bergelantungan di tebing menghadapi overhang. Nyali dan andrenalin benar-benar teruji.
Bukan hanya tembang overhang, masih banyak musisi di Kota Bandung yang berlatar belakang dunia pecinta alam melahirkan tembang demi tembang dari napas pencarian di gunung dan tebing. Seperti Iwan Abdurrahman atau Abah Iwan salah satu senior organisasi pecinta alam Wanadri atau Harry Suliztiarto pendiri SKYGERS “Amateur Rock Climbing Group”.
Abah Iwan tembang yang layak untuk menemani saat berpetualang, seperti Melati dari Jayagiri yang dinyanyikan juga oleh grup musik asal Kota Kembang Bimbo, Sejuta Kabut, Balada Seorang Kelana, Mentari atau Seribu Mil Lebih Sedepa.
Sedangkan tembang Mas Harry Suliztiarto dapat didengar di album Pemanjat (1996) yang personelnya Iwan Fals, Trahlor, Adjierao, Bambang Sirjohn, Cok Rampal, Harry Suliztiarto, Riza Arshad dan Yunus.
Kang Ary mengatakan bahwa tembang “Overhang” dimaknai tembang petualangan yang menggambarkan bagaimana aksi para pemanjat merayap perlahan-lahan di batuan cadas, saat nyawa melayang terus mengintip bila salah pegangan jari jemari.
“Puncak tebing batu terjal, tengah menantikan hadir di sana, kupanjati batu terjal untuk membawaku hadir di sana. Overhang di depan menghadang, Overhang tersenyum merangsang. Bila Aku ragu berpegang, ku jatuh melayang,” kata Presiden Indie Indonesia yang terkenal dengan konsep gerilyanya dalam menularkan virus ke para penikmat musik di tanah air.
Sekarang, kita coba meresapi bait demi bait tembang Abah Iwan, yakni, Seribu Mil Lebih Sedepa. Bayangan kita akan membawa ke lorong waktu di tengah rimba sunyi seperti di Situ Lembang yang berada di kaki Gunung Burangrang, Lembang, Jawa Barat.
“Gubuk sunyi di pinggir danau, Diam-diam tersenyum dipeluk mentari senja, Yang juga nakal meraba-raba ujung bunga rerumputan, Lagu alam memang sunyi, sayang, Apalagi sore ini, sore ini sore Sabtu. Sore biasa kita berdua, Membelai mentari senja di ujung jalan Bandung utara”
Mentarinya yang ini juga, sayang, Cuma jarak yang memisah kita, Seribu mil lebih sedepa, Seribu mil pun lebih sedepa, Lagu alam memang sunyi.. mmm..Lagi pula bukan puisi, Cuma bahana yang diam-diam, Lalu bangkit dari dalam hati”
Lagu alam memang sunyi, sayang, Kini jarak yang memisah kita, Seribu mil lebih sedepa, Seribu mil pun lebih sedepa, Gubuk sunyi di pinggir danau.. mmm..
“Lagu ini, buat orang yang sudah lama meninggalkan Bandung, tapi hatinya masih tertambat pada Bandung,” katanya saat konser kecil untuk Kang Ridwan Kamil lewat https://www.youtube.com/watch?v=-0sa7n_AO74.
Tembang legendaris Abah Iwan menarik juga untuk didengar, yakni, Melati dari Jayagiri.
Melati dari Jayagiri
Kuterawang keindahan kenangan
Hari-hari lalu di mataku
Tatapan yang lembut dan penuh kasih …
Kuingat di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Hati yang teduh dalam dekapan
Dan kubiarkan kau kecup bibirku
Mentari kelak kan tenggelam
Gelap kan datang dingin mencekam
Harapanku bintang kan terang
Memberi sinar dalam hatiku
Kuingat di malam itu
Kau beri daku senyum kedamaian
Mungkinkah akan tinggal kenangan
Jawabnya tertiup di angin lalu
Mentari kelak kan…
Pemaknaan akan lagu itu adalah kita menyongsong hari esok dengan optimistis. Bait demi bait sangat kaya akan filosofi kehidupan dari hasil petualangannya di gunung.
“Kehidupan kita secara awam mencekam, tiba-tiba ada bintang di langit, bintang itu jauh lebih besar dari matahari, tapi panasnya tidak sampai,” kata Abah Iwan dalam acara Dialog Inspiratif Abah Iwan (Iwan Abdurrahman) bersama pejabat Kemendikbud part 3 di https://www.youtube.com/watch?v=mGgtnEKo4oU.
Abah Iwan melanjutkan kau terbitkan sinar bintang dalam hatimu, itu yang disebut harapan. “Harapan akan membuat kau kuat, menunggu sampai besok matahari terbit,” katanya.
Sedangkan dalam album “Pemanjat” terdiri dari beberapa tembang, “Lagu Pemanjat” (Penyanyi: Iwan Fals/Komposer: Iwan Fals),
“Cair Lalu Mencari” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Cok Rampal), “Lagu Lama Gaungnya Rata” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Cok Rampal).
“8,8 mm Dalam Kuasa-Mu” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Harry Suliztiarto), “Iya Memang Kamu” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Cok Rampal), “Pada Batu Dalam Diam” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Harry Suliztiarto), “Yang Mana Jalan Kesitu” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Cok Rampal), dan “Ku Datangkan Tubuh-Mu” (Penyanyi: Trahlor/Komposer: Harry Suliztiarto & Bambang Sirjohn).
Singel lagu Pemanjat yang dinyanyikan Iwan Fals menarik juga untuk disimak.
Antara hidup dan mati
Tak kan pernah aku kembali
Niatku sudah terpatri
Antara hidup dan mati
Darah keringat di batu
Terikat tali kehidupan
Rasa takut dan ragu-ragu
Mengundang dewa kematian
Berada di ketinggian
Menjawab segala tekanan
Angin kencang sebagai godaan
Kita harus mampu bertahan
Lagu pemanjat
Bukan lagu orang sekarat
Lagu pemanjat
Lagu orang yang kuat
Lagu pemanjat
Bukan hanya sekedar kuat
Lagu pemanjat
Lagu jiwa yang liat
Dinding dingin tebing terjal
Terus melambai lambaikan
Tembang-tembang di atas menarik untuk dinikmati menemani selama berpetualang dan mengajak kita melewati kabut di tengah rimba atau tebing-tebing untuk dipanjati.
Sekaligus menahbiskan perkataan Soe Hok Gie, pendiri Mapala UI (Universitas Indonesia) yang meninggal di Puncak Gunung Semeru.
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.” —Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran—.