Pagi itu, saat aku hendak memasuki gerbang sekolah terdengar bunyi bel yang menandakan pelajaran akan segera dimulai, hampir saja aku terlambat. Terlihat dari kejauhan seorang siswa yang baru saja keluar dari kantor guru dengan membawa banyak sekali buku ditangannya. Siapa lagi kalo bukan si Baim, sahabatku dari kecil yang tengah menjabat sebagai ketua kelas yang sok rajin dan suka mencari perhatian guru-guru yang ada disekolah. Ia memang dikenal sebagai laki-laki yang ramah, ceria dan suka bercanda, berbanding terbalik denganku yang suka ngomong kalau cuma ada perlunya. “Duhh..mampus gue, ketahuan Baim lagii hari ini” batinku sembari berjalan cepat untuk menghindari omelan Baim. “Hmmm… hampir telat lagi? Mangkannya Cha kalo alarm udah bunyi tuh langsung bangun, jangan malah tidur lagi!” ucapnya dengan membarengi langkahku. “Haduuhh, iyaa iyaa bawel bangett sih!” jawabku ketus dan mempercepat langkahku. “Yaa asal jangan sampe ketiduran dikelas aja”, teriaknya di belakangku membuatku malu karena jadi pusat perhatian teman-teman. Saat itu jarak kelasku dengan Baim memang tak terlalu jauh, hanya selisih satu kelas saja. Dia di kelas IPA 1 sedangkan aku di kelas IPA 3. Banyak teman-teman mengira aku berpacaran dengannya, aku seringkali mengelak padahal dalam hati sejujurnya aku suka.
Bel kedua pun berbunyi yang menandakan jam istirahat di mulai. Kali ini aku menuju ke kantin bersama temanku Salsa. “Mau makan Cha?” tanya Salsa kepadaku. “Lagi pengen bangett siomay Bu Emi nihh, beuuuhhh enak bangett kali yaakk kalo dimakan siang-siang gini”. “Wahh boleh tuh, bentar ya Cha aku pesenin aja, kamu cari tempat duduk yang kosong sembari nunggu aku beli”. “Okee, aku tunggu di bangku paling ujung sana ya Sal?” tanyaku sembari menunjuk tempat duduk yang paling ujung yang kebetulan saat itu sedang kosong.
Saat aku baru saja duduk, tiba-tiba seorang laki-laki mengejutkanku dari belakang “Tumben banget nihh makan dikantin? Lo tuh Cha, makan bukannya bikin kenyang malah bikin makin gendut”. “Ehhh bener-bener lo ya Im, sotoyy banget sihh jadi orang!”, jawabku kesal. Dari kejauhan terlihat Salsa yang hendak menuju ke arah tempat dudukku dengan membawa dua piring siomay Bu Emi. “Eh, Baim tadi kenapa Cha?”. “Tau tuh dasar gajelas bangett jadi orang”. “Awas Chaa, kalo sering berantem ntar malah jadi saling suka lho!”, ledek Salsa kepadaku. “Ihh apaansih, ya gak lahh” , jawabku mengelak dan tersipu malu.
Sepulang sekolah, Baim selalu menungguku di parkiran dengan menyeruput es yang dibelinya di kantin. “Cha, sini. Lama banget si lo ah elah, gue udah abis es 5 bungkus cuma buat nungguin lo doang tau ga?!” katanya sembari membuang plastik es ke tempat sampah sebelah ia duduk. “Mana plastik yang 4 lagi? Gaada tuh di situ” candaku sambil melirik tempat sampah sebelahnya. “Di tukang plastik lah lainnya” candanya garing. Kami berjalan menuju motor Baim yang di parkir paling pojok. Baim mengatarkanku pulang dengan selamat. Terlihat bunda sudah menunggu di depan pintu sambil melambaikan tangannya kepada Baim, sebagai tanda terima kasih dan hati-hati.
Selepasnya aku pergi menuju kamar tidur untuk mengganti pakaian, kemudian menuju meja makan untuk mengisi perutku yang sudah keroncongan. “Cha gue udah sampe rumah, besok pagi gue jemput aja ya? Biar lo gak telat lagii!”. Notifikasi pesan dari Baim membuatku senyum-senyum sendiri. “Ocha, kenapa kok senyum-senyum sendiri? Chat dari Baim ya? Dia kayanya naksir kamu deh” ucap bunda mengejutkanku. “Ih apaan sih bund, enggak kok, aku sama Baim tuh cuma temenan aja, gak lebih”, ucapku sambil mengusap tangan bunda. Bunda yang hanya menjawab dengan anggukan kecil dan senyum.
“Assalamuallaikum, Chaa…Ochaa…..”. Yang benar saja, masih sepagi ini dia sudah menjemputku dan menunjukkan batang hidungnya, bahkan aku belum mandi. “Gila lo ngapain ke sini jam segini? Bener-bener lo ya!” kataku kesal. “Gue pengen liat muka lo pas belum mandi emang” sahutnya sembari masuk rumah. “Kurang kerjaan lo ya asli. Gue mandi dulu ah”, jawabku sambil berjalan meninggalkannya. “Eh ternyata Baim toh yang ketok- ketok tadi? Makan dulu yuk nih bunda udah masakin.” Kata bunda dengan ramah. Tanpa pikir panjang Baim langsung menyantap makanan yang ada di depannya, bahkan tanpa menunggu aku. Bunda juga tampak senang melihat Baim makan dengan lahap di depannya. Bunda juga memintanya untuk terus menambah makanannya. Setelah mandi biasanya aku hanya menggunakan pelembab wajah dan menguncir rambut di tengah, namun kali ini aku berpikir untuk merias diri.
Entah kenapa hari itu aku ingin tampil berbeda dari aku yang biasanya. Entah itu memang untuk diriku sendiri atau untuk Baim. Aku mulai menyentuh make up pemberian bunda yang selama ini aku abaikan. Tanpa tau cara memakainya, kuoleskan asal saja. Bunda yang masuk ke kamarku terkejut melihat tampangku yang sudah seperti badut ancol. “Ochaaa, ih kamu ngagetin bunda aja. Kamu pengen dandan? Buat Baim ya?”, ledek bunda kepadaku. “Sini bunda bantuin dandanin kamu” aku hanya menggeleng namun bunda tetap memaksaku untuk duduk di bangku rias. “Udah diem sini dulu, biar bunda aja yang rias kamu ya, biar makin cantik”, kata bunda yang membuatku pasrah. “Ocha kan masih sekolah, jadi cukup pakaiini dulu saja ya? Lagian sebenernya anak bunda ini udah cantik banget tau, meskipun tanpa. make up” ucap bunda sambil mengoleskan bedak dan lipbalm berwarna natural. “Naaahhh gini kan jadi makin terlihat lebih anggun”, kata bunda yang sembari memakaikan bando di kepalaku. Saat itu aku yang hanya bisa pasrah dengan apa yang diperbuat bunda kepadaku. Aku menatap ke cermin dalam-dalam sambil mengagumi diriku sendiri dalam hati. Setelahnya aku membuka pintu kamar dan terlihat Baim memunggungi kamarku. “Baim” sapaku lembut dengan malu-malu. “Lama deh lo, keburu. ” ucapnya sambil menoleh ke arahku dan tampak terkejut tanpa meneruskan kata-katanya. “Udah buruan berangkat, terlambat lo nanti” ucap bunda membuyarkan pandangan Baim. “Oiya Baim sama Ocha berangkat dulu ya bun? Makasih juga buat sarapannya enak banget” Ucap Baim sembari mencium tangan bunda. “Kayanya dia terpesona tu sama kamu” ucap bunda lirih saat aku bergantian mencium tangan bunda. Aku hanya tersipu malu mendengar ucapan bunda.
Saat perjalanan menuju sekolah, di motor Baim lebih banyak diam. Sesampainya di sekolah semua mata tertuju padaku. Bukannya senang, aku justru merasa tak nyaman. “Lo dandan gini buat siapa Cha? Naksir cowok lo ya?” tanya Baim mengagetkanku. “Paan sih lo, bunda tuh yang dandanin gue kaya gini” jawabku ketus. “Ahh, masa? Tapi kan kamu juga bisa nolak kalo kamu ngerasa nggak nyaman sama dandanannya bunda ke kamu, iya kan?”, aku merasa ada yang berbeda dari sikap Baim kepadaku hari ini, hatiku jadi berkecambuk, pikiranku teraduk-aduk. Padahal semua ini aku lakukan karena berpikir Baim akan menyukainya. Aku menuju toilet untuk membersihkan make up dan kembali menguncir rambut di tengah. Setelah itu aku pergi menuju kelas dan melanjutkan pelajaran. Saat itu aku tidak sengaja berpapasan dengan Baim yang bersama dengan beberapa teman laki-lakinya. Namun anehnya siang itu Baim tidak menyapaku sama sekali. “Tumben Baim diem aja pas ada lo Cha?” tanya Salsa hanya kubalas dengan gelengan. Saat itu aku hanya memandangi Baim dari jauh dan berpikir apa salah yang sudah kuperbuat.
Sampai akhirnya aku dikejutkan dengan pemandangan yang tak biasa di kantin. Tiara, wanita paling cantik di sekolah tiba-tiba menghampiri Baim dan teman-temannya sembari duduk disamping Baim untuk makan bersama. Teman-teman Baim yang bersama dengannya otomatis bersorak, “Wohooooo, gilaaa nih si Baim udah dideketin sama cewek cantik aja”, terlihat Tiara yang tersipu malu karena sorakan teman-teman Baim, “Aku ikut makan disini ya, Imm?”. Aku yang menyadari bahwa aku menyukai Baim, sakit hati melihatnya, sehingga memutuskan untuk pergi dari kantin meninggalkan Salsa yang sedang memesan cireng kesukaannya. “Eh Cha, ternyata lo di sini? Gue cari kemana-mana taunya di sini. Kenapa? Lo ada masalah apa? Cerita aja sama gue” tanya Salsa sembari duduk di sebelahku. Aku hanya tertunduk lesu sambil menahan tangis. “Lah kok nangis? Lo kenapa? Gue ada salah ya sama lo?” tanyanya bertubi-tubi. Aku hanya menggeleng dan berjalan menuju kelas karena bel masuk telah berbunyi.
Saat bel pulang sekolah berbunyi aku berjalan menuju parkiran. Tapi kali ini aku tidak menemui laki-laki yang biasa menungguku dengan menyeruput es. Sampai akhirnya mataku tertuju pada sosok lelaki yang sudah berada di atas motornya. Aku lega ternyata dia masih mau menungguku. Saat aku berjalan menuju Baim, langkahku terhenti ketika Tiara berhasil menujunya lebih dulu, dan keduanya pergi berlalu meninggalkanku begitu saja.
Paginya aku hampir terlambat lagi untuk pergi ke sekolah dan langsung dikejutkan dengan berita yang telah jadi bahan pembicaraan satu sekolah. “Cha sini buruan, si Baim beneran jadian sama Tiara? Lo pasti udah tau duluan kan? Lo kan sahabatnya. Mereka cocok banget ga sih? Si Tiara juga cakep banget,astagaaaa…” ucapan Salsa semakin membuatku merasa terlempar ke dasar jurang. Saat pulang sekolah aku tidak lagi menuju parkiran. Aku berjalan menyusuri jalan pulang sendirian. “Bodoh banget si gue, kenapa gue bisa ngira si Baim juga suka sama gue” gumamku dalam hati. Tak lama kemudian ada motor yang menghampiriku. “Naik, buruan”. Aku masih melongo tak percaya. Apa benar yang memintaku naik barusan Baim? “Hah?” ucapku meyakinkan. “Buruan naik, gue tinggal nih kalo lama” ucapnya lagi. “Nggak deh, nanti cewek lo marah”. Dia menghela napas dan mematikan motornya. “Kayaknya ada salah paham deh, Cha! Gue belom punya pacar. Gue juga gaada niatan buat nembak siapapun selain lo Cha!” Sialan, jadi selama ini, bener dong dugaan gue kalo sebenernya Baim juga suka sama gue. “Iya emang bener kalo kemarin tuh Tiara deketin gue, tapi gue sukanya sama lo doang Cha! Gimana dong?”. Mendengar ucapan Baim barusan membuat hatiku berdegup kencang. Aku berbalik badan, memastikan apa yang kudengar. “Apa? Coba ulang sekali lagi” ucapku sambil berjalan menuju Baim. Baim mendekatiku dan bertanya, “Ochaa… lo…. eh kamu, mau nggak jadi pacar aku?” ucapnya sambil memegang tanganku. “Ini lo serius?” tanyaku kembali memastikan. “Yaelahh Cha, masa udah serius gini malah dibilang bercanda sihh. Ya nggak mungkin lah” katanya dengan sedikit kesal. Aku mengangguk malu dan berkata “Iya, aku mau jadi pacar kamu Im”.
Penulis: Syarifah Maydina Sany