Bangga Indonesia, Mojokerto – Warbiasa Cak Amu! Tiga jam berdiri tanpa duduk. Looss, tanpa batas. Semua materi dan jurus-jurus ilmu jurnalistiknya diberikan secara lugas dan tuntas.
Kakek dua cucu yang punya nama lengkap Abdul Muis tersebut, menyampaikan pengalaman jurnalistiknya selama 30 tahun di Jawa Pos, saat diundang Syamsul, Pemimpin Redaksi Pena Rakyat News (PRN), media online dan Koran.
Di hadapan lebih 50 jurnalis Pena Rakyat saat memperingati ulang tahunnya ke-4 di Villa Katon Asri, Pacet , Mojokerto, Cak Amu tampil tidak seperti biasanya. Pakai topi dan kostum kebanggaannya sebagai wartawan.
Ia mengenakan kemaja lengan panjang. Dipadu celana jens biru dan sepatu kulit coklat. Kali ini dia membawa anak didiknya sekaligus sebagai operator dan wartawan tulis serta foto dan video.
Saat menyampaikan materi, Cak Amu bukan hanya tanpa duduk. Tiga jam full, dia berbicara lantang dan panjang lebar tanpa diselai dengan minum air mineral sebagaimana yang sering dia lakukan ketika memberi materi jurnalistik.
“Saking semangatnya saya sampai lupa minum dan duduk,” ujar wartawan senior yang punya pengalaman 30 tahun berkarya di media nasional, Jawa Pos ini.
Semangat? Ya. Cak Amu melihat peserta Diklat Jurnalis & Hukum ini diikuti peserta yang usianya rata-rata tidak jauh dari umumnya. Hanya beberapa orang peserta yang berusia milenial.
Selebihnya usia mereka rata-rata berkepala empat sampai enam. Hanya beberapa wartawan yang usianya milenial.
“Warbiasa! Usia sudah senja begini masih juga mau belajar jurnalistik. Salut! Tapi, saya hadir di sini bukan untuk mengajari bapak-bapak. Saya hanya berbagi pengalaman, karena kita sama-sama senior usianya,” kelakar Pemimpin Redaksi Bangga Indonesia ini
Karena itu, Cak Amu lebih suka jika para peserta Lemdik Pena Rakyat News ini, hadir bukan sekedar untuk menimba pengalamannya. Lebih dari itu.
“Mudah-mudahan Anda semua juga bisa menjadi pemilik media. Mengelola media dan melahirkan wartawan melenial yang handal,” pinta Cak Amu, langsung disambuat aplaus peserta Lemdik.
Menjadi wartawan yang handal dan berkualitas, menurut penggagas dan pengelola Pesantren Jurnalistik dan Entepreneur ini, harus menguasai dasar ilmu jurnalistik dan kemampuan menulis dengan metodologi yang benar.
“Buatlah karya tulis atau berita yang mengakar dan punya magnitude (pengaruh) yang besar di masyarakat,” ungkapnya.
Kebanggaan wartawan itu jika karyanya dibaca banyak orang dan punya pengaruh. “Menulislah dengan karya-karya yang menakjubkan. Tidak akan habis efeknya sepanjang jaman,” ujar Cak Amu kepada jurnalis media ini.
Dihadapan peserta Lemdik, Cak Amu mengaku punya kenangan yang tak terlupakan. Yakni ketika bersama wartawan senior Kompas Jimy S Hariyanto meliput markas GAM di Malaysia.
Saat itu, dia bersama Jimy harus menyewa taksi umum selama dua minggu untuk mencari markas GAM yang hari itu merayakan hari kelahirannya. “Saya baru ketemu di akhir sewa taksi mau habis. Posisi markas GAM yang dilindungi UNHCR itu ada di jalan bay pass perbatasan Malaysia-Thailand,” cerita Cak Amu
Singkat cerita, Cak Amu dan Jimy bisa bertemu salah satu panglima GAM bernama Abdullah Krung. Saking akrabnya dijamu sebagaimana tama terhormat. Dalam pertemuan ini, Jimy hanya menulis satu berita tentang berkibarnya bendera GAM.
Sedangkan Cak Amu bisa menulis berseri-seri dari liputan itu. “Gaya liputan Jawa Pos tidak sama dengan Kompas. Ini kepuasan saya. Sama-sama meliput tapi angle beritanya bisa berbeda,” ungkapnya.
Pengaruh dari tulisannya,Cak Amu langsung disidang KBRI Kuala Lumpur. Dia dihadapkan pada pejabat Atase Pertahanan yang semuanya inteljen Internasional dari Kemenlu Indonesia.
“Mereka minta saya menunjukkan markas GAM itu,” jelas Cak Amu. Tapi karena ini kode etik jurnalistik yang harus merahasiakan domisili nara sumber, maka dia bersikukuh untuk tidak membeberkan keberadaan Abdullah Krung.
Tak pelak, para intelgen itu menyebut Cak Amu, ternyata lebih intel dari inteljen yang sesungguhnya. “Mereka mengakui itu. Jadi seorang jurnalis itu bisa sekelas intel, juga bisa melebihi kualitas intel hehe..,” aku Cak Amu.
Benarkah bisa melebih inteljen? Ya, tegas wartawan senior yang kini bikin Program Potcast di Bangga Indonesia TV dengan nama PANCAL CAK AMU itu.
“Kita bisa melebih mereka karena punya intelegensi yang tinggi. Jurnalis sering dapat referensi, jago mengolah data dan konfirmasi kemana-mana. Ini kelebihannya,” ungkap pencetus ide dan pengelola Program Pojok Kampung saat jadi Eksekutif Produser JTV ini.
Di akhir “ceramah” jurnalistiknya, Cak Amu menutup dengan kesan yang akrab dan familiar sekali. “Saya sampai tua berdiri di sini, karena mencintai jurnalistik dan mencintai para jurnalis,” tepuk riuh pun menggema di ruang Lemdik yang disejuki alam pegunungan itu.(adn)
Kereen caaak