BETAPAPUN indahnya masa lalu, tetap hanyalah kenangan. Kita tidak mampu memutar jarum jam mundur untuk mengulangnya.
Betapapun hebatnya cita-cita, tetaplah masa depan. Kita tak akan mampu untuk ke sana. Hari ini, detik ini adalah saat yang nyata, dimana kita bisa berbuat apa saja.
Bila ingin menengok masa lalu, maka lihatlah hasilnya hari ini. Bila ingin mengintip masa depan, maka lihatlah apa yang kita kerjakan hari ini.
Dengan begitu, masa depan sesungguhnya adalah hari ini ditambah hari ini. Detik demi, detik yang meluncur kencang tanpa ada yang bisa menghalangi.
… sejenak berilustrasi dengan ‘sang detik’. Ketika belum terlahir ke dunia ini dan masih di alam ruh, konon pernah ditanya oleh Sang Kholiq, “Apakah benar Aku Tuhanmu?”
Fulan yang original dan masih blue print itupun menjawab, “qoolu bala syahidna”. Iya Engkau Tuhanku dan aku menyaksikan (QS. Al-A’raaf 7: 172). Syahadat Fulan sangat sempurna karena belum terbalut nafsu duniawi.
… akhirnya datang juga,
Si Fulan lahir ke dunia dengan rancang bangun lengkap sebagai manusia. Dan argo detik pun mulai berjalan bersama kordinat tempat, waktu dan hukum universal dunia.
Roh si Fulan yang sudah terbungkus dengan organ tubuh. Dimensi material duniawi dan segala permasalahannya menutupi kesadaran asli sehingga syahadatnya pun ternodai. Tuhan tidak lagi maha besar.
Si Fulan punya harapan tinggi dalam hidupnya, banyak cita-cita yang harus diraih. Dia ingin senang dan menang, ingin jaya dan makmur. Dia berpolitik, berbisnis, bercinta dan berfoya.
Dibutuhkan kegigihan dan banyak strategi untuk meraih icon-icon kemenangan dunia. Segala energi dia curahkan tanpa menghitung lagi tenaga, pikiran, uang dan waktu.
Main sikut dan sikat, kasak kusuk politik, lobi bisnis jadi lobi bengis. Yang tahu hukum melanggar hukum, rapat jadi ‘rapet’.
Semua tampak fatamorgana. Casing luar berkilau, lembut, pintar, sosialis, wibawa … tapi palsu. Sejatinya adalah topeng topeng kemunafikan dan badut-badut kucing garong.
Serba tampak indah, profesional, kharismatik, diplomatis, mempesona ….. tapi setan. kebanggaan semu, puncak kenikmatan tapi menyesatkan. Tak peduli halal haram semua diterjang yang penting nyaman.
Setan tidak lagi menakutkan tapi jadi teman yang mengasyikan.
…. akhirnya datang juga
Nafas si Fulan mulai terengah, lelah, tergeletak di kasur rumah sakit. Wajah keriputnya memucat, rambutnya lesuh memutih dan tak berdaya lagi.
Obat-obatan dan infus oksigen hanya sekedar harapan menambah durasi detik.
Detak jantungnya semakin lemah… dek, dek, deeeeek, hilang bersama sang detik.
Dan diapun meninggalkan dunia untuk selama lamanya. Si Fulan datang sendiri dan kembali sendiri.
… tiba-tiba saja Si Fulan terperanjat, teriak dan kaget … ada apa ini? … ada apa ini?
Dia menjerit sejadi jadinya, meronta sekeras kerasnya, minta tolong entah pada siapa. Apa yang tampak olehnya sungguh berbeda. Semua besaran dalam satuan tak terhingga.
Tidak masuk di nalar sehat dan jauh dari awang-awang imajinasi kita. Ingatannya tertuju pada dosa dosa yang pernah dilakukan, lengkap dalam format audio visual, plus rekaman catatan rinci niat jahat dan prilaku maksiat,
… alam apa ini. Keadaan ini sungguh terlalu serius untuk dihadapi. Tidak ada lagi topeng di wajah dan tak pandai lagi bersilat lidah. Matanya terbelalak tajam hingga terbuka semua hijab kebenaran.
Dan, terbangunlah kembali syahadatnya bahwa Tuhan Maha Kuasa. Kesaksiannya sungguh nyata kalau Allah memang maha segalanya.
Namun semua terlambat, penyesalan tidak ada artinya lagi. Karena sang detik tidak lagi bersama insani.
Penulis : Hatta Zakki (Alumnus Ngaji Jurnalistik)