Utang Warisan Negara
Oleh Asma Ramadhani (Siswi IBS Al Amri)
“Total utang publik sekarang mencapai Rp8.504 triliun. Saya memperkirakan di akhir periode, pemerintahan ini akan mewariskan lebih dari Rp10.000 triliun kepada presiden berikutnya,” kata Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Didik J Rachbini dikutip geloranews melalui keterangan pers, Kamis (3/6/2021). Sementara itu, disebutkan rasio utang pemerintah mencapai 41,18% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). (detikFinance)
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy mengingatkan pemerintah untuk melihat kemampuan dalam menarik utang yang harus diimbangi dengan kemampuan pemerintah dalam membelanjakan utang itu sendiri.
“Yang perlu digarisbawahi adalah kemampuan pemerintah dalam menarik utang itu harus diimbangi oleh kemampuan pemerintah dalam eksekusi belanja dari utang yang ditarik tersebut. jangan sampai utang yang sudah ditarik tidak bisa dieksekusi secara optimal dan justru meninggalkan celah tidak optimalnya,” katanya.
Dari cara pandang ekonom kapitalis, besarnya utang pemerintah menjadi perdebatan yang cukup sengit, ada sebagian ekonom yang memandang bahwa utang publik adalah kutukan, ada sebagian yang lain menilai sebagai sesuatu hal yang menguntungkan selama tidak berlebihan.
Utang merupakan dana yang digunakan dari pihak lain untuk memenuhi kebutuhan, keinginan, atau tujuan keuangan. Sedangkan utang produktif adalah utang yang dipergunakan untuk membeli barang atau aset yang nilainya bisa naik dan menambah penghasilan. Meski utang produktif memiliki manfaat, jika tidak berhati-hati utang produktif yang terlalu banyak juga bisa memberatkan cashflow (arus kas), yang bisa berujung pada menipisnya tabungan. Bahkan bisa timbul utang konsumtif.
Menggantungkan nasib ekonomi negeri pada sistem demokrasi ini memang tak akan menghasilkan solusi jitu untuk memberantas segala problematika. Terutama aktivitas berhutang pada negara lain yang justru akan menambah berbagai cabang masalah.
Berbeda dengan apa yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW dalam Daulah Khilafah, dimana sistem keuangan dan pembangunan berbasis syariat Islam yang mampu menyejahterakan masyarakat. Menerapkan aturan dari Allah yang menciptakan alam semesta dan serangkaian aturan kehidupan. Tidak asal mengambil utang dan membuat perjanjian dengan negara asing.