Bangga Indonesia, Banyuwangi – Ketika Pengobatan Dunia Harus Kembali pada Aturan Tuhannya
Oleh: Ainul Ma’rifah, S.Si
(Pendidik dan Pemerhati Generasi)
Direktur Jenderal WHO Dr. Margaret Chan pada perhelatan “World Health Day tahun 2011 silam penyebarkan sebuah pesan video berisi peringatan terhadap ancaman krisis obat bagi umat manusia.
Dalam video berdurasi dua menit empat puluh detik itu beliau menyatakan bahwa, “Ketika antibiotik pertama diperkenalkan pada 1940-an. Antibiotik dianggap sebagai “obat ajaib”, keajaiban pengobatan modern, dan memang benar demikian. Penyebaran infeksi yang yang membunuh jutaan orang tiap tahun sekarang bisa diobati. Kondisi manusia berubah lebih baik. Harapan hidup meningkat secara signifikan. Pesan pada hari kesehatan dunia 2011 kali ini sangat jelas dan tegas. Dunia sedang berada di ujung kehilangan “obat ajaib” ini. Pertumbuhan dan penyebaran bakteri yang kebal obat semakin cepat. Semakin banyak obat-obatan penting yang tidak manjur lagi. Persediaan obat yang manjur semakin sedikit. Hilangnya “obat ajaib ” ini lebih cepat dibandingkan dengan munculnya obat pengganti. Dampaknya sangat jelas. Bila aksi memperbaiki dan melindungi tidak dilakukan, dunia akan menghadapi era pasca antibiotik. Banyak infeksi biasa tidak dapat diobati. Dan sekali lagi, pembunuhan tidak bisa dielakkan. Tidak ada tindakan hari ini, berarti tidak ada obat besok. Saat terjadi banyak bencana di dunia. Kita tidak boleh membiarkan obat-obatan penting ini hilang. Obat-obatan penting bagi jutaan umat manusia. Akan menjadi krisis dunia selanjutnya.”
Nampaknya, kekhawatiran Dr. Margaret Chan hari ini terbukti. Bukan hanya hilangnya antibiotik dari dunia, namun hingga hari ini COVID-19, virus yang melanda dunia belum benar-benar teratasi. Vaksin? hingga hari ini pun masih kontroversi bagi sebagaian besar pakar kesehatan dunia.
Dr. Shigeo Haruyama seorang dokter dan pakar kesehatan dari Jepang, dalam bukunya bertajuk “The Miracle of Endorphin” mengatakan bahwa, hanya 20 % penyakit yang bisa diobati menggunakan obat-obatan modern. Lalu, bagaimana nasib dunia hari ini, jika seorang dokter kesehatan dunia saja bisa mengatakan bahwa jaminan tentang kemampuan obat-obatan modern mampu mengobati penyakit tidak lebih dari 20 %. Lalu, pada siapa manusia harus menggantungkan dan menyandarkan diri? Ketika hari ini ketakutan akan COVID-19 telah menghantui jiwa-jiwa manusia, tak terkecuali seorang muslim.
Islam, dengan segenap aturan yang telah tertulis dalam Al-Qur’an, telah menjelaskan dengan sangat gamblang tentang teori pengobatan. Al-qur’an, kitab suci yang diturunkan oleh Rabb semesta alam, enam kali menyebutkan kata syifa’ yang artinya obat. Empat kali dalam bentuk masdar atau kata dasar. Yakni dalam surat Yunus ayat 57, an-Nahl ayat 68-69, al-Israa ayat 82, dan Fussilat ayat 44. Dari keempat ayat ini, 3 diantaranya disebutkan bahwa as-syifa’ atau obat yang dimaksud adalah al-Qur’an al karim. Hanya an-Nahl yang menyebutkan bahwa syifa’ atau obat itu artinya obat secara fisik, yakni tentang lebah.
Sedangkan dua lainnya dalam bentuk fi’il mudhori’ atau kata kerja sekarang dan yang akan datang. Yakni dalam surat at-Taubah ayat 14 dan as-Syuaraa ayat 40. Kedua ayat tersebut, menjadikan Allah adalah subyek dari obat yang dimaksud. Artinya disini bahwa Allah adalah sebagai sandaran. Setiap manusia yang mencari pengobatan, maka dia tidak boleh bersandar kecuali pada Allah.
Jika hari ini kita belum menemukan obat atas sebuah penyakit. Bukan berarti tidak ada obatnya. Karena setiap penyakit pasti ada obatnya. Faktornya bukan karena tidak ada obatnya, itu perlu ada orang-orang besar yang menelitiya. Dan tentu dengan petunjuk Islam. Bukan petunjuk atau atas dasar kepentingan untuk meraup keuntungan seperti para kapitalis hari ini.
Syeikh Abdul Majid Az-Zindani, rektor Universitas al-Iman Yaman. Beliau adalah salah satu dokter muslim dunia yang telah menyembuhkan penyakit-penyakit yang sangat berat seperti kangker. Uji lab akan obat-obatan yang beliau temukan telah dilakukan di Amerika untuk kemudian beliau aplikasikan di negerinya, Yaman. Sampai hari ini beliau masih enggan membuka ilmunya, meskipun sudah didesak. Beliau takut jika ilmunya dimanfaatkan oleh para kapitalis. Ketika putra beliau ditanya, apa yang sedang diteliti oleh ayahnya, dia menjawab, “Ayahku sedang meneliti hadits nabi.”
Kalau begitu, alangkah menariknya jika buku-buku pengobatan yang dbuat oleh pakar kesehatan muslim itu diungkap hari ini yang sumbernya adalah Rasul dan Rasul hanya bersumber dari al-Qur’an dan hadits beliau. Dan bukankah setiap jaman muncul masalah baru dan haruslah ada seseorang yang meneliti untuk mencari solusi, termasuk masalah baru COVID-19 hari ini. Tentunya dengan sumber tibbun nabawi itu. Maka dari sini, bisa disimpulkan bahwa kedepan, hanya Islam yang mampu memberikan solusi. Dan Al-Qur’an yang akan menjadi sumber rujukannya. Disinilah, ketika dunia tak mampu memberikan solusi atas persoalan kesehatan dunia hari ini, maka sudah saatnya kembali pada Rabbnya, Allah SWT. Wallahua’lam bishowab.