Bangga Indonesia, Sumenep – “Neng”.
Nadia AY
Beberapa sapaan terdengar dari luar kelas yang ditempatinya, perempuan yang akrab disapa ‘neng’ itu hanya tersenyum menanggapi sapaan teman-temannya. Naya al-lail perempuan ramah nan santun itu merupakan putra salah satu kiayi madura yang saat ini sedang menetap di jawa, itulah sebab para temannya memanggil ‘neng’. Meskipun ia putra kiayi tingkahnya tetap ramah dengan senyum manis khasnya, dia juga merupakan abdi dhalem di pesantren yang ia tempati sekarang,
“Naya, minta tolong belahin nyiur ini ya”, kata salah satu abdi dhalem disana.
Nyiur merupakan bahasa madura dari kelapa, maklum abdi dhalem disana rata-rata orang Madura, sehingga logat kebahasaannya masih kental
“Naya yang belah mbak ? Kayaknya Naya gak bisa deh”, ucapnya
“ngga Nay, kamu minta tolong abdi dhalem putra buat belah, kamu tinggal bawa nyiur-nyiur ini ke gerbang untuk dikasih ke putra, kamu bisa minta tolong sama teman atau siapa aja gitu yang juga abdi dhalem”, jelas mbak tadi yang diketahui namnya mbak Sri. Memang sudah biasa bagi pesantren disana jika masih bisa dilakukan sendiri maka dilakukan, sedangkan jika sudah tidak bisa maka minta tolong abdhi dhalem putra.
“oh gitu toh mbak, iya-iya Naya lakuin”.
Setelah mendapat perintah itu naya langsung mencari nomor telepon abdi dhalem putra
“assalamu’alaikum, bhindara bisa minta tolong?”, ucap naya minta tolong
“waalaikumussalam, minta tolong apa nyih?”, jawab abdi dhalem disana
“anu bhin, ini ada kelapa 5 buah bisa minta tolong dibelah”
“oh iya mari nyih, langsung antar ke gerbang”
Abdi dhalem itu menyanggupi permintaan Naya yang berhasil membuatnya senang karena berhasil, stelah tutupan telepon tadi naya langsung bergegas ke gerbang, terlihat disana sudah ada orang yang sedang menunggu.
“assalamu’alaikum, abdi dhalem ya?, tanya naya memastikan
“waalaikumussalam, iya nyih”
“oh, ini bhindara kelapa-kelapanya, terima kasih sudah mau membantu”, kata Naya sembari melemparkan senyum. Bhindara tadi hanya menatap satu arah ke arah Naya, ia seperti tercengang namun cepat-cepat ia mengedarkannya, naya anggap itu biasa dan langsung pamit untuk kembali ke pesantren, tanpa sepengetahuan naya, abdi dhalem tadi masih menetap diluar gerbang sembari menatap kembalinya Naya.
“iya neng, sama-sama”. Katanya sembari tersenyum sesederhana mungkin.
Naya kembali ke pesantren dengan rasa tidak suka dengan bhindara tadi,
“apa coba dia, diucapin terimakasih malah gak nyahut, sebel deh”.
…
Esoknya, Naya dan sekawannya hendak pergi ke sekolah mereka berjalan beriringan sembari melepas guyonan receh seperti menertawai teman laki-lakinya yang sedang asik berjalan. Namun satu hal yang membuat Naya seperti tidak percaya.
“Nay, coba deh kamu lihat bhindara di depan kita ini”, ucap Meri teman sekelas Naya.
“yang mana Mer, didepan kita bukan cuma satu bhindara loh”
“itu Nay, yang tengah pakek sarung hitam”, jelas Meri
“oh itu, terus?”, tanya Naya, mereka masih asyik ngobrol ditengah perjalanannya, lumayan sekolah mereka cukup jauh jika jalan kaki.
“dia itu namanya Hafidz, dia bisa tahu kalau ada orang yang nyebut atau manggil namanya, biasanya dia langsung noleh”, Meri berlagak seolah peramal orang
“mana mungkin”, tepis Naya tidak percaya
“kalau emang dia bisa tahu, kenapa kamu tadi nyebut namanya dia gak noleh, ayooo..”, lanjutnya yang diikuti tertawaan teman-temannya, dia anggap Meri hanya ngarang cerita.
“nggak Nay, aku gak bohong. Coba aja kamu sebut nama dia dua atau tiga kali”, kata Meri membela
“oke, aku bakal buktiin kalau ucapan kamu itu gak bener”.
Naya mencoba menyebut nama Hafidz sesuai suruhan Meri, namun dia tetap berjalan tak menoleh sedikitpun, Naya semakin tertawa kencang karena ucapan aneh Meri betul tidak benar. Namun selang beberapa saat,
“iya neng, kamu manggil saya?.
Bhindara tadi yang diketahui bernama Hafidz itu menoleh dan terhenti tepat di depan Naya, sontak membuat ia terkejut.
“eh, kok bisa sih?”, kata naya masih kebingungan
“senang bertemu kembali dengan kamu, neng Naya”, katanya tersenyum
“kok bisa tahu?”
Kebingungan Naya semakin menjadi karena baru ia sadari ternyata Hafidz ini adalah abdi dhalem kemaren yang sempat naya mintai pertolongan
“ini pertemuan kedua kita neng, bagaimana jika pada pertemuan ketiga nanti, saya bilang jika saya telah terpikat oleh kamu”
Hafidz, yang sebenarnya telah mengagumi seorang Naya sejak lama.
“ih, apaan coba kamu. Berani-beraninya ya”. Naya terlihat sebal
Ternyata pria yang dalam beberapa minggu kemaren sering mengikuti Naya ketika berangkat sekolah juga yang sering memanggil-manggil Naya dengan embel-embel ‘neng’, adalah Hafidz.
Waktu itu sepulang naya dari sekolah tiba-tiba saja ada orang yang memanggilnya dengan embel-embel neng, namun ketika Naya menoleh ia sudah berlalu pergi. Sempat juga ketrika Naya dalam perjalanan ke sekolah, tiba-tiba ada motor berhenti di hadapannya dan membuat rok naya terciprat lumpur karena waktu itu ada genangan air selepas hujan, hal itu juga dilakukan oleh orang yang sama, dan lagi-lagi tak sempat Naya tahu perawaknya. Hampir sebulan naya diteror oleh orang itu, ia berfikir itu adalah hal yang menyebalkan.
“sekarang kau sudah tahu bukan, siapa yang berhasil membuat kamu kepikiran terus, jika sudah tahu maka saya putuskan pada pertemuan ketiga nanti, pernyataan bahwa saya suka bisa melayang kapan saja”
“apaan coba, kok bisa sih ada orang kayak kamu”.
“bisa neng, orang kayak saya ini yang langka kamu temukan”, Hafidz kembali menggoda Naya yang membuatnya berdecak kesal.
“apa? Gak salah dengar? Dasar manusia menyebalkan”
“iya kan neng?, di Madura gak akan kamu temui orang kayak saya, pecayalah”, teriaknya karena Naya sudah berlalu cepat meninggalkan Hafidz.
…
Sesampainya di pesantren, naya masih berkelebat dengan Hafidz. Meri yang merupakan temannya angkat bicara
“Nay kenapa sih, Hafidz orangnya baik loh, dia tuh sebenernya gak banyak bicara cuma sama kamu aja yang kayak gitu, kayaknya”, tungkas Meri
“entar nyesel kamu kalau udah ga ketemu dia lagi”, Meri kembali menggoda Naya
“ga akan mungkin Meri . . .”
Sesebal itukah naya pada Hafidz?.
Tak selang beberapa jam, Naya dan teman-temannya dikejutkan oleh bel darurat, merekapun bergegas keluar kamar dengan perasaan bingung campur takut, namun itu hanyalah bel untuk berkumpul mendadak di aula pesantren, ada pengumuman penting yang harus mereka ketahui.
“ayo, ayo semuanya cepat berkumpul ke aula, ada hal penting yang ingin disampaikan”, kata salah seorang pengurus disana.
Gemuruh kaki dan mulut santri seakan menggetarkan aula, mereka nampak kebingungan. Ada yang masih ngantuk sehabi tidur, ada yang mau mandi dan semacamnya
“oke, perhatian-perhatian, saya selaku ketua pengurus pesantren disini akan menyampaikan selembar pengumuman yang datangnya langsung dari pengasuh, jadi saya mohon dengan sangat untuk kalian menyimak dengan baik”.
Mbak Arin, ketua pengurus periode tahun ini menyampaikan alasan dikumpulkannya seluruh santri termasuk Naya, kebanyakan dari mereka hawatir takut ada sesuatu yang akan terjadi.
“ini mengenai hari libur pesantren yang dimajukan dalam 3 hari kedepan “
Sontak membuat para santri berteriak kegirangan sembari bertepuk tangan,
“sebentar, tunggu saya selesai bicara dulu ya”,
“iya, dalam 3 hari kedepan kalian akan diliburkan dengan ketentuan, santri putra kelas akhir masih harus menyelsaikan tugasnya yaitu magang mulai besok, dan untuk santri putri pulang dengan dengan semestinya”,
“demikian pengumuman ini, atas nama pengasuh ditandatangani”.
Seluruh santri berteriak kegirangan, Naya pun turut senang namun entah mengapa perkataan Meri membuat pikirannya menerawang kembali
“Nay, apa kata aku. Hafidz besok magang, kamu gak bakal ketemu sama dia lagi, 3 hari lagi kamu juga bakal pulang kan?, kamu akan berehenti dan gak akan kembali kesini lagi. Temui Hafidz gih sebelum berangkat, besok mudah hari terakhirnya dia ketemu kamu, kasihan”, Meri mendramatis keadaan.
3 hari berlalu, disamping pertemuan terakhir Hafidz dengan Naya, ia sudah sampai di rumah kelahirannya, Madura. Ia tertawa lepas sebab sang abi dan umi sudah bersamanya kembali, namun Naya tetap merasa kesepian di Madura tidak seramai di pesantren, ia butuh teman kebetulan ada Yati yang merupakan teman lamanya waktu di Madura.
“Yat, coba sini lihat”, kata Naya menyodorkan handphone miliknya
“siapa ini neng? Alhamdulillah wajahnya tampan”, ucap Yati sambil tersenyum kagum
“dia Hafidz, salah satu bhindara, abdi dhalem sekaligus teman angkatanku di Jawa, dia pula yang menyukaiku dan mengatakannya secara terang-terangan. Ia bilang akan menyampaikan rasa sukanya padaku pada pertemuan ketiga kita. Nihil, aku tak tau kapan peertemuan ketriga itu tiba dan apakah pertemuan ketiga itu akan tetap terjadi atau hanya wacana yang berakhir kegusaran belaka”, jelas Naya sembari menatap layar handphone miliknya.
“lalu? Kau pasti menyesal mengabaikannya”, tembak Yati.
“barangkali semacam itu, hingga kini dia mempunya nomor ponselku namun tak kunjung ada salam sapa sedikitpun, apakah lupa aku tak tau. Dia sedang menyelesaikan tugas akhirnya untuk magang di kota seberang selama 4 bulan, sedang aku tidak akan kembali lagi kesana, aku akan melanjutkan kuliahku di pondok lain dan itu sudah keputusan abi sana umi. Artinya, kita berakhir di pertemuan kedua tanpa salam pisah dari masing-masing kubu yang berujung pasrah”.
( Nadia Azkal Uyun, siswa kelas XII MIA 1 asal Pamekasan. PP An-Nuqoyah Guluk-Guluk Sumenep)