Bangga Indonesia, New York – Dolar AS tergelincir pada akhir perdagangan Kamis (Jumat pagi WIB), ketika euro menguat setelah Bank Sentral Eropa (ECB) meluncurkan paket stimulus baru namun mengecewakan beberapa investor yang mencari dorongan stimulus lebih besar, sementara sterling turun karena prospek Brexit tanpa kesepakatan tampak lebih mungkin.
ECB memperluas skema pembelian surat utangnya dan setuju untuk menyediakan bank-bank dengan lebih banyak likuiditas ultra-murah selama mereka terus memberikan uang tunai kepada perusahaan.
Namun, “Bank Sentral Eropa tidak menghadirkan bazoka baru yang besar,” kata Carsten Brzeski, kepala makro global di ING.
ECB menawarkan “perpanjangan yang direkayasa dengan baik dari semua instrumen terkenal untuk memastikan bahwa tingkat akomodasi moneter saat ini diperpanjang hingga setidaknya musim semi 2022, berharap vaksin telah melakukan tugasnya pada saat itu.”
ECB juga mengatakan sedang memantau nilai tukar euro sehubungan dengan kemungkinan implikasinya terhadap prospek inflasi jangka menengah, setelah minggu lalu mencapai level tertinggi dua setengah tahun terhadap greenback.
Analis dan pelaku pasar sedang mengamati untuk melihat apakah bank-bank sentral global mengindikasikan mereka dapat bertindak untuk membendung kekuatan relatif mata uang mereka saat greenback jatuh.
“Ini adalah bank sentral besar kedua yang dengan santai mencatat perkembangan nilai tukar baru-baru ini, menggarisbawahi penurunan dolar AS,” kata Mark McCormick, kepala strategi valas global di TD Securities. “Kami tidak berpikir ada terlalu banyak yang dapat dilakukan ECB untuk membalikkan tren pasar.”
Indeks dolar, yang mengukur greenback terhadap enam mata uang utama lainnya, turun 0,30 persen menjadi 90,8197.
Sementara itu, bank sentral Kanada pada Rabu (9/12/2020) mengaitkan penguatan dolar Kanada dengan penurunan luas dolar AS.
Euro terakhir naik 0,49 persen hari ini di 1,2082 dolar. Greenback merosot 0,61 persen terhadap dolar Kanada menjadi 1,2741 dolar AS setelah sebelumnya mencapai 1,2708 dolar AS, terendah sejak April 2018.
Greenback juga melemah setelah data pada Kamis (10/12/2020) menunjukkan jumlah orang Amerika yang mengajukan klaim pertama kali untuk tunjangan pengangguran meningkat lebih dari yang diharapkan minggu lalu, saat meningkatnya infeksi COVID-19 menyebabkan lebih banyak pembatasan bisnis.
Stimulus fiskal AS jangka pendek tampaknya tidak mungkin terjadi setelah Ketua DPR dari Partai Demokrat Nancy Pelosi menyatakan perselisihan mengenai paket pengeluaran dan bantuan virus corona dapat berlarut-larut hingga Natal.
Sterling tergelincir karena pelaku pasar menjadi lebih berhati-hati tentang risiko Brexit tanpa kesepakatan.
Perdana Menteri Inggris Boris Johnson mengatakan pada Kamis (10/12/2020) ada “kemungkinan kuat” Inggris dan Uni Eropa akan gagal mencapai kesepakatan perdagangan, tetapi berjanji untuk melakukan apa pun yang dia bisa untuk menghindari perpecahan yang kacau dalam tiga minggu.
Gubernur bank sentral Inggris (BoE) Andrew Bailey mengatakan Brexit tanpa kesepakatan akan menyebabkan kerusakan yang lebih lama pada ekonomi Inggris daripada pandemi COVID-19.
Sterling terakhir turun 0,72 persen pada 1,3305 dolar AS.
Dolar Australia mencapai level tertinggi dua setengah tahun karena meningkatnya optimisme bahwa pertumbuhan global akan membaik, dan bank sentral Australia kemungkinan tidak akan melonggarkan kebijakan lebih lanjut setelah memangkas suku bunga ke level terendah bersejarah 0,1 persen pada November.
Dolar Australia melonjak 1,26 persen menjadi 0,7537 dolar AS. (*)