Bangga Indonesia, Jakarta – Anggota Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menilai jika ambang batas mengajukan calon presiden digunakan pada Pemilu Presiden (Pilpres) 2024, maka pelaksanaannya seharusnya dilakukan setelah Pemilu Leigslatif (Pileg) dan setiap partai sudah mengetahui perolehan suara dan kursi di DPR yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Dengan demikian, ambang batas perolehan suara dan kursi yang diperoleh partai politik untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden bersumber dari hasil pemilu legislatif yang terbaru, bukan hasil Pemilu 2019,” kata Yanuar dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Dia menjelaskan, hasil Pemilu 2019 sudah usang, dan tidak bisa dijadikan dasar untuk memastikan bahwa hasil Pileg 2024 akan sama persis dengan Pemilu 2019.
Menurut dia, bisa saja terjadi hal tidak terduga, jika hasil pemilu 2019 dijadikan dasar untuk ambang batas presiden atau “presidential threshold”.
“Lalu bagaimana jika partai pengusung anjlok kursinya di DPR dalam Pemilu 2024, sementara calon presiden/wakil presiden yang diusungnya terpilih sebagai pemenang? Tentu ini akan mengganggu sistem presidensial yang dianut karena dukungan presiden di parlemen menjadi terbatas,” ujarnya.
Dia mengingatkan, semua partai politik peserta Pileg harus diperlakukan secara adil, sehingga apabila “presidential threshold” bersumber pada hasil Pileg 2024, maka semua partai politik mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama untuk mengajukan calon presiden/wakil presiden.
Menurut dia, semua parpol harus berjuang keras memperoleh kursi sebanyak-banyaknya dalam pemilu legislatif jika hendak menjadi pengusung kandidat presiden/wakil presiden.
“Jika ‘presidential threshold’ bersumber pada pemilu 2019, maka kesempatan mengajukan calon presiden/wakil presiden hanya dimiliki partai besar. Apalagi partai politik baru, otomatis tidak berpeluang memiliki kandidat presiden,” katanya.
Padahal menurut dia, tidak ada jaminan partai besar ini akan memperoleh kursi yang banyak pula pada Pemilu 2024. ( Ant )