Edo Tensei Demokrasi? Mimpi!
Oleh: Ainul Ma’rifah, S.Si
(Pendidik dan Pemerhati Generasi)
Bagi penggemar anime naruto, istilah “Edo Tensei” mungkin tidak akan asing lagi di telinga mereka. Ya, edo tensei adalah jutsu atau jurus yang digunakan oleh sinobi (sebutan ninja laki-laki dalam anime naruto) untuk membangkitkan jiwa yang sudah mati. Meskipun dalam dunia nyata hal ini tidak mungkin ada, namun istilah edo tensei sangat tepat bila dikaitkan dengan usaha menghidupkan sesuatu yang sekarat bahkan bisa dikatakan telah menemui ajalnya seperti demokrasi. Sistem pemerintahan yang diklaim terbaik di dunia bagi negara national state hari ini. Namun, bisakah jutsu edo tensei berlaku bagi demokrasi?
Membahas perkara matinya demokrasi memang selalu menarik dan tak akan ada habisnya. Terlebih jika kalangan atas sekelas gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan telah memicu tema ini kembali panas dan muncul ke permukaan. Minggu, 22 November 2020 lalu gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan mengunggah sebuah foto dirinya sedang bersantai dengan pose duduk dan membaca buku yang terlihat berjudul “How Democracies Die”. Sontak postingan tersebut menuai komentar dan penafsiran dari berbagai kalangan. Dilansir dari CNNIndonesia.com bahwa, gubernur Anies Baswedan menghebohkan jagat maya setelah menggugah foto dirinya sedang duduk sambil membaca buku karangan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt, How Democracies Die.
How Democracies Die yang pertama kali terbit pada 2018 lalu adalah buku yang mengupas dinamika politik negara Amerika Serikat sebagai negara kampiun demokrasi. Dinamika pemilihan umum tahun 2016 serta semasa pemerintahan Donald Trump telah membuat kedua penulis buku tersebut menuangkan penelitiannya dalam bentuk buku yang kemudian mereka beri judul “How Democracies Die”.
Dalam buku tersebut, kedua penulis memberikan peringatan akan ancaman kematian demokrasi dengan mengambil beberapa kasus di negara-negara yang juga menerapkan demokrasi sebagai sistem pemerintahannya, sebut saja Venezuela, Filipina, Jerman dan lain-lain.
Berdasarkan hasil penelitian kedua penulis terhadap penerapan sistem demokrasi di beberapa negara tersebut. Mereka akhirnya berkesimpulan bahwa demokrasi akan bisa mengalami kematian jika memenuhi empat indikator yang mereka sebut sebagai “four key indicators of authoritarian behavior”.
Keempat indikator tersebut pertama, lemahnya komitmen terhadap sendi-sendi demokrasi, dengan salah satu parameternya adalah apakah mereka suka mengubah-ubah UU? Kedua, penolakan terhadap legitimasi oposisi, parameternya adalah apakah mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan-sebutan subversif serta mengancam asas dan ideologi negara? Ketiga, toleran terhadap aksi kekerasan, parameternya adalah apakah mereka memiliki hubungan dengan organisai paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri? Keempat, kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil, parameternya adalah apakah mereka mendukung atau membuat UU yang membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat?
Terlepas dari keempat indikator tersebut, demokrasi sejatinya adalah sistem pemerintahan yang sejak zaman Yunani kuno sudah disadari memiliki penyakit bawaan atau disebut “built in error”. Tanpa keempat indikator itu pun demokrasi sejatinya telah mati. Pendiri negara Amerika Serikat sebagai kampiun demokrasi yaitu Benyamin Franklin menyatakan bahwa demokrasi itu ibarat dua srigala dan satu domba yang mereka memutuskan berdasarkan penghitungan suara tentang apa yang akan dimakan untuk makan siangnya. Jadi, kebebasan adalah domba yang bersenjata melawan penghitungan suara. Pertanyaan bodohnya, siapa yang akan menang dalam penghitungan suara ketika satu domba melawan dua srigala?
Sistem pemerintahan yang berjalan semacam ini tak mungkin akan bisa berjalan lama. Kalaupun bisa, demokrasi hanya mungkin berjalan pada rakyat yang menyadari keterbatasan demokrasi. Namun jika tidak, maka mereka tanpa sadar akan bunuh diri secara perlahan dengan demokrasi itu sendiri. Dan itu berlaku bagi semua negara yang mengambil demokrasi sebagai sistem pemerintahan negaranya, karena itu adalah hukum alam dengan demokrasi.
Sehingga jika kembali pada pertanyaan awal tentang apakah “edo tensei” atau menghidupkan kembali bisa diberlakukan pada demokrasi? Atau apakah usaha memperbaiki demokrasi bisa dilakukan? Jawabannya mustahil. Karena sejatinya demokrasi telah mati sejak pertama dia lahir dan tak akan pernah mampu menjadi sistem pemerintahan terbaik yang diklaim selama ini. Bukti kegagalan menghidupkan kembali demokrasi seharusnya sejak awal telah disadari. Karena sejatinya sampai detik ini nyatanya usaha menghidupkan demokrasi tetap mengalami kegagalan.
Wallahua’lam bi ash-showab