INTEGRASI ISLAM DAN SAINS SERTA IMPLIKASINYA TERHADAP PENDIDIKAN ISLAM
Dr. Nasrul Syarif M.Si
Langkah awal yang harus dilakukan untuk mewujudkan keterpaduan sains dengan agama adalah menegaskan dasar atau azas dan tujuan pendidikan. Nurcholis Majid mengatakan ajaran agama Islam hendaklah menjadi grounds for meaning atau azas-azas makna hidup yang bersifat asasi dan membentuk sudut pandang dalam melihat berbagai persoalan atau dengan kata lain agama Islam harus menjadi kaidah dasar dalam membentuk pemikiran, sikap dan perilaku.
Naquib Al-Attas menekankan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah pembentukkan kepribadian. Tujuan mencari ilmu menurut Al-Attas, adalah untuk menanamkan kebaikan ataupun keadilan dalam diri manusia. Untuk itu proses belajar harus memberikan penjelasan tentang akal, jiwa, nilai dan tujuan hidup manusia sesungguhnya, yang harus dilakukan setiap individu.
Hubungan antara pendidikan Islam yang ada, baik dalam ranah hadharat an-nash, hadharat al-ilm, maupun hadharat al-falsafah, perlu dilihat dari perpektif dialog atau bahkan integrasi. Oleh karena itu, pendidikan Islam sebagaimana yang ditegaskan oleh M. Amin Abdullah, harus memiliki kaitan erat dengan dimensi praksis-sosial, karena senantiasa memiliki dampak sosial dan dituntut untuk responsif terhadap realitas sosial sehingga ia tidak terbatas pada lingkup pemikiran teoretis-konseptual seperti yang dipahami selama ini (Abdullah, 2000: 1) Selain itu pendidikan semestinya digunakan untuk mengenalkan peserta didik pada tradisi, budaya, sosial dan kondisi budaya, yang dalam waktu yang sama telah direduksi oleh sains modern, teknologi dan industrialisasi. Sehingga pendidikan sekarang harus diarahkan pada kekuatan positif untuk membangun kultur budaya baru dan mengeliminasi patologi sosial. George S. Counts menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki visi dan prospek untuk perubahan sosial secara radikal dan mengimplementasikan proyek tersebut (Ozman dan Craver, 1995: 176).
Dengan adanya paradigma integratif dalam konteks keilmuan antara transmitted knowledges dan acquired knowledges diharapkan tercipta atmosfir akademik yang holistik dan tidak parsial. Sehingga sekat-sekat spesialisasi bidang pengetahuan tertentu tidak mengakibatkan terbentuknya wawasan miopik-narsistik, dan jangkauan pengetahuan juga tidak membatasi diri pada fakta atau pengenalan finalitas yang bersifat imanen, yang segala sesuatunya hanya dilihat pada makna “pragmatisnya”. Akan tetapi, juga keberadaan makna atau finalitas ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, yakni sesuatu yang berada di luar (beyond) sains yang merupakan signifikansi dan arah sesuatu dalam pengertian “teleologisnya” (lihat Leahy, 2006: 37).
Dengan demikian, paradigma integratif, akan mampu menjembatani kesenjangan yang tajam antara pendidikan umum dan pendidikan agama, karena madrasah sebagai salah satu bentuk pembaruan sistem pendidikan Islam (pesantren) di kurun modern masih saja menghadapi problematika institusional-keilmuan dan metodologis. Akibatnya, institusi ini belum mampu secara tuntas menyelesaikan problem dualisme dikotomis keilmuan, problem fungsional “cagar budaya”, dan dominasi metodologi justifikatif-indoktrinatif dalam kegiatan akademik (Arif, 2008: 264).
Selain itu paradigma pendidikan Islam yang integratif, akan melahirkan sikap inklusif, sehingga tidak merespon perkembangan hanya dengan cara-cara reaksioner, apalagi menjadikannya dirinya sebagai the living ground of radicalism(Azra, 88-89) Implikasi dalam hal kurikulum, bisa dalam bentuk penyusunan silabus di sekitar dua isu fundamental, yakni (1) epistemologi, dan (2) etika. Topik-topik yang termasuk ke dalam epistemologi terutama berbicara tentang status epistemologis sains-sains terapan dan rekayasa, hubungan konseptualnya dengan prinsip-prinsip tauhid (yaitu, pengetahuan metafisika dan kosmologi) yang mengatur dunia fisik (natural), dengan metodologi ilmiah dan pemikiran kreatif (termasuk inspirasi matematika) dan dengan implikasi-implikasi epistemologis aspek-aspek tertentu dari kreativitas manusia dalam sains terapan dan rekayasa kontemporer, khususnya dalam rekayasa genetika (Bakar, 1994: 259). Yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kurikulum yang ada, akan mengantarkan peserta didik agar memiliki hasrat dan kemampuan untuk melakukan penelitian (riset) pada bidang-bidang sains untuk kemudian menemukan “titik sambungnya” dengan realitas objektif yang terjadi pada wilayah keagamaan.Sedangkan implikasi di dalam proses belajar mengajar, di mana salah satu gagasan menarik dari Ian G. Barbour, mengenai peranan penting imajinasi kreatif sebagai metode alternatif selain metode deduktif dan induktif, karena dalam perumusan teori, imajinasi kreatif melampaui proses penalaran yang sangat logis (Barbour, 2006: 197). Yakni sudah banyak fenomena yang muncul tentang peranan guru-guru tertentu dengan kekuatan imajinasi kreatif yang dimilikinya mampu menciptakan metode-metode tertentu agar siswanya bisa menyerap pelajaran secara cepat dan lengkap. Demikian pula peranan seorang guru di dalam menciptakan desain pembelajaran yang aplikatif, misalnya dengan mengubah tata ruang dan penambahan tampilan (display) ruang kelas sehingga mampu menstimulasi gairah belajar peserta didik.
Kesemuanya itu membutuhkan daya kreatifitas seorang guru agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif. Sementara itu implikasinya dalam aspek pendidikan sosial keagamaan, dengan paradigma integratif, para peserta didik akan diajak untuk berfikir holistik dan tidak parsial dalam menghayati majemuknya keyakinan dan keberagamaan. Misalnya, dengan melakukan kunjungan secara rutin ke tempat ibadah dari agama yang berbeda, dan mendapatkan penjelasan tentang prinsip-prinsip etik yang dimiliki oleh semua agama. Dengan itu juga siswa diberikan pemahaman, bahwa ada satu hal yang menyatukan semua agama dalam suatu ikatan yang disebut dengan “pengalaman ke-Esa-an” yang mana setiap agama punya tafsir berbeda sesuai dengan perspektif kitab suci masing-masing. Selain itu diajarkan bahwa perdamaian di dunia dapat dicapai dengan pengalaman ke-Esa-an oleh setiap individu. Dalam proses ini pendidikan memainkan peranan yang menentukan dalam proses integrasi ilmu dan agama, suatu proses yang akan mengapresiasi hasil-hasil teoritis pengetahuan dan pengalaman praktis abadi-sifat Ilahi yang digali dari pengalaman pribadi masing-masing.
Dari sini dengan sendirinya tumbuh imajinasi kreatif untuk menghayati pola keyakinan yang bersifat majemuk, sehingga tumbuh kesadaran kreatif untuk menghormati orang lain yang mempunyai keyakinan dan agama yang berbeda. Dalam bentuk lain, bisa dengan mengajak siswa untuk mencari simbol-simbol harmonisasi yang terbentang di alam raya, untuk kemudian diinterpretasikan menjadi model-model integrasi antara sains dan agama. Misalnya, dalam studi holtikultura, untuk integrasi ilmu dan agama dengan model bunga matahari. Contohnya siswa dilatih untuk mengembangkan imajinasi kreatifnya dengan menjelaskan bunga matahari, di mana siswa menjelaskan kelopaknya yang mewakili berbagai budaya, mitologi, ilmu pengetahuan, pendekatan spiritual, dan filosofi, dan semua berpusat di kepala bunga. Kemudian bahwa bunga tumbuh atas dasar pengalaman manusia dan kelopak merupakan model dan sistem pemikiran yang dibangun dari pengalaman manusia dan siswa diajak untuk memahami pengalaman itu.
Dari situ akan tumbuh pemikiran tentang asumsi dasar bahwa sains dan agama bisa dan harus bekerja sama untuk menghasilkan pemahaman yang lebih kaya dari dunia kita. Kita mengajari siswa untuk belajar mengintegrasikan ilmu pengetahuan dan agama pada kegiatan lapangan bahkan sambil bermain. Dengan ini, memungkinkan untuk tumbuh dalam pemahaman siswa, bahwa ilmu pengetahuan dan agama akan tumbuh bersama, untuk beradaptasi dengan satu sama lain. Lebih dari itu, proses ini akan memahamkan siswa bahwa setiap model integrasi ilmu dan agama harus mencerminkan realitas, bukan ikatan-ikatan teoretis.
Integrasi sains dan teknologi berimplikasi pada pendidikan Islam antara lain:
Pertama, berimplikasi dalam hal kurikulum, mengantarkan peserta didik agar memiliki hasrat dan kemampuan untuk melakukan penelitian (riset) pada bidang-bidang sains untuk kemudian menemukan “titik sambungnya” dengan realitas objektif yang terjadi pada wilayah keagamaan.
Kedua, implikasi dalam proses belajar mengajar, guru mengembangkan imajinasi kreatif. Peranan guru-guru dengan kekuatan imajinasi kreatif yang dimilikinya mampu menciptakan metode-metode tertentu agar siswanya bisa menyerap pelajaran secara cepat dan lengkap.
Ketiga implikasi dalam aspek pendidikan sosial keagamaan. dengan paradigma integratif, para peserta didik akan diajak untuk berfikir holistik dan tidak parsial dalam menghayati majemuknya keyakinan dan keberagamaan sehingga menumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan sebuah keyakinan dalam beragama
Dalam konteks ini, Fawzia Gilani menegaskan bahwa pendidikan Islam berusaha menciptakan siswa yang memiliki kemampuan spiritual, intelektual, serta memiliki keterampilan duniawi. Dari gambaran di atas jelas bahwa pendidikan Islam bertujuan membentuk kepribadian Islam. Keperibadian seseorang terdiri dari dua unsur penting yang saling terkait, yakni pola berpikir dan pola bersikap.
( Integrasi Islam dan Sains, Sidoarjo, 27 juni 2020,)