Jawaban Racun
Langkah orang itu tertahan, dunia yang ia lihat tak lagi sama. Dari sudut pandangnya, matahari mengganda. Menjadi dua, bertambah menjadi tiga, beranak lagi menjadi empat. Lalu berputar perlahan sambil memburam, hingga melebur menjadi satu lagi sampai pada titik dimana ia tak lagi menjadi pemilik atas kesadarannya sendiri. Tubuh itu ambruk, menjadikan jalanan sebagai tumpuan terakhirnya.
“Tuan! Tuan dengar suara saya? Tuan?”
“Saudara. Kita bawa saja tuan ini ke klinik kota.” Sekelompok pedagang berusaha menolong pria malang itu.
***
Melalui perantara seekor merpati, Empu Widyadharma telah menggenggam sepucuk surat di tangannya. Dibukanya gulungan itu dan mencermati setiap goresan tinta pada lembaran yang dipegangnya. Empu Widyadharma mengerutkan kening sebelum melontarkan pandangan kepada murid didiknya, Adya Dhara. Hal ini menstimulasi Adya Dhara, untuk bertanya.
Terlebih dahulu gadis itu menyembah sebagai tanda penghormatan. “Guru, izinkan Adya lancang bertanya mengenai isi surat yang Guru pegang.”
Daripada menjawab pertanyaan Dhara, guru yang dituakan itu justru memberi perintah kepada pelayannya, “Siapkan kereta kuda! Aku dan Dhara akan segera pergi ke Hujung Galuh.”
***
“Demam tinggi menyerang, terjadi secara tiba-tiba. Ini jelas bukan disebabkan oleh musim. Yang Dhara khawatirkan, musibah ini tidak sesederhana apa yang terlihat.” Adya Dhara menatap gurunya sekali lagi.
“Aku tahu kau adalah muridku yang paling berbakat. Saat aku masih seumuran denganmu, kemampuanku tidak sebanding kemampuanmu. Kita akan segera tahu kondisi sesungguhnya sesampainya di Hujung Galuh.”
Adya Dhara mengangguk.
“10 tahun berlalu semenjak aku membawamu pulang setelah kutemukan kau menangis di pinggir jalan waktu itu. Siapa sangka kau akan jatuh cinta pada dunia medis. Kau akan selalu mengikuti kemanapun aku pergi mencari tumbuhan herbal atau mengobati pasien. Kau tamatkan bermacam kitab-kitab pengobatan milikku.” Empu Widyadharma menghela nafas singkat. “Dhara, aku memercayaimu.”
Siang itu langit di Tanah Jawa seakan meluas memberi kesempatan pada matahari untuk bertakhta. Kuda terus dipacu. Kereta melaju stabil ke utara melewati toko demi toko, bangunan demi bangunan. Tak perlu menunggu datangnya esok hari agar sampai di kota tujuan.
***
“Empu Widyadharma, Nona Adya Dhara. Saya Bima Warapati sangat berterima kasih atas kedatangan Empu dan Nona untuk membantu kami.” Bima Warapati memberi salam penghormatan.
Pemandangan seperti ini tentu bukan yang pertama bagi kedua tabib lintas generasi itu. Berjajar-jajar warga terbaring tak sadarkan diri. Bantuan medis yang datang tidak sebanding dengan jumlah pasien. Adya Dhara bergegas menghampiri salah satunya, mencari petunjuk yang mungkin bisa didapatkan dari tubuh pasien. Pupil mata. Nafas. Denyut nadi.
Sekarang dia sudah tenggelam ke dalam dunianya sendiri dan fokusnya mencapai tahap yang tinggi. Adya Dhara mengeluarkan beberapa jarum dari kotak kayu persediannya lalu mulai menusukkan jarum itu di beberapa titik akupuntur. Setelahnya dia mengambil sampel darah dan berencana menganalisisnya. Baru selesai memasukkan darah pasien ke kantung kecil, suara seseorang menginterupsi.Yang paling penting, ucapan orang itu adalah pusat perhatiannya sekarang.
“Nona Adya Dhara! Kami sedang membawa beberapa pasien yang tumbang lagi.” Di ambang pintu, pria-pria dewasa itu datang masuk tergesa-gesa dengan membawa tandu. “Dan masih ada banyak lagi di luar. Bagaimana ini?”
Penyakit ini penularannya sangat cepat!
“Tuan, instruksikan kepada mereka semua untuk memakai kain penutup wajah demi keamanan! Juga akan lebih baik bila yang tidak berkepentingan menetap saja di rumah.” perintah Adya Dhara. Dia menyimpan kantung kecil berisi sampel darah dan jarum akupunturnya ke dalam kotak persediaan.
Kebetulan sekali. Empu Widyadharma memperlihatkan diri. “Ikut aku sekarang!” Melangkahkan kaki keluar, mereka sudah bersiap dengan adegan terburuk. Langkah mereka diikuti dua tabib yang lain.
Orang-orang sibuk dengan urusan mereka sendiri. Atmosfir di tempat Adya Dhara berdiri terasa mendesak. Kota Hujung Galuh benar-benar sedang terluka. Cukup untuk memotivasi banyak warga agar segera meninggalkan kota ini. Di persimpangan jalan, seorang anak menangisi ibunya. Membangkitkan naluri dokter.
“Ibu!!! Bangun, Ibu! Ibu kenapa? Aku tidak ingin sendirian…” tangisannya melengking lagi pilu.
Adya Dhara mendekati ibu dan anak itu. Mengelus sebentar punggung si anak dan memegang pergelangan tangan Ibunya untuk mengukur nadinya. Masih bergeming, Empu Widyadharma mengerti muridnya tahu apa yang harus dilakukan. Dan nampaknya, keduanya sedang menyimpan praduga yang sama. Tentang wabah ini.
Adya Dhara mengumpulkan kekuatan untuk berdiri kembali. “Segera bawa Nyonya ini ke klinik!”
***
Di depannya telah berjajar manis wadah dan mangkuk porselen dengan berbagai warna dan ukiran. Aroma herbal yang menyerang memberinya rasa akrab dan nyaman seperti rumah
Empu Widyadharma berdehem. “Kau masih membawa sampel darah pasien, bukan?”
Waktunya pertunjukkan.
Mengeluarkan benda yang dimaksud, Adya Dhara lantas bertanya, “Jadi darah ini harus Adya tuang di wadah yang mana, Guru?”
“Putih.”
Adya Dhara menyapukan pandangan ke sekelilingnya, memastikan kantung darah yang ia pegang cukup besar gravitasinya untuk menjadi pusat pandangan para tabib. Setidaknya pertemuan antara larutan kimia dan darah ini akan membuktikan kecurigaannya. Dengan gerakan yang pasti, Adya Dhara membuka tutup kantong lalu menuangkan darah itu.
Mata siapa tidak terbuka lebar dengan tontonan ini. Darah yang semula berwarna merah terang berubah spektrum gelombangnya menjadi seperti tinta. Tidak perlu kata-kata untuk sekedar menyimpulkan. Bagi seorang tabib, wadah berisi cairan hitam ini sudah memberi penjelasan dengan cara paling gamblang.
“Darah beracun?” Suara Lembu Wirota menggungat keheningan.
Berpikir, berpikir, berpikir.
“Apakah saudara sekalian sudah memiliki pikiran tentang langkah selanjutnya?” Tanya salah seorang lagi.
Adya Dhara menengok gurunya dan dibalas dengan tatapan penuh persetujuan. “Racun virus sangat langka lagi brutal. Hanya saya tidak menyangka penyebarannya terlalu masif dan spontan. Sumber racun ini, pasti sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dengan seluruh warga tanpa terkecuali. Ironisnya, dalam kasus ini sesuatu yang menjaga kita tetap hidup adalah pembunuh kita.”
“Sumur!”
Para tabib saling melempar tatapan ngeri dan tercengang oleh segala kompleksitas masalah ini.
***
“Tolong bantu saya mengumpulkan herbal dan meraciknya sesuai resep yang saya tulis. Ini mungkin akan membantu meredakan batuk darah pasien,” pinta Adya Dhara. “Bagaimana dengan kasus sumur itu?”
“Baik. Mengenai sumur, investigasi sedang dilakukan oleh Tabib Kekaisaran. Kami juga mengirim lebih banyak tenaga medis. Mohon agar Nona beristirahat dan sebaiknya tidak bekerja terlalu keras. Nona perlu memikirkan kesehatan Nona,” Bima Warapati mencoba mengingatkan Adya Dhara.
Sesungguhnya dia lebih lelah jika terus dipaksa beristirahat, walaupun perkataan tadi tidak sepenuhnya salah. Medan ini amat mematikan dan beresiko tinggi. Tetapi di titik ini, Adya Dhara sudah lupa diri.
Hingga kemudian sesosok pria berlari kencang membelah angin. Tujuannya adalah menyampaikan kabar secepat mungkin. Sambil terengah ia berkata, “Lapor! Wabah ini sudah menyebar hingga ke ibukota. Gerbang lalu lintas kota semua diblokir dan dijaga ketat oleh prajurit untuk menekan mobilitas penduduk. Secara keseluruhan, diperkirakan kematian sudah mencapai dua ribu warga yang mana korban terbanyak adalah golongan dewasa. Tercatat anak-anak jauh lebih aman.”
“Bahkan Trowulan? Dalam seminggu dua ribu nyawa melayang.” Adya Dhara menggeleng lemah dan mulai berkaca-kaca. “Saya adalah seorang tabib. Menyembuhkan pasien adalah tanggung jawab saya. Apabila hal itu tidak terpenuhi, saya akan terus merasa berhutang dan gelisah. Bagaimana bisa saya tertidur sementara setiap menitnya satu jiwa pergi. Tangisan-tangisan penduduk saat mengirim orang tersayangnya pergi, saya menyaksikan itu semua.”
Di detik yang sama, Adya Dhara tumbang.
***
Wajah pucat itu nampak sangat tentram dalam tidur pulasnya. Di balik layar, pemilik wajah sedang berjuang. Tubuh Adya Dhara seakan balas dendam setelah berhari-hari kekurangan istirahat.
Lagi-lagi keadaan menghimpit tabib-tabib itu. Jumlah kematian penduduk dikabarkan meningkat secara konstan. Tidak mungkin bagi Empu Widyadharma untuk tetap di sini. Maka dia membuat kesepakatan dengan Dewi Agirita, murid Lembu Wirota yang lebih muda dari Adya Dhara.
“Kami akan pergi ke balai kesehatan sementara kau di sini menjaga muridku. Apakah keberatan?” Tanya Empu Widyadharma.
Dewi Agirita menggeleng cepat. “Tidak Empu. Dewi akan berusaha yang terbaik. Jika ada sesuatu yang di luar kemampuan Dewi, akan Dewi kabari secepatnya. Mohon jaga diri.”
Sejak itu, sosok para tabib semakin menjauh hingga menghilang sepenuhnya. Dewi Agirita memang bisa dipercaya. Sedari tadi dia terus terjaga, memastikan barangkali ada perubahan kecil terjadi pada kondisi Adya Dhara.
Dewi Agirita tersadar Adya Dhara membuat gerakan lembut pada jemarinya. Bingkai mata yang entah sudah berapa lama tertutup akhirnya terbuka lagi. Adya Dhara memaksakan diri untuk bangkit dari tidurnya. Tangkas, Dewi Agirita membantu mengubah posisi Adya Dhara menjadi duduk.
“Kakak Dhara tertidur lama. Seharusnya Empu ada, tetapi sekarang sedang sibuk mengurus pasien yang lain. Tenang saja, Dewi akan setia menemani kakak. Ah, benar! Sekarang kakak harus minum air.” Dewi Agirita mengambil asal air minum di atas meja percobaan dengan hati gembira.
***
“Kakak! Kakak Dhara!” Dewi Agirita menangis melihat kondisi Adya Dhara.
“Katamu tadi dia sempat bangun dan demamnya turun, kan? Aku juga tidak mengerti, kondisinya semakin parah. Nafasnya pendek, berat, dan tidak teratur. Denyut nadinya juga sangat lemah. Aku seperti merasakan ada yang bergejolak di dalam organ pernafasannya.” Empu Widyadharma kebingungan.
Dengan keadaan Adya Dhara sekarang, Empu Widyadharma sudah pasrah. Dia hanya bisa berharap Surga masih memberi murid kesayangannya kesempatan. Tak sadar, air mata mengaliri wajah Empu Widyadharma. Tabib yang lain pun menjadi iba. Kekuatan emosi menyeruak ke sepenjuru ruangan.
“Guru…”
Suara itu!
***
2000 tahun kemudian…
“Ternyata, Dewi Agirita salah memberi minum yang mengandung racun bacillus. Ajaibnya, virus semacam corona jika bertemu dengan racun bacillus dalam satu tubuh, mereka akan bertengkar hebat. Mereka saling melemahkan, tubuh ikut melemah. Medannya adalah paru-paru. Maka itu, penderita harus melewati masa-masa kritis saat pertengkaran berlangsung.” Talitha menutup buku dengan ide yang akan meledak.
Nama: Talitha Shahiza
Sekolah: SMA Negeri 1 Gresik