‘JEBAKAN’ HUTANG UNTUK SELAMATKAN RAKYAT
Bukan rahasia lagi selama masa pandemi pemerintah telah mengeluarkan kebijakan penambahan hutang negara terus menerus. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani bahwa pandemi ini adalah extraordinary challenge atau tantangan yang luar biasa dari sisi mengancam jiwa juga perekonomian negara. Sehingga dibutuhkan respon kebijakan yang juga extraordinary. Salah satunya adalah menambah hutang untuk mengatasi defisit APBN yang banyak terpakai dalam meningkatkan anggaran di bidang kesehatan, bantuan sosial, membantu masyarakat, dunia usaha, dan menjaga perekonomian (sindonews 25/7/2021).
Pemerintah meyakinkan penambahan hutang merupakan salah satu instrumen untuk menyelamatkan masyarakat dan perekonomian. Apalagi menurut Kemenkeu rasio utang pemerintah terhadap PDB masih dalam taraf aman. Untuk diketahui Kemenkeu mencatat posisi hutang pemerintah sampai akhir juni 2021 sebesar Rp 6.554,56 triliun. Angka tersebut 41,35 persen dari rasio hutang pemerintah terhadap PDB. Sebagaimana Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, batas aman rasio hutang di level 60% terhadap PDB. Dengan demikian, kebijakan pembiayaan atau hutang kedepannya akan tetap fleksibel dan inovatif melalui skema pembiayaan KBPU yang lebih masif (kontan.co.id.21/5/2021).
Yang menjadi pertanyaan, benarkah hutang sebanyak itu masih dalam batas aman dan akan menjadi solusi terbaik untuk menyelamatkan ekonomi negara? Ataukah justru menjadi jebakan yang akan menghancurkan perekonomian bangsa? Padahal jika kita menelaah lebih jauh tentang skema pembayaran hutang melalui KBPU saja artinya pemerintah bermitra dengan korporasi (swasta) dalam setiap proyeknya. Konsekuensi lanjutan yang sudah bisa ditebak adalah rakyat akan dikenakan biaya. Bahkan tidak hanya itu, karena pemerintah hanya berposisi sebagai penyelenggara, maka posisi setiap proyek dalam hal ini betul-betul sebagaimana barang dan jasa yang selama ini diperjualbelikan di pasar. Artinya, berapa harga yang harus dibayar dalam proyek tersebut semat-mata atas kendali korporasi. Tentu saja rakyat yang bakal kena imbas dengan penarikan pajak di semua sisi.
Inilah pembodohan yang dilakukan dalam sistem kapitalis saat ini. Dimana hutang seakan-akan menjadi ‘wajib’ dilakukan bagi negara yang mau memperbaiki ekonomi. Melalui bius lembaga-lembaga peminjam hutang dunia seperti world bank dan IMF, akhirnya hutang menjadi pengikat bagi pemilik kepentingan terhadap negara yang dihutangi. Mereka akan terjerat, selalu bergantung bahkan rela diintervensi dalam setiap kebijakan negaranya. Secara tidak langsung, hutang menjadi alat penjajahan yang terselubung.
Justru ironis ketika sebuah negara dengan sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia yang besar, serta pasar domestik yang luas malah mengandalkan hutang untuk “hidup”. Dengan hutang, seolah-olah Indonesia bergantung pada asing. Padahal, asinglah yang bergantung pada Indonesia. Bahayanya lagi hutang yang sangat besar dianggap masih batas aman, hal ini mengabaikan apa yang diprediksi oleh para pakar ekonomi. Bahwa hutang dengan sistem ribawi selamanya akan menjebak negara dalam hutang yang semakin besar. APBN akan selalu dibebani oleh anggaran pembayaran hutang luar negeri. Sebaliknya, anggaran subsidi untuk kepentingan rakyat terus dikurangi. Walhasil, dampak hutang ini sejatinya akan sangat dirasakan oleh rakyat.
Hal ini tentu tidak lepas dari pengelolaan ekonomi yang ada di sistem kita saat ini. Atas nama liberalisasi ekonomi, kepemilikan sumber daya alam (SDA) tidak dibatasi, sehingga SDA yang seharusnya dimanfaatkan untuk kepentingan umat, malah dikuasai oleh segelintir orang. Pengaturannya pun terus dilakukan sesuai dengan perjanjian-perjanjian internasional, agar penerapan sistem neoliberal menjadi sempurna. Sistem ekonomi neoliberal yang diadopsi, memposisikan hutang sebagai solusi tunggal dalam menutup defisitnya anggaran. Para ekonom terus merekomendasikan penambahan hutang demi tercapainya pertumbuhan ekonomi.
Berbeda sekali dengan pengelolaan ekonomi dalam sistem islam. APBN dalam islam dikelola oleh Baitul mal. Pengelolaannya akan kuat dan stabil karena sumber pendapatan utama Baitul mal tergarap dengan optimal. Pemasukan Baitul mal yang melimpah menghilangkan opsi berutang pada negara lain. Kalaupun defisit, negara dengan sistem islam bisa memberlakukan skema dharibah alias pajak yang bersifat temporal dan dipungut hanya dari orang kaya saja. Haram hukumnya melakukan transaksi termasuk berutang pada negara yang punya kepentingan untuk ‘menjajah’.
Kestabilan APBN yang dikelola dengan dengan sistem islam melalui baitul mal sejatinya bertumpu pada konsep pengelolaan yang khas sesuai aturan Allah. Ada tiga pos pendapatan dalam Baitulmal yang memiliki banyak jenis pemasukannya. Pertama, bagian fa’i dan kharaj. Fa’i adalah salah satu bentuk rampasan perang, dan kharaj adalah retribusi atas tanah atau hasil produksi tanah di mana para pemilik tanah taklukan tersebut membayar kharaj ke negara.
Kedua, bagian pemilikan umum. Kepemilikan umum meliputi segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat, segala sesuatu yang secara alami tidak bisa dimanfaatkan hanya oleh individu secara perorangan, dan barang tambang yang jumlahnya sangat banyak, tidak terbatas.
Ketiga, bagian sedekah. Bagian sedekah terdiri dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, zakat ternak unta, sapi, dan kambing.
Oleh karena itu negara dengan sistem islam sekali lagi tidak akan melakukan pinjaman hutang luar negeri. Sebab, pinjaman seperti itu selalu terkait dengan riba dan syarat-syarat tertentu. Riba diharamkan oleh hukum syara’, baik berasal dari seseorang maupun dari suatu negara. Sedangkan persyaratan dalam hutang tersebut sama saja dengan menjadikan negara-negara dan lembaga-lembaga donor tersebut berkuasa atas kaum muslim. Akibatnya, keinginan dan segala keperluan kaum muslim tergadai pada keinginan negara-negara dan lembaga-lembaga donor.
Selain itu, hutang luar negeri merupakan bencana yang sangat berbahaya atas negeri-negeri Islam, dan menjadi penyebab orang-orang kafir menguasai negeri-negeri kaum muslim. Jadi, selama ada (beban) utang ini, umat selalu berada dalam kondisi terpuruk. Dengan demikian, pemimpin dalam islam tidak boleh menggunakan utang luar negeri sebagai pos (pendapatan) untuk menutupi anggaran belanja. Dengan mekanisme ini, membiayai negara tanpa utang bukanlah hal yang mustahil. Sebab, dengan pemberdayaan pengelolaan sumber daya alam secara optimal dan maksimal sesuai syariat islam, negara bisa mencukupi kebutuhan rakyat tanpa harus berhutang.
FATA VIDARI, S.Pd
Pendidik dan aktivis peduli generasi
Jl. Grajagan 01/05 Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur