Bangga Indonesia, Surabaya – Pengamat pertanian yang juga Ketua Umum DPN Persaudaraan Mitra Tani Nelayan Indonesia (Petani) Satrio Damardjati mengatakan perkembangan big data pangan sangat dibutuhkan pemerintah, seiring dengan kenaikan harga eceran tertinggi (HET). pupuk bersubsidi Rp300 sd Rp450 per kilogram.
“Yang harus dilakukan pemerintah adalah membangun Big Data Pangan Nasional agar pupuk bersubsidi tepat sasaran, karena dari data tersebut mengatur dari hulu hingga hilir. Guna menekan mafia pangan dari kenaikan HET,” kata Satrio dalam sambutannya. keterangan pers di Surabaya, Sabtu.
Ia mengatakan, dengan kenaikan HET pupuk bersubsidi, sangat wajar jika menguntungkan BUMN di sektor pupuk, oleh karena itu BUMN yang harus meraup untung.
Namun, jika itu terjadi atau menguntungkan mafia pangan, diperlukan data yang kuat melalui Data Besar Pangan, sehingga maraknya HET pupuk bersubsidi malah tidak menguntungkan mafia pupuk.
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi hal tersebut, solusinya adalah dari segi pendataan.
Pengamat pertanian Universitas Brawijaya (UB) Mangku Purnomo mengatakan penyesuaian HET pupuk bersubsidi tidak menjadi masalah bagi petani, karena saat ini harus ditinjau, siapa yang diuntungkan.
“Petani bilang tidak, pabrik tidak, distributor tidak. Kalau kita mau reformasi distribusi ini yang perlu dibenahi,” ujarnya.
Purnomo menyarankan kebijakan pupuk bersubsidi yang ideal bukan main input, tapi output.
“Belum ada kepastian produksi yang diterima pasar minimal tanaman pangan utama. Jadi struktur pasar termasuk impor yang tidak menentu,” kata Purnomo.
Sebelumnya, Kementerian Pertanian (Kementan) resmi menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi sebesar Rp300 menjadi Rp450 per kilogram.
Hal tersebut sejalan dengan keluarnya Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 49 Tahun 2020, tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021.(ant)