Pluralisme dan Toleransi yang Kebablasan.
Sabtu, 7 Agustus 2021. Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa melakukan FGD ke-18 Pluralisme Agama Dalam Bingkai Strategi Pendidikan Nasional menghadirkan narasumber yang berkompeten :
1. Dr Fahmi Lukman M. Hum ( Direktur INQIYAD )
2. Prof. Dr Suteki SH,M.Hum. ( Ahli Hukum )
3. Prof. Dr. Ing Fahmi Amhar ( Cendekiawan Muslim )
4. Dr. Ahmad Sastra MM ( Ketua FDMPB )
5. Dr. N.Faqih Syarif M.Si. ( Pakar Komunikasi Islam )
Dr. N. Faqih Syarif menyatakan bahwa Paham pluralisme agama jelas batil dan wajib ditolak. Setidaknya karena 4 (empat) alasan. Pertama: Secara normatif pluralisme agama bertentangan secara total dengan Akidah Islam. Sebabnya, pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar. Ini jelas bertentangan dengan Akidah Islam yang menyatakan hanya Islam yang benar (QS Ali-Imran [3]: 19). Selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (QS Ali-Imran [3]: 85).
Kedua: Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari Islam, tetapi dari sekularisme Barat. Barat mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodoks.
Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik. Peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965).
Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation). Tak ada keselamatan di luar Gereja. Lalu diubah bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar Gereja (di luar agama Katolik/Protestan).
Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine (asli) dalam sejarah dan tradisi Islam. Paham ini justru diimpor dari seting sosio historis kaum Kristen di Eropa dan AS.
Ketiga: Dalam pelaksanaannya, Gereja tidak konsisten. Andaikata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentu Gereja harus menganggap agama Islam juga benar.
Faktanya, Gereja tidak konsisten. Gereja terus saja melakukan kristenisasi terhadap umat Islam. Kalau agama Islam benar, mengapa kristenisasi terus saja berlangsung?
Keempat: Pluralisme diklaim bertujuan untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi dan saling menghormati antar umat beragama. Faktanya, justru kaum Kristen dan rezim sekuler di Barat sering tidak toleran terhadap kaum Muslim.
Maraknya larangan hijab (jilbab) dan perlakuan diskriminatif terhadap kaum Muslim di sejumlah Negara Eropa hanyalah salah satu contohnya. Bahkan Barat acapkali melabeli kaum Muslim yang berpegang teguh pada syariatnya sebagai kaum radikal bahkan dituding berpotensi menjadi teroris.
Padahal yang radikal dan teroris adalah mereka. Merekalah yang banyak menumpahkan darah umat Islam. Menurut Amnesti Internasional, misalnya, ketika AS menginvasi Irak, lebih dari 100.000 jiwa umat Islam dibunuh oleh AS.
Dari keempat gugatan terhadap pluralisme di atas, jelas ide pluralisme agama adalah batil dan wajib ditolak.
Pluralisme dan Toleransi yang Kebablasan
Saat ini tampak begitu masif arus opini tentang intoleransi. Seolah negeri ini darurat intoleransi. Yang aneh, tudingan intoleransi sering ditujukan kepada Islam dan umatnya.
Padahal jelas, Islam adalah agama yang menjunjung tinggi toleransi. Wujud toleransi agama Islam adalah menjunjung tinggi keadilan bagi siapa saja, termasuk non-Muslim.
Islam melarang keras berbuat zalim serta merampas hak-hak mereka (Lihat: QS al-Mumtahanah [60]: 8). Islam mengajarkan untuk tetap bermuamalah baik dengan orangtua walaupun tidak beragama Islam (Lihat: QS Luqman [31]: 15).
Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, praktik toleransi demikian nyata. Hal ini berlangsung selama ribuan tahun sejak masa Rasulullah Muhammad Saw. sampai sepanjang masa Kekhalifahan Islam setelahnya.
Intelektual Barat pun mengakui toleransi dan kerukunan umat beragama sepanjang masa Kekhilafahan Islam. Kisah manis kerukunan umat beragama direkam dengan indah oleh Will Durant dalam bukunya, The Story of Civilization.
Dia menggambarkan keharmonisan antara pemeluk Islam, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayah. Mereka hidup aman, damai dan bahagia bersama orang Islam di sana hingga abad ke-12 M.
T.W. Arnold, seorang orientalis dan sejarawan Kristen, juga memuji toleransi beragama dalam Negara Khilafah. Dalam bukunya, The Preaching of Islam: A History of Propagation Of The Muslim Faith (hlm. 134), dia antara lain berkata, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Khilafah Turki Utsmani—selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani—telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”
Namun demikian, toleransi beragama tentu berbeda dengan sinkretisme agama sebagai salah satu ekspresi dari paham pluralisme agama. Sinkretisme agama adalah pencampuradukan keyakinan, paham atau aliran keagamaan. Hal ini terlarang di dalam Islam.
Contohnya perayaan Natal bersama, pemakaian simbol-simbol agama lain, ucapan salam lintas agama, doa lintas agama, dll. Semua ini bukan toleransi. Pencampuradukan ajaran agama semacam ini merupakan refleksi dari paham pluralisme yang haram hukumnya di dalam Islam.
Alhasil, umat Islam tak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah akidah dan syariat Islam yang menjadi pegangan hidup mereka. Keduanya merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Alhasil, umat Islam tak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah akidah dan syariat Islam yang menjadi pegangan hidup mereka. Keduanya merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Alhasil, umat Islam tak membutuhkan paham pluralisme. Cukuplah akidah dan syariat Islam yang menjadi pegangan hidup mereka. Keduanya merupakan sumber kebahagiaan di dunia dan akhirat.
( Materi yang saya sampaikan di Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa FGD ke 18 )