Bangga Indonesia, Jember – Dilansir dari SUARA JEMBER NEWS, Jember – Data mengejutkan terungkap, hampir 30 % siswa se- tingkat SMA putus sekolah akibat pembelajaran secara daring (dalam jaringan). Hal itu diungkap oleh DR H Rosyid, S.Pd,. M.Si,. M.P, Kepala Seksi (Kasi) SMA, SMK, PK-PLK, Kantor Cabang Dinas Pendidikan Wilayah Jember yang meliputi Kabupaten Jember dan Lumajang, Rabu (7/4). Rosyid mengatakan hal itu pada acara Dialog Publik yang diselenggarakan di Pendopo Bupati Jember, Wahyawibawagraha, dengan tema Ayo Ke Sekolah.
Rosyid menyampaikan data, ada 73.723 siswa SMA, SMK, PK-PLK di Jember dimana 38 ribu laki-laki dan 35 ribu perempuan. “Di seluruh Jawa Timur ada dua kabupaten dan kota yang masih mempertahankan pembelajaran secara daring, Kota Kediri dan Kabupaten Jember,” katanya.
Juga dilansir dari JAKARTA, KOMPAS.com – Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyebut, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi selama pandemi Covid-19. Hal itu disampaikan Retno berdasarkan hasil pemantauan KPAI di berbagai daerah. “KPAI justru menemukan data-data lapangan yang menunjukan angka putus sekolah cukup tinggi, terutama menimpa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin,” kata Retno dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (6/3/2021).
KPAI minta ada Satgas Khusus Bantu Cegah Perkawinan Anak Pemantauan dilakukan dengan pengawasan langsung untuk Kota Bandung dan Cimahi, dan wawancara secara online dengan guru dan Kepala Sekolah jaringan guru Federasi Serikat guru Indonesia (FSGI) pada Februari 2021. Retno mengatakan, ada lima penyebab anak putus sekolah saat pandemi Covid-19. “karena menikah, bekerja, menunggak iuran SPP, kecanduan game online dan meninggal dunia,” ujar dia.
KPAI, lanjut dia, mencatat sejak Januari hingga Februari 2021 ada 33 anak putus sekolah karena menikah di kabupaten Seluma, Kota Bengkulu dan Kabupaten Bima. Kemudian dua anak di Jakarta dan Cimahi anak putus sekolah karena bekerja, anak menunggak iuran SPP ada 34 kasus terhitung sejak Maret 2020 hingga Februari 2021. “Dari 34 kasus tersebut, tiga di antaranya berasal dari sekolah yang sama. Hampir 90 persen kasus berasal dari sekolah swasta dan 75 persen kasus berada dari jenjang SMA/SMK,” ungkapnya.
Dalam masa pandemi ini, kebijakkan Daring secara nasional masih berjalan. Walaupun dibeberapa sekolah diberbagai wilayah Indonesia sebagian melaksanakan tatap muka. Sebenarnya sebelum adanya pandemi corona, fakta membuktikan bahwa Negara kita mengalami krisis multi dimensi, dari mulai kemiskinan , kenakalan generasi, kerusakan moral, free sex , narkoba, dan perceraian terus meningkat. Kemudian di era pandemi ini bertambah masalah di dunia pendidikan yaitu stress pada anak dan orang tua, lost educational, dan lost generation.
Persoalan putus sekolah sebenarnya bukan persoalan yang berdiri sendiri. Tapi persoalan yang berkaitan banyak bidang, yaitu sistem ekonomi, sistem politik dan sistem pendidikan. Krisis multi dimensi terjadi karena diterapkannya sistem sekular- kapitalis – liberal. Bagaimana harus nya Negara berperan sebagai pelindung dan bertanggung jawab atas nasib generasi. Dalam sistem sekular-kapitalis-liberal, asasnya bukan Islam. Penguasa sistem sekular kapitalis dalam menyelesaikan masalah apapun termasuk bidang pendidikannya tidak berdasar Al Qur’an dan hadits, tetapi dengan aturan buatan manusia. Inilah yang menjadi akar persoalan. Karena seluruh masalah kalau diselesaikan oleh kesepakatan manusia pasti akan banyak perselisihan dan berdasarkan kemaslahatan masing-masing.
Dengan banyaknya pelajar yang putus sekolah akibat pandemi corona, tentu banyak membuat keprihatinan kita semua, apalagi bagi para guru. Masalah putus sekolah ini adalah masalah Negara jadi harus disolusi oleh Negara. Karena negara lah yang paling bertanggung jawab dan paling mampu menyelesaikan masalah putus sekolah secara massif.
Karena masalah putus sekolah terkait sumber pendanaan, maka harus ditopang dengan ekonomi yang mandiri dikelola oleh Negara. Juga dibutuhkan sistem politik yang berpihak kepada kemaslahatan rakyat bukan individu,partai, atau Negara lain.
Dilansir dari Liputan6.com. Sebagai negara kepulauan dengan Sumber Daya Alam (SDA) berlimpah, Indonesia sering kali diperkirakan bakal menjadi salah satu negara maju di masa mendatang. Indonesia merupakan negara pemilik minyak, batu bara, gas alam, emas, nikel, tembaga dan berbagai komoditas lain yang diminati pasar internasional. Jika seluruh kekayaan alam dicairkan dalam bentuk uang, Indonesia diperkirakan memiliki aset hingga mencapai ratusan ribu triliun rupiah.
“Itu perkiraan nilai cadangan terbukti dari minyak, gas, batubara, tembaga, emas, nikel, perak dan seterusnya dengan asumsi tidak ditemukan cadangan baru lagi. Ini yang ketemu saja di perut bumi, nilainya saat ini sekitar Rp 200 ribu triliun,” ungkap pengamat energi Kurtubi saat ditemui di Hotel Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (28/1/2014)
“Kalau Rp 100 ribu trilun 10% saja kita amankan, kita uangkan dulu sekarang, berarti Rp 10 ribu triliun, berarti 5 tahun APBN, duit cash ada hari ini jika mau,” paparnya. Kurtubi menyadari, proyeksinya tersebut memang tidak bisa langsung diwujudkan saat ini juga. Tugas pertama yang harus dilakukan pemerintah untuk menjaga kedaulatan SDA Indonesia adalah mengubah Undang-Undang yang berkaitan dengan kepemilikan kekayaan negara.
Dengan dana sebesar itu, Indonesia sangat mampu melunasi hutang dan membangun sejumplah sarana infrastruktur di seluruh Indonesia. Dan tentu mampu untuk mendanai anak-anak yang putus sekolah. Tetapi karena kebijakkan politik dan ekonomi menggunakan sistem kapitalis – sekular kelihatannya solusi ini menjadi sulit bahkan sepertinya tidak bisa diwujudkan.
Sementara dalam Islam, pemimpin berdasarkan Islam memiliki fungsi sebagai raa’in ( pemimpin ).Fungsi ini dijalankan oleh para Khalifah kurang lebih 14 abad masa kegemilangan Islam. Pasang surut kekhilafahan secara sunnatullah memang terjadi, tapi fungsi raa’in ini ketika dijalankan sesuai apa yang digariskan syara’, terbukti membawa kesejahteraan, kemaslahatan, dan kejayaan umat Islam.
Khalifah sebagai pemimpin tunggal kaum Muslim di seluruh dunia memiliki tanggung jawab yang begitu besar dalam mengurusi urusan umat. Rasulullah Saw. bersabda:
الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Dalam hadis tersebut jelas bahwa para Khalifah, sebagai para pemimpin yang diberi wewenang untuk mengurusi kemaslahatan rakyat, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT kelak pada hari kiamat, apakah mereka telah mengurusnya dengan baik atau tidak.
Makna raa’in ini dipraktekkan dengan jelasdan menganggumkan oleh khalifah Umar bin Khaththab , ketika beliau memanggul sendiri sekarung gandum untuk diberikan kepada seorang ibu dan dua anaknya yang kelaparan, sangking tidak punya apa-apa untuk dimakan, si ibu sampai-sampai memasak batu.
Begitu juga yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz, Beliau berusaha keras memakmurkan rakyatnya dalam 2,5 tahun masa pemerintahannya, sampai-sampai tidak ada seorangpun yang berhak menerima zakat.
Demikian juga pembiayaan pendidikan menjadi tanggung jawab Negara dalam sistem Islam. Seluruh pembiayaan pendidikan baik sarana, prasarana, gaji guru, biaya operasioanal pendidikan dalam sistem Islam diambil dari baitulmal, yakni dari pos fai’ dan kharaj dan pos milkiyyah ‘amah.
Jika pembiayaan dari dua pos tersebut mencukupi, Negara dalam sistem Islam tidak akan menarik pungutan apa pun dari rakyat. Jika harta di baitulmal habis atau tidak cukup untuk menutupi pembiayaan pendidikan, maka negara Khilafah meminta sumbangan sukarela dari kaum muslim. Itupun bukan seterusnya tapi sifatnya hanya temporal sampai baitulmal kondisi normal kembali.
Allahu ‘alam bish shawab.
( Sri Endah Lestari, Praktisi pendidikan dan Ketua Kajian Guru Muslimah Inspiratif Jember )