“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya”
“Ruang publik makin dipenuhsesaki oleh berbagai kepentingan yang berebut untuk saling menyampaikan kebenaran menurut versi masing-masing,” katanya didampingi Sekretaris Setiawan Hendra Kelana dan sejumlah pengurus saat menyampaikan Pernyataan Sikap Tutup Tahun 2020 dan Proyeksi 2021 di Semarang, Jumat.
Ia mengatakan tiap pihak menjustifikasi pernyataan dan perbuatannya dengan mengatasnamakan tujuan kepentingan rakyat.
Menurut dia, perebutan ruang untuk beropini itu diperkuat oleh penggalangan opini masif para buzzer, sehingga dalam isu-isu publik tertentu makin sulit untuk menyimpulkan mana hal yang benar dan mana hal yang salah.
Dalam kondisi demikian, kata dia, wartawan dan media makin tertantang untuk menyampaikan kebenaran, yang idealnya ditempuh melalui proses-proses dan mekanisme berjurnalistik yang akuntabel.
Mekanisme demikian hanya bisa diperoleh dari kemauan berdisiplin untuk menjalankan verifikasi atas pernyataan dan fakta-fakta.
Hanya dengan menempuh mekanisme seperti itulah, lanjut dia, wartawan dan media bisa memberi kontribusi dalam menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media kita dihadapkan pada pertarungan kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang berebut membangun opini. Semuanya terkait dengan proyeksi kontestasi 2024. Siapa yang punya akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan bersumber daya kuatlah yang memenanginya. Namun apakah yang memenangi opini publik otomatis berhak mengklaim sebagai pihak yang benar?” katanya.
Lebih lanjut, Amir mengatakan berdasarkan evaluasi, status kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik, seharusnya mendorong wartawan dan media untuk meyakinkannya dengan ikhtiar menemukan kebenaran itu melalui mekanisme cek fakta dalam standar berjurnalistik.
“Kalau kita hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, boleh jadi media akan terjebak pada alur opini dengan frame berpikir mereka. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang secara masif menyemburkan pembelaan kepada pihak tertentu,” katanya.
Menurut dia, insiden tewasnya enam anggota Laskar Pembela Islam, persoalan buron kasus korupsi Harun Masiku, skandal hukum Djoko Tjandra, juga pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan, dan kerumunan massa pada masa-masa pandemi COVID-19, menjadi bagian dari contoh kemelut informasi publik yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi dan informasi mana yang benar.
Ia mengatakan hal itu menjadi tugas media untuk melakukan cek fakta secara benar, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers, yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan dengan baik.
Sementara itu, kata dia, ancaman kekerasan baik secara fisik maupun psikis masih membayangi pekerjaan wartawan.
Dia mencontohkan laporan-laporan dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” seluruh elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.
Dalam kondisi demikian itu, lanjut dia, PWI sebagai organisasi profesi kewartawanan di semua level kepengurusan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, harus punya political will secara sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi wartawan.
Peningkatan profesionalitas itu antara lain ditempuh melalui penyelenggaraan intensif Uji Kompetensi Wartawan (UKW), jaminan advokasi dan perlindungan baik fisik maupun hukum, serta ikhtiar-ikhtiar yang terkait dengan kesejahteraan.
“Dengan peta tantangan yang terbaca di tengah perebutan ruang publik yang makin masif, kemampuan wartawan secara komprehensif baik secara teknis maupun etis, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Mereka harus beradaptasi total ke kemampuan dan sikap multiplatform, sehingga makin cerdas membaca kecenderungan-kecenderungan banalitas perebutan ruang publik menggunakan aneka platform media sosial,” katanya menegaskan.
Amir mengatakan tugas penting yang menanti pada tahun 2021 adalah masih meneruskan pengawalan isu-isu publik, khususnya di seputar pengendalian dan penanganan pandemi COVID-19.
“Penggunaan vaksin, distribusinya secara adil, evaluasinya, penanganan pasien positif, protokol kesehatan, adaptasi perilaku baru, serta pengawalan bantuan sosial yang pada 2020 terbukti diselewengkan, menjadi poin-poin yang tetap menuntut keberadaan intens wartawan dan media dalam tugas mulianya. Wilayah tugas tersebut juga menunjukkan betapa wartawan dan media punya tanggung jawab sosial yang besar untuk bangsanya,” katanya.(lia)
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya”
“Ruang publik makin dipenuhsesaki oleh berbagai kepentingan yang berebut untuk saling menyampaikan kebenaran menurut versi masing-masing,” katanya didampingi Sekretaris Setiawan Hendra Kelana dan sejumlah pengurus saat menyampaikan Pernyataan Sikap Tutup Tahun 2020 dan Proyeksi 2021 di Semarang, Jumat.
Ia mengatakan tiap pihak menjustifikasi pernyataan dan perbuatannya dengan mengatasnamakan tujuan kepentingan rakyat.
Menurut dia, perebutan ruang untuk beropini itu diperkuat oleh penggalangan opini masif para buzzer, sehingga dalam isu-isu publik tertentu makin sulit untuk menyimpulkan mana hal yang benar dan mana hal yang salah.
Dalam kondisi demikian, kata dia, wartawan dan media makin tertantang untuk menyampaikan kebenaran, yang idealnya ditempuh melalui proses-proses dan mekanisme berjurnalistik yang akuntabel.
Mekanisme demikian hanya bisa diperoleh dari kemauan berdisiplin untuk menjalankan verifikasi atas pernyataan dan fakta-fakta.
Hanya dengan menempuh mekanisme seperti itulah, lanjut dia, wartawan dan media bisa memberi kontribusi dalam menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media kita dihadapkan pada pertarungan kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang berebut membangun opini. Semuanya terkait dengan proyeksi kontestasi 2024. Siapa yang punya akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan bersumber daya kuatlah yang memenanginya. Namun apakah yang memenangi opini publik otomatis berhak mengklaim sebagai pihak yang benar?” katanya.
Lebih lanjut, Amir mengatakan berdasarkan evaluasi, status kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik, seharusnya mendorong wartawan dan media untuk meyakinkannya dengan ikhtiar menemukan kebenaran itu melalui mekanisme cek fakta dalam standar berjurnalistik.
“Kalau kita hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, boleh jadi media akan terjebak pada alur opini dengan frame berpikir mereka. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang secara masif menyemburkan pembelaan kepada pihak tertentu,” katanya.
Menurut dia, insiden tewasnya enam anggota Laskar Pembela Islam, persoalan buron kasus korupsi Harun Masiku, skandal hukum Djoko Tjandra, juga pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan, dan kerumunan massa pada masa-masa pandemi COVID-19, menjadi bagian dari contoh kemelut informasi publik yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi dan informasi mana yang benar.
Ia mengatakan hal itu menjadi tugas media untuk melakukan cek fakta secara benar, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers, yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan dengan baik.
Sementara itu, kata dia, ancaman kekerasan baik secara fisik maupun psikis masih membayangi pekerjaan wartawan.
Dia mencontohkan laporan-laporan dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” seluruh elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.
Dalam kondisi demikian itu, lanjut dia, PWI sebagai organisasi profesi kewartawanan di semua level kepengurusan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, harus punya political will secara sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi wartawan.
Peningkatan profesionalitas itu antara lain ditempuh melalui penyelenggaraan intensif Uji Kompetensi Wartawan (UKW), jaminan advokasi dan perlindungan baik fisik maupun hukum, serta ikhtiar-ikhtiar yang terkait dengan kesejahteraan.
“Dengan peta tantangan yang terbaca di tengah perebutan ruang publik yang makin masif, kemampuan wartawan secara komprehensif baik secara teknis maupun etis, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Mereka harus beradaptasi total ke kemampuan dan sikap multiplatform, sehingga makin cerdas membaca kecenderungan-kecenderungan banalitas perebutan ruang publik menggunakan aneka platform media sosial,” katanya menegaskan.
Amir mengatakan tugas penting yang menanti pada tahun 2021 adalah masih meneruskan pengawalan isu-isu publik, khususnya di seputar pengendalian dan penanganan pandemi COVID-19.
“Penggunaan vaksin, distribusinya secara adil, evaluasinya, penanganan pasien positif, protokol kesehatan, adaptasi perilaku baru, serta pengawalan bantuan sosial yang pada 2020 terbukti diselewengkan, menjadi poin-poin yang tetap menuntut keberadaan intens wartawan dan media dalam tugas mulianya. Wilayah tugas tersebut juga menunjukkan betapa wartawan dan media punya tanggung jawab sosial yang besar untuk bangsanya,” katanya.(lia)
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya”
“Ruang publik makin dipenuhsesaki oleh berbagai kepentingan yang berebut untuk saling menyampaikan kebenaran menurut versi masing-masing,” katanya didampingi Sekretaris Setiawan Hendra Kelana dan sejumlah pengurus saat menyampaikan Pernyataan Sikap Tutup Tahun 2020 dan Proyeksi 2021 di Semarang, Jumat.
Ia mengatakan tiap pihak menjustifikasi pernyataan dan perbuatannya dengan mengatasnamakan tujuan kepentingan rakyat.
Menurut dia, perebutan ruang untuk beropini itu diperkuat oleh penggalangan opini masif para buzzer, sehingga dalam isu-isu publik tertentu makin sulit untuk menyimpulkan mana hal yang benar dan mana hal yang salah.
Dalam kondisi demikian, kata dia, wartawan dan media makin tertantang untuk menyampaikan kebenaran, yang idealnya ditempuh melalui proses-proses dan mekanisme berjurnalistik yang akuntabel.
Mekanisme demikian hanya bisa diperoleh dari kemauan berdisiplin untuk menjalankan verifikasi atas pernyataan dan fakta-fakta.
Hanya dengan menempuh mekanisme seperti itulah, lanjut dia, wartawan dan media bisa memberi kontribusi dalam menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media kita dihadapkan pada pertarungan kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang berebut membangun opini. Semuanya terkait dengan proyeksi kontestasi 2024. Siapa yang punya akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan bersumber daya kuatlah yang memenanginya. Namun apakah yang memenangi opini publik otomatis berhak mengklaim sebagai pihak yang benar?” katanya.
Lebih lanjut, Amir mengatakan berdasarkan evaluasi, status kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik, seharusnya mendorong wartawan dan media untuk meyakinkannya dengan ikhtiar menemukan kebenaran itu melalui mekanisme cek fakta dalam standar berjurnalistik.
“Kalau kita hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, boleh jadi media akan terjebak pada alur opini dengan frame berpikir mereka. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang secara masif menyemburkan pembelaan kepada pihak tertentu,” katanya.
Menurut dia, insiden tewasnya enam anggota Laskar Pembela Islam, persoalan buron kasus korupsi Harun Masiku, skandal hukum Djoko Tjandra, juga pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan, dan kerumunan massa pada masa-masa pandemi COVID-19, menjadi bagian dari contoh kemelut informasi publik yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi dan informasi mana yang benar.
Ia mengatakan hal itu menjadi tugas media untuk melakukan cek fakta secara benar, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers, yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan dengan baik.
Sementara itu, kata dia, ancaman kekerasan baik secara fisik maupun psikis masih membayangi pekerjaan wartawan.
Dia mencontohkan laporan-laporan dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” seluruh elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.
Dalam kondisi demikian itu, lanjut dia, PWI sebagai organisasi profesi kewartawanan di semua level kepengurusan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, harus punya political will secara sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi wartawan.
Peningkatan profesionalitas itu antara lain ditempuh melalui penyelenggaraan intensif Uji Kompetensi Wartawan (UKW), jaminan advokasi dan perlindungan baik fisik maupun hukum, serta ikhtiar-ikhtiar yang terkait dengan kesejahteraan.
“Dengan peta tantangan yang terbaca di tengah perebutan ruang publik yang makin masif, kemampuan wartawan secara komprehensif baik secara teknis maupun etis, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Mereka harus beradaptasi total ke kemampuan dan sikap multiplatform, sehingga makin cerdas membaca kecenderungan-kecenderungan banalitas perebutan ruang publik menggunakan aneka platform media sosial,” katanya menegaskan.
Amir mengatakan tugas penting yang menanti pada tahun 2021 adalah masih meneruskan pengawalan isu-isu publik, khususnya di seputar pengendalian dan penanganan pandemi COVID-19.
“Penggunaan vaksin, distribusinya secara adil, evaluasinya, penanganan pasien positif, protokol kesehatan, adaptasi perilaku baru, serta pengawalan bantuan sosial yang pada 2020 terbukti diselewengkan, menjadi poin-poin yang tetap menuntut keberadaan intens wartawan dan media dalam tugas mulianya. Wilayah tugas tersebut juga menunjukkan betapa wartawan dan media punya tanggung jawab sosial yang besar untuk bangsanya,” katanya.(lia)
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya”
“Ruang publik makin dipenuhsesaki oleh berbagai kepentingan yang berebut untuk saling menyampaikan kebenaran menurut versi masing-masing,” katanya didampingi Sekretaris Setiawan Hendra Kelana dan sejumlah pengurus saat menyampaikan Pernyataan Sikap Tutup Tahun 2020 dan Proyeksi 2021 di Semarang, Jumat.
Ia mengatakan tiap pihak menjustifikasi pernyataan dan perbuatannya dengan mengatasnamakan tujuan kepentingan rakyat.
Menurut dia, perebutan ruang untuk beropini itu diperkuat oleh penggalangan opini masif para buzzer, sehingga dalam isu-isu publik tertentu makin sulit untuk menyimpulkan mana hal yang benar dan mana hal yang salah.
Dalam kondisi demikian, kata dia, wartawan dan media makin tertantang untuk menyampaikan kebenaran, yang idealnya ditempuh melalui proses-proses dan mekanisme berjurnalistik yang akuntabel.
Mekanisme demikian hanya bisa diperoleh dari kemauan berdisiplin untuk menjalankan verifikasi atas pernyataan dan fakta-fakta.
Hanya dengan menempuh mekanisme seperti itulah, lanjut dia, wartawan dan media bisa memberi kontribusi dalam menyampaikan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
“Kami melihat, sepanjang 2020 yang merupakan pantulan kondisi dari tahun-tahun sebelumnya, media kita dihadapkan pada pertarungan kekuasaan yang menjadikan ruang publik sebagai ajang berebut membangun opini. Semuanya terkait dengan proyeksi kontestasi 2024. Siapa yang punya akses terhadap sumber-sumber kekuasaan dan bersumber daya kuatlah yang memenanginya. Namun apakah yang memenangi opini publik otomatis berhak mengklaim sebagai pihak yang benar?” katanya.
Lebih lanjut, Amir mengatakan berdasarkan evaluasi, status kebenaran yang diklaim oleh pihak-pihak tertentu dalam sebuah isu publik, seharusnya mendorong wartawan dan media untuk meyakinkannya dengan ikhtiar menemukan kebenaran itu melalui mekanisme cek fakta dalam standar berjurnalistik.
“Kalau kita hanya memuat pernyataan, baik perseorangan maupun yang mengatasnamakan lembaga, lalu tidak memverifikasinya secara indepth atau investigatif, boleh jadi media akan terjebak pada alur opini dengan frame berpikir mereka. Apalagi sekarang ada influencer dan buzzer yang secara masif menyemburkan pembelaan kepada pihak tertentu,” katanya.
Menurut dia, insiden tewasnya enam anggota Laskar Pembela Islam, persoalan buron kasus korupsi Harun Masiku, skandal hukum Djoko Tjandra, juga pelanggaran-pelanggaran protokol kesehatan, dan kerumunan massa pada masa-masa pandemi COVID-19, menjadi bagian dari contoh kemelut informasi publik yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apa yang sesungguhnya terjadi dan informasi mana yang benar.
Ia mengatakan hal itu menjadi tugas media untuk melakukan cek fakta secara benar, sehingga peran yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pers, yakni melayani masyarakat dengan menyampaikan informasi, memberi edukasi, menghibur, dan melakukan fungsi kontrol sosial dapat berjalan dengan baik.
Sementara itu, kata dia, ancaman kekerasan baik secara fisik maupun psikis masih membayangi pekerjaan wartawan.
Dia mencontohkan laporan-laporan dari peliputan demonstrasi penolakan revisi UU KPK, Omnibus Law, dan sebagainya menunjukkan bahwa perlindungan kepada wartawan dalam menjalankan tugas belum dipahami sebagai “tanggung jawab bersama” seluruh elemen masyarakat yang membutuhkan informasi dan mengawal pencerdasan kehidupan bangsa.
Dalam kondisi demikian itu, lanjut dia, PWI sebagai organisasi profesi kewartawanan di semua level kepengurusan baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, harus punya political will secara sistematis untuk meningkatkan kapasitas dan kompetensi wartawan.
Peningkatan profesionalitas itu antara lain ditempuh melalui penyelenggaraan intensif Uji Kompetensi Wartawan (UKW), jaminan advokasi dan perlindungan baik fisik maupun hukum, serta ikhtiar-ikhtiar yang terkait dengan kesejahteraan.
“Dengan peta tantangan yang terbaca di tengah perebutan ruang publik yang makin masif, kemampuan wartawan secara komprehensif baik secara teknis maupun etis, menjadi tuntutan yang tidak bisa ditawar-tawar. Mereka harus beradaptasi total ke kemampuan dan sikap multiplatform, sehingga makin cerdas membaca kecenderungan-kecenderungan banalitas perebutan ruang publik menggunakan aneka platform media sosial,” katanya menegaskan.
Amir mengatakan tugas penting yang menanti pada tahun 2021 adalah masih meneruskan pengawalan isu-isu publik, khususnya di seputar pengendalian dan penanganan pandemi COVID-19.
“Penggunaan vaksin, distribusinya secara adil, evaluasinya, penanganan pasien positif, protokol kesehatan, adaptasi perilaku baru, serta pengawalan bantuan sosial yang pada 2020 terbukti diselewengkan, menjadi poin-poin yang tetap menuntut keberadaan intens wartawan dan media dalam tugas mulianya. Wilayah tugas tersebut juga menunjukkan betapa wartawan dan media punya tanggung jawab sosial yang besar untuk bangsanya,” katanya.(lia)