SEBENING UNTAIAN ALUNAN LANGKAH SUCI
Oleh : AZIZAH NUR ASIKHAH
MAN 2 MAGETAN
Sejak tadi sore, mataku masih menatap layar monitor, jemariku sibuk mengetik tombol keyboard, telunjukku sigap mengklik mouse kanan dan kiri, malam ini jadwalku adalah lembur untuk menulis artikel, yang akan ku kirim ke kantor redaksi besok pagi, beberapa kali mataku melirik ke arah jam dinding, dan melihat setiap jarum jam yang selalu berganti posisi, dan berdetak memutari setiap ruas angka, tepat pukul 23.55 WIB artikelku selesai.
Kututup laptopku dan kurapikan beberapa buku panduan, aku melangkah menuju kasur yang sudah menggodaku untuk tidur, tanpa basa basi ku rebahkan tubuhku ke kasur, dan sekejap ku terlelap dalam sunyinya malam ini.
Rasanya seperti baru satu jam, aku terlelap dalam tidurku alarm jadul itu sudah menggemakan deringnya yang memenuhi suara kamar kecil ku ini pukul 03.00 aku sudah terbangun, dan mematikan suara nyaring yang mengganggu tidurku seperti biasa aku menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu untuk menunaikan beberapa rakaat sholat tahajud, air di kontrakan ini benar benar membuat sekujur bulu roma ku berdiri, aku segera keluar dari kamar mandi dan menyambar peci hitam diatas meja belajarku, ku gelar sajadah sederhana berwarna biru, sajadah yang memiliki sejuta pesan dari eyangku.
Salah satu pesan yang selalu kuingat adalah “dadio uwong sing nduwe dugo karo agomo, ojo ngisin ngisini neng ngarepe gusti allah, njalok sak karepe ndongo ra enek bantere”, perkataan yang selalu tertanam di secuil hatiku perkataan dari seseorang dengan ribuan pesan pemupuk semangatku.
Ku kenakan celana hitam dan kaos abu abu untuk hari ini ku gendong tas ransel coklat kesayanganku, aku pun menuju kamar adikku, disana dia masih terlelap, kuselipkan beberapa lembar uang di dekat bukunya, Aku pun kembali ke ruang tamu sudah ada sekresek tas rajutan yang Amak siapkan semalam, seperti biasa sebelum ke kampus aku harus menyetorkan rajutan Amak ke bu Yuni, wanita yang menjual barang barang kreasi tangan yang terkenal dikota ini.
Aku pun mengeluarkan sepeda dan mulai menaikinya kemudian menggayuhnya perlahan untuk menuju kantor redaksi, suasana kota pagi ini masih sejuk, polusi dari kendaraan para pejabat belum memenuhi udara kota ini aku menikmati setiap kayuhan sepedaku hingga tak sadar aku sudah sampai di depan kantor redaksi, yang kulihat hanya ada seorang perempuan dengan baju merah seragam kantor ini menatap ke arah computer, kuletakkan sepedaku dan berjalan memasuki kantor redaksi.
“ Permisi mbak… ini artikel tentang opini islam yang diminta oleh pak Huda kemarin!” ucapku seraya menyerahkan beberapa kertas bersteples.
“ Ooo…dengan mas siapa?” tanyanya balik dengan mata yang menatap artikelku.
“ Aranka Mudzakkir” jawabku.
Mata perempuan itu seketika menyipit seolah ada yang salah dengan namaku, pandangannya tajam melirik padaku.
“ Besok kamu bisa mengirimkan puisi dengan tema religi tidak perlu kau antar kesini tapi kirim saja ke alamat e-mail kantor ini!” perintahnya dengan suara yang membuat pecah keheningan sebelumnya.
“ Tapi mbak, besok bukan jadwal saya mengirim artikel” jelas ku mengelak permintaannya.
Perempuan itu menghampiriku sembari menyodorkan kertas kecil padaku.
“ Ambil! ” pintanya
Aku hanya menuruti permintaan perempuan itu dan mengambil kertas yang ia berikan, tertera beberapa goresan huruf yang menandakan tulisan alamat e-mail kantor redaksi ini. Aku memandang perempuan itu, wajahnya penuh misteri entahlah sesekali ia melirikku matanya tajam, wajahnya seolah serius menatap layar computer, aku berganti melirik ke arah jam dinding. Jarum jam menunjukkan pukul 06.00 WIB aku segera keluar dari kantor redaksi dan menuju toko bu Yuni,
Aku segera menggayuh sepedaku dan berhenti di depan toko bu Yuni.
“ Ini uang hasil jualan kemarin!” ucap bu Yuni seraya menyodorkan amplop kepadaku.
“ Lumayan untuk tambahan modal Amak” batinku.
Akupun segera memberikan stok tas rajutan dan kembali menggayuh sepedaku menuju kampus dari kejauhan tampak jelas gedung kampus II yang akan kutuju.
Pagi pulang malam, itulah kegiatanku setiap 2 hari sekali sepulang kuliah biasanya aku akan ke warteg dekat rumahku untuk sekadar mencuci piring ataupun bersih bersih upah dari warteg biasanya akan ku tabung, pemilik warteg selalu berbaik hati dengan memberikan 2 bungkus nasi kepadaku.
“ Ini buat kamu sama orang rumah” ucap perempuan paruh baya pemilik warteg itu.
“ Amak .. Aran pulang “ ucapku setelah memasuki kontrakan.
Tak ada jawaban aku segera menuju dapur dan kudapati Amak sedang melamun.
“ Mak..Lia mana? ” tanyaku.
Amak tak merespon pertanyaanku, ku hampiri Amak dan kutepuk perlahan pundaknya.
“ Amak..” ucapku
“ Aran, sudah pulang kamu “ sambutnya yang spontan langsung menghancurkan lamunannya.
“ Amak kenapa?” tanyaku seraya duduk didepannya.
“ Aran…bagaimana jika kita pindah kerumah lama?” tambah Amak sembari tertunduk.
“ Aran nggak mau Amak depresi lagi karena rumah itu, Aran gak mau Lia malah gak fokus karena rumah itu lagi, Aran tau Amak sama Lia belum bisa nglupain kejadian meninggalnya Abah dirumah itu, kalau untuk nglunasin kontrakan ini bahkan 3 bulan kedepan inshaaallah Aran punya mak…” ucapku.
Amak tetap tertunduk, aku beranjak berdiri dan menuju kamarku, ku ambil beberapa lembar uang hasil kerjaku 1 tahun terakhir ini.
“ Aran punya ini mak, ini cukup untuk nglunasin uang kontrakan beberapa bulan ke depan!” ucapku seraya menyodorkan uang itu ke Amak.
Dengan cepat Amak menggeleng.
“ Aran punya janji ke alm. Abah buat sekolah sampek s2 kan, Aran juga punya janji ke alm. Abah buat nyekolahin Lia sampek jadi dokter kan urusan kontrakan dan sehari hari itu urusan Amak, jangan pernah sekali kali ikut tangan” ucap Amak tegas.
“ Sekarang Aran ke kamar istirahat Aamak mau melanjutkan pesana rajutan untuk besok!” tambahnya.
Aku pun berjalan menuju kamar dan menyelesaikan puisi yang diminta oleh perempuan di kantor redaksi tadi pagi, ku ketik tiap kata yang ada dibenakku hinga 1 lembar puisi pun sudah selesai segera ku kirim ke alamat e-mail kantor redaksi.
Beberapa hari setelah Amak melunasi kontrakan aku berniat untuk mengambil beasiswa di Surabaya, Amak belum mengetahui tentang niatanku ini tapi akan segera kulontarkan semua keinginanku, makan malam ini akan ku katakan kepada Amak.
“ Gimana kuliah mu ran? ” tanya Amak di tengah makan malam keluarga kecil ini.
“ Amak, Aran kemarin dapat surat beasiswa untuk melanjutkan kuliah di Surabaya, dan kalau Aran nerima besok lusa langsung berangkat!” ucapku.
Amak seolah terkejut mendengar perkataanku.
“ kalau Aran berniat Aran boleh pergi dan jangan pulang sebelum jadi sarjana” ucap Amak antusias.
Aku tersenyum lebar kusiapkan semua kebutuhanku untuk kuliah ke Surabaya.
Rabu hari ini aku menuju terminal ditemani Amak dan Lia.
“ Bang! Sepeda Abang Lia pakek ya, biar bisa nganterin rajutan Amak dan bantu bantu di warteg!” ucap Lia antusias.
Aku hanya tersenyum diiringi anggukan kecil Amak menghampiriku seraya menyodorkan sekotak kubus usang kepadaku.
“ Ini buat nyari kos kosan, sama buat kebutuhan Aran dikota semoga cukup! “ ucap Amak.
“ Amak lebih butuh ,Lia juga mau masuk SMA, sekalian buat bayar kontrakan, doakan Aran bisa ngirim uang ke Amak” ucapku seraya menatap sayu mata Amak yang sudah sepuh dan berkeriput.
“ Amak masih punya buat itu semua, kalau dikota Aran butuh, telfon Amak ya ” ucap Amak.
Aku tersenyum dan mengambil kotak itu aku tau Amak berat melepasku merantau ke kota, kutau ia mencoba menangguhkan hatinya agar tidak menangis didepan anak anaknya.
Amak kembali tersenyum.
“ Aran! Inget janji kamu ke alm. Abah, selesaikan pendidikan s2 mu disana jaga diri baik baik jangan pulang sebelum kau membawa topi toga! ” ucap Amak tegas.
Tak lama sebuah bis besar datang dan membawaku pergi, kulambaikan tangan kearah Amak dan Lia yang berdiri ditepi trotoar terminal.
Surabaya, Jum’at 7 Maret 2014
Jam tanganku menunjukkan pukul 03.00 pagi, Aku tidak tau harus kemana pagi ini, kuhubungi bang Guntur selaku kakak tingkatku yang juga mendapat beasiswa disini, ia memintaku untuk menaiki angkot kedaerah Paron, dimana bang Guntur tinggal. Kunaiki angkot biru yang terparkir didekat terminal, suasana didalam angkot tidak enak begitu pula dengan firasatku.
“ Kenapa hanya aku penumpangnya” batinku.
Angkot ini berhenti didaerah rumah rumah kecil yang berkesan sebagai kos kosan , aku turun begitu pula sang sopir angkot.
“ Berapa pak?” tanyaku.
“ 400 ribu mas “ jawab nya datar.
Aku ternganga perjalanan terminal ke Paron tidak ada 2 kilometer tapi kenapa mahal.
“ Kan deket pak ” ucapku.
“ Heh mas masih mending saya antar dari pada kena begal tengah malem kek gini “ ucap bapak itu seraya menodongkan clurit kecil ke depan mukaku.
Aku hanya terdiam dan merogoh saku celanku dan mengeluarkan 4 lembar uang seratusan, bapak itu tertawa menang.
Aku pun berjalan menuju kos kosan nomor 43, kudapati bang Guntur duduk diteras.
“ Hei Aran ini kuncinya kamu bisa ngekos disampingku uangnya bisa kamu urus besok tenang ini murah! ” ucap bang Guntur.
Aku tersenyum seraya memasuki kos kosan pilihan bang Guntur memang kecil tapi nyaman tuk ditinggali, kujalani hari hari di Surabaya dengan teman kampus dan bang Guntur yang selalu mau melatihku, perlahan kubelajar aneka ragam ilmu dikota ini banyak yang bisa kupetik atas semua kejadian yang kualami.
Aku mulai memasuki semester 2 di kuliahku, dimasa ini aku benar benar tidakbisa bertindak, uang makanku mulai menipis, uang kos kosan belum ku bayar selama 2 bulan terakhir, uang celengan dan uang dari Amak sudah habis tak tersisa yang ku andalkan hanyalah uang dari kiriman artikel yang tidak pasti hasilnya sedangkan uang kerja di rumah padang hanya cukup untuk makan ku sehari hari.
Aku ingin menghubungi Amak, tapi terasa tidak mungkin aku tau Amak juga lebih membutuhkan aku juga tak ingin terlilit hutang dengan siapapun aku berusaha menahan makan dan lebih keras bekerja walaupun biaya kuliah tidak ku tanggung tapi uang sewa kos kosan dan uang buku harus kubayar.
“ Aran! ” panggil bang Guntur.
Ia menghampiriku dan menyodorkan paket amplop “ini dari pak pos tadi kamu masih kuliah makanya pak pos menitipkannnya padaku” ucap bang Guntur, segera ku baca surat pertama dari Amak.
Aran….
Selesaikan apa yang sudah kamu mulai jangan pulang sebelum kau membawa topi toga kedua mu Salam sayang Amak
|
Surat dari Amak kulipat kembali, firasatku tidak enak setelah membaca surat dari Amak kulihat beberapa lembar uang terselip di dalam amplop putih itu, Aku sejenak merenung berpikir apakah ini pertanda aku harus pulang? tapi Amak akan sangat marah jika aku pulang dan belum membawa topi toga.
Keputusanku tadi malam sudah bulat untuk tidak pulang dan tetap bertahan 1 tahun lagi semenjak itu Amak tidak pernah mengirim surat maupun uang padaku, bahkan suratku tidak pernah terbalaskan.
Waktu yang kutunggu sudah sampai ku berhasil menyelesaikan 2 tahun disurabaya dan meraih gelar s2 disana , Aku segera merapikan barang barangku yang ada di kos seraya pergi ke terminal dan menaiki bus untuk menuju ke kota kelahiranku.
Sekitar 6 jam perjalanan aku sampai di Ponorogo tempat dimana aku dibesarkan dan di didik, segera kutumpangi ojek dan menuju rumah kontrakan kuketuk pintu kayu utama kontrakan Amak.
“ Assalamualaikum “ ucapku.
Tak lama Lia datang dan membuka pintu , ia langsung memelukku erat.
“ Amak mana?” tanyaku.
Tak ada jawaban Lia malah menangis di dekapanku ku bertanya berkali kali tapi Lia tak kunjung menjawab dimana keberadaan Amak sekarang aku melepaskan pelukan Lia.
Aku langsung menyeleweng masuk ke dalam, ku memanggil Amak berkali kali tapi tetap tak ada yang menjawab biasanya Amak yang akan menyambut pertama kehadiranku tapi sekarang dimana? hatiku mulai resah, kubuka kamarnya tapi tak ada Amak didalam aku menuju kebun samping rumah biasanya Amak akan menghabiskan waktu kosongnya untuk menanam tanaman dan akan menjualnya ke pasar tapi kenapa tak ada Amak disana bahkan kebun yang semulanya elok dipandang sekarang tak lagi ada kehidupan.
Ku berteriak mamanggilnya.
“ Amakkk…… “
Hanya ada sahutan gema suaraku aku sudah berkeliling di sepanjang kontrakan tapi tak ada jejak Amak aku menoleh seraya memandangi wajah Lia yang sedang menangis, ku lihat matanya yang sembab ku pegang kedua bahunya kugoncang goncangkan tubuhnya.
“ Amak mana lia…….Amak mana kasih tau Abang sekarang ” ucapku.
Lia tak menjawab ia justru menangis lebih keras dalam dekapanku.
“ liaaaa….. jawab!!! ” bentakku.
“ Amak udah gak ada bang Amak udah pergi setahun lalu abang kenapa gk pulang waktu itu Amak kangen sama Abang “ ucap lia.
Aku merasakan tubuhku bergetar sekencang mungkin, napasku terhenti sejenak, tatapanku kosong, entah ini penyesalan atau karma, tapi Amak adalah sosok yg menjadi satu satunya semangatku kini ia pergi, pergi selamanya, meninggalkan bekal nasehat untukku dan Lia.