Sekolam kesabaran
(Oleh; Khoridatul Hikmah, peserta Kelas 90 Hari Menulis Buku Dr. Faqih Syarif)
Aku baru saja pulang dengan menenteng dua ikat kangkung yang nantinya akan dimasak dengan bumbu kecap oleh Ibu.
Aku menghampiri pintu belakang, ku perhatikan Bapak yang jongkok dan sibuk menatapi kolam kecil buatannya yang baru rampung. Sebetulnya, memang dulunya sudah ada kolam berbentuk persegi panjang kecil itu, tinggal menambal beberapa bagian yang retak dan membersihkan dalamnya.
“Bapak ngapain?” tanyaku yang ikut jongkok di sampingnya.
Bapak menoleh, “Meletakkan telur lele,” jawabnya pendek lalu kembali fokus pada telur-telurnya.
“Ooh” aku mengangguk-angguk sok tahu, “Buat apa, untuk pelihara ikan lele?” akhirnya aku bertanya lagi.
“Untuk beternak ikan lele, biar bisa dijual” Bapak menerangkan.
“Lho, bukannya kolam lele harusnya yang lebar dan besar ya, Pak? Macam buatan orang kampung sebelah itu, yang tiap hari katanya sampai bosan makan lele gara-gara sering panen” protes ku.
“Ah, kamu mana tahu tentang ternak lele, tidak semudah itu. Nanti kalau lele nya sudah besar-besar Bapak mau buat kolam lagi. Dan bapak akan beli bibitnya lagi supaya makin banyak” Bantah Bapak dengan intonasi datar.
Aku mengangkat bahu, aku tidak tertarik membahas lebih panjang lagi.
“Sudah, sana kerjakan tugas-tugasnya mumpung hari minggu…Bilang sama adikmu jangan mengotak-atik kolam ini apalagi sampai diobok-obok, bisa-bisa telurnya gagal menetas”
Aku bangkit dan berjalan ke kamar tanpa diperintah sekali lagi. Tapi sebelum ke kamar aku menengok bilik Edi, adikku. Dan rupanya ia masih terlelap jadi kuputuskan nanti saja bilangnya.
Aku bersila di lantai dan membongkar buku-buku tulis di tasku, sebenarnya aku belum mau mengerjakan semua tugas-tugas itu sekarang. Aku diam beberapa menit.
Kulihat sekilas dari celah pintu Bapak lewat dengan langkah cepat, ia memanggil-manggil ibu di dapur.
“Bu, anaknya main-main di kolam…Tolong diatasi dulu!” suaranya lantang memenuhi seisi rumah.
Wah, cepat sekali anak itu terbangun dan langsung mengobok-obok kolam lele bapak. Padahal baru dua menit yang lalu kulihat ia terlelap. Dasar, memang jika ketemu air selalu hasrat bermain muncul.
“Bapak semangat sekali dengan lele-lelenya, “komentar ku.
Ngomong-ngomong, tiga bulan ini Bapak tidak kerja dari rumah seperti aku yang sekolah dari rumah. Sebab Bapak memang tak kerja lagi di pabrik kacang kulit, tapi walau begitu ia harus cari uang.
Bulan-bulan lalu Bapak mencoba bikin kripik pisang, tapi tidak laku. Bikin tanaman hidorponik tapi tidak berlanjut, nah, yang ini aku tidak tahu apa pasalnya. Dan percobaan ternak lele ini adalah usaha yang kesekian kalinya.
Pagi ini adalah awal dari pagi-pagi selanjutnya bagi Bapak yang terus-menerus menunggu lele nya menetas dan tumbuh besar.
Dan itu sukses. Hari ini aku bisa melihat lele-lele gendut menggeliat di kolam, mereka merasa sesak, kurasa.
“Mau diapakan setelah ini, Pak?”
“Mau dijual sepertinya, tapi kusisakan untuk makan sendiri juga” jawab Bapak sambil matanya terus-terusan terpaku pada lele-lele yang badannya meliuk-liuk itu.
Aku tentu senang jika ada yang dimasak buat di rumah, dan senang pula jika nantinya laku.
“Besok ikut Bapak jual lele-lele ini ke rumah makan di kecamatan sebelah. Bapak sebelumnya sudah bicara ini ke mereka, bagaimana?” bapak menawarkan hal yang membuatku melompat-lompat kegirangan.
Tentu saja aku mau, mau sekali!
Malam ini adalah malam minggu, aku tidur agak larut gara-gara berkhayal besok pagi akan berboncengan sepeda motor dengan bapak dengan bergakantung- kantung kresek lele segar, asyik sekali!
“Aduh, pengen pipis..”gumamku.
Rasa ingin kencing yang dari tadi kutahan-tahan akhirnya sampai di puncak. Aku takut ngompol di lantai, jadi buru-buru aku lari ke pintu belakang menuju kamar mandi yang bersandingan dengan kolam lele.
Namun samar-samar ketika kudekati pintu belakang, terdengar suara berisik-berisik dan bisik-bisik. Maka kuintip dari salah satu lubang kecil di pintu, dua orang pemuda berbaju oren dan hitam dengan entengnya memunguti lele-lele bapakku dan memasukkannya ke dalam karung.
Mungkin orang yang mengambil pesanan lele? Batinku.
Aku berusaha membangunkan Bapak dan ibu di kamarnya tapi mereka berdua susah sekali bangun.
Aku ingin melapor pada pagi harinya, namun ketika kutemui Bapak memang sudah jongkok menatapi kolam nya yang kosong. Ia hanya diam, menghela nafas panjang-panjang dan beristighfar.
Aku tak berani mengajak bicara dan berniat kembali ke kamar, tapi bapak mencegah dan memanggilku mendekat.
“Adit mau makan lele, ya? Ayo, Bapak antar beli pecel lele di jalan raya depan situ, ada banyak warung pecel disana”
Aku bingung sekaligus tak tahu kenapa Bapak tiba-tiba menawarkan pecel lele, aku tidak meminta makan lele, kemarin aku cuma senang jika ada beberapa lele yang disisakan untuk dimasak ibu.
Tapi pada nyatanya Bapak berhasil membawaku berjalan ke jalan raya depan memilih-milih warung dengan menu lele dan sambalnya. Aku menurut saja.
Bapak berhenti di depan sebuah warung yang kurasa baru berdiri hari ini. Tapi menunya adalah lele krispi dengan sambal terasi. Bapak mengajakku masuk kedalam.
Disana, Bapak memesan sepiring porsi lele krispi dengan nasi, untuk kami berdua.
“Tolong air putihnya dua gelas, ya!” pinta Bapak kepada si penjaga warung yang dengan sigap menyajikannya.
“Ini,”katanya.
Aku terbelalak saat tahu dua orang penjaga warung itulah yang kulihat tadi malam, yang memungut lele-lele Bapak.
“Pak…”aku berbisik.
Tapi bapak mengacuhkan sebab mengobrol dengan si penjaga,
“Lele nya enak, masih segar, ya?” tanya Bapak.
“Iya, Pak. Baru panen kemarin malam dan langsung diolah hari ini” si pemuda berbaju oren dengan sumringah.
Aku menekuk muka, menarik-narik lengan Bapak, “Pak..” bisikku lagi lebih keras.
“Beli lele nya pasti di peternakan yang bagus ini,” komentar bapak, membuatku semakin jengkel.
“Iya, beli di kenalan saya. Lele-lelenya memang kualitas jempolan” jawab si baju oren.
Bapak mengangguk-angguk sebagai tanda pujian. Sedangkan aku jelas-jelas tahu kalau si penjaga warung cuma bohong, sudah tahu itu lele punya Bapak yang dicuri.
Setelah obrolan mereka pudar, aku mulai bicara lagi, “Bapak..itu orang-orangnya…”
Ucapan ku terputus, Bapak mengelus-elus pundak ku, menenangkan aku dan meminta supaya tidak bicara lagi.
Bapak mengunyah gumpalam-gumpalan nasi dan bilang “Bapak tahu, bapak tahu semuanya. Kita sama-sama butuh, bapak ikhlas. Sudah, ayo makan lagi”