Bangga Indonesia, Trawas Mojokerto – Ngaji Jurnalistik yang digelar pendekar jurnalis Bangga Indonesia menuai hasil positif. Dua peserta berhasil menjadi yang terbaik menulis berita yang hanya butuh sinau (belajar) tiga jam. Pas!
Event yang digelar di Pondok Mandiri Pesantren Jurnalistik dan Entrepreneur Ummul Quro, Seloliman Trawas, Mojokerto, berlangsung khidmad selama dua hari, Sabtu-Ahad (23-24/01/2021)
Hanya tiga jam belajar memahami dunia jurnalistik dan menulis yang benar, semua peserta langsung bisa menulis berita. Tidak perlu buang waktu dan banyak teori. Cukup dijelaskan dan langsung praktik.
Dari tujuh peserta yang hadir, semua memiliki keinginan dan kemauan besar. Walaupun sebagian ada yang sama sekali belum bisa menulis. Alias nol pothol. Tapi semangatnya warbiasa.
Dua diantaranya bahkan mampu menulis berita layak muat. Bak seorang wartawan beneran, kendati baru kali ini mengenal unsur 5W+1H.
Kedua peserta itupun akhirnya berhasil menjadi penulis berita terbaik. Keduanya keluar sebagai pemenang dalam penulisan straight news.
Dialah Adam Syailindra dan Sandi Darma Imaddudi. Sama- sama berusia era milenial. Hanya Sandi berusia lebih muda. Baru lulus dari Universitas Airlangga Surabaya.
Adam mengaku tidak sulit membuat berita setelah tahu metodologinya. Ia membuat judul terlebih dahulu, sebelum menulis berita. Ini sesuai ajaran pemateri.
“Saya mengikuti permintaan Cak Amu (pemateri penulis jurnalistik, Red.). Tulis judul dulu sebelum membuat berita,” aku pecinta alam ini.
Ia pun membuat judul: Bangga Indonesia Gelar Ngaji Jurnalistik Lintas Generasi.
Lintas generasi? Ya. Karena pematerinya adalah wartawan Lawas Jawa Pos, Cak Amu alias Abdul Muis, yang usianya sudah menginjak hampir kepala enam.
Juga ada penulis buku dan artikel, DR N Faqiq Syarief MSi, yang berusia lebih muda dari Cak Amu. Serta Salman Alfarisi, jebolan Jawa Pos yang usianya lebih muda. Milenial banget.
Selain itu, pesertanya juga dari beragam usia dan latar belakang pendidikan. “Ada yang hafidz Qur’an, Guru SD, pengusaha, pemuda dan mahasiswa. Lintas generasi di Ngaji Jurnalistik ini menarik untuk saya tulis,” kilahnya.
Ia mengaku nekad saja, kayak jiwanya suporter Bonek, ketika ingin mengikuti Ngaji Jurnalistik. Ia juga tak menyangka bisa menulis secepat itu, walau tidak memiliki background sebagai penulis. Apalagi wartawan.
“Mungkin karena pematerinya para kiyai… Hehehe. Ada Ustadz Faqih. Ada Kiyai Jurnalis Cak Amu dan Mas Salman,” puji Adam sembari tersenyum.
Anak sulung, yang punya nama Awaludin Syailindra ini adalah Arek Suroboyo Asli. Ia dilahirkan dari empat bersaudara. Sejak kecil biasa dipanggil Sadam atau Adam.
Ia lahir tahun 1990 dan dididik seorang ayah dan ibu yang berprofesi guru. Ayahnya mengajar ilmu sejarah di SMAN 13 Surabaya.
“Ibu saya guru taman kanak-kanak,” aku alumnus SMAN 13 Surabaya yang hobi olahraga, outbound, ngaji, entrepreneur dan pecinta alam ini.
Adam yang mbonek sejak SMA ini, pernah menjadi finalis beasiswa Sampoerna Foundation di kampus Universitas Indonesia di Depok, Jakarta.
Pada tahun 2008, ia menimba ilmu di Universitas Surabaya (UNESA). Sejak semester awal aktif dalam kegiatan kampus, seperti BEM Fakultas Ilmu Olahraga, UKKI, Mahasiswa Entrepreneur.
Selain aktif di kampus, juga rajin di kegiatan kampung. Seperti mengajar ngaji di musholla dan masjid, karang taruna serta mengembangkan usaha donat roti kue.
Hobinya traveling, jelajah alam, renang dan main bareng teman. Hobi ini masih digelutinya hingga kini.
Adam mengaku masih aktif sebagai koordinator Forum Aspirasi Rakyat. Founder Majelis Seruan MUDA. Kegiatan Sosio-Preneur. Ngaji bersama mahasiswa dan pemuda.
“Saya bersama istri membuat forum Pra-Nikah,” aku Adam yang selalu tersenyum bila diajak bicara ini.
ANAK DOSEN
Lain Adam, lain pula dengan Sandi Darma Imaddudi. Pria bertubuh subur ini bukan peserta asing di dunia jurnalistik.
Anak dosen psikologi Universitas Airlangga Surabaya itu alumnus Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga Surabaya.
“Saya baru lulus hehe,” Sandi terkekeh ketika ditanya soal kuliahnya setahun (2020).
Pada 2015, Sandi pernah mengikuti
Workshop Jurnalistik Kompas. Juga di tahun berikutnya, dia terjun di
Pelatihan Fotografi Jurnalistik dan
Youth Abord Festival 2017. Tahun lalu juga menghadiri Workshop Intermediate Computer Operator.
Saat ditanya butuh waktu berapa untuk menulis berita itu, sulung yang 15 Januari lalu merayakan ultahnya ke-25 ini, mengaku butuh waktu satu jam.
“Saya membuat berita dulu sebelum bikin judul. Saya baru lega dan bisa tidur jam satu dinihari he he,” ungkap pemghobi traveling dan koleksi hewan reptil ini.
Lebih sulit mana buat berita atau judul? Arek Manukan Surabaya ini mengaku membuat judul itu lebih sulit.
“Sampai tiga kali saya membuat judul. Tapi judul itu yang saya anggap menarik. Kenapa? Ya, memang pematerinya pakar di bidangnya,” puji Sandi.
Adalah judul “Tiga Pemateri di Ngaji Jurnalistik Luar Biasa” yang membuat Sandi jadi yang terbaik kedua.
Mengapa Sandi jadi pemenang kedua? Cak Amu menilai masih banyak tata bahasa yang perlu diedit. Tapi data dan penguasaan materinya sudah bagus. Termasuk detil mereportase acara dan personal yang layak dituangkan dalam karyanya.
Apa bedanya dengan Adam, sang juara itu? Ada di penulisan. “Adam tulisannya enak dibaca, mudah dimengerti dan runut. Ini sesuai metodologi yang sudah diajarkan,” jelas Cak Amu.
Malah gaya penulisan Adam bukan lagi seperti pemula. “Gaya penulisannya sudah seperti wartawan profesional. Bahkan berkelas redaktur,” puji Cak Amu di hadapan peserta di sesi bedah Berita.
Dari dua karya “santri” Ngaji Jurnalistik ini ada hikmah yang bisa dipetik. Yakni bakat menulis dan kemauan belajarnya. Inilah unsur penting untuk menjadi wartawan profesional.
Sandi sendiri menyadari akan hal itu. Dia sudah lulus Ilmu Komunikasi dan pernah mengikuti pelatihan dan workshop, toh, juga belum mengatrolnya menjadi jurnalis.
Saat ini, Sandi aktif sebagai job seeker, sembari melakukan beberapa kegiatan seperti mengasah skill motret dan mengembangbiakkan gecko dan menjual sebagai hewan peliharaan.
Mengapa? Sejak SMA, Sandi sudah melakukan dan menikmati hasilnya. “Di rumah saya mendokumentasikan kegiatan di kampung saya, karena mengikuti Surabaya Smart City (SSC 2020),” jelas Sandi bangga.
Yang penting, menurut alumnus SMP dan SMA Khadijah Surabaya ini, kini sudah bisa memulai hidup sehat dengan melakukan olahraga kecil seperti lari dan plank.
Apa tidak ingin jadi jurnalis? Anak pegawai Kebun Binatang Surabaya ini hanya terkekeh sembari menyebut, “Insya Allah,”
PELUANG TERBUKA
Ketua panitia Ngaji Jurnalistik, Dr Nasrul Faqih Syarief MSi bersyukur acara yang berlangsung dua hari itu menghasilkan peserta yang serius dan menuai hasil maksimal. Karena itu, dia mengapresiasi mereka dengan memberikan kesempatan memuat karya mereka di Bangga Indonesia.
Selain itu, Faqih juga memberi kesempatan dua penulis berita terbaik untuk bergabung menjadi wartawan magang. “Siapa tahu mereka bisa menjadi wartawan seperti Mbahnya Jurnalistik, Cak Amu hehe,” ujarnya.
Untuk mengapresiasi sukses Adam dan Sandi, Ustadz yang anak sulungnya menimba ilmu di Kairo Mesir ini, memberikan dua buku karyanya. ” Semoga buku Buatlah Tanda di Alam Semesta ini menjadi inspirasi buat Adam dan Sandi,” jelas Ustad Faqih di acara penutupan.
Faqih berharap di event kedua berikutnya akan bertambah manfaat dan jumlah pesertanya. Yang penting di event perdana ini, Ngaji Jurnalistik bisa gol pelaksanaannya, walau musim pandemi.
Ia mengakui jumlah pesertanya dibatasi terlebih dahulu agar bisa menjaga protokol kesehatan. Selain itu, efek ngajinya agar lebih fokus dan mengena.
Ustad Faqih, yang juga Direktur Bisnis Bangga Indonesia dan Direktur Pesantren Jurnalistik, menyebut peserta sebelumnya berkisar 15 orang. Namun sebagian ada yang membatalkan itu karena takut kena razia yustisi protokol kesehatan di daerahnya.
Sehingga target peserta yang memang terbatas itu berjumlah tidak lebih dari sepuluh “santri”. Namun dengan jumlah peserta yang ada, ngajinya para santri lebih serius dan fokus.
“Kiyainya juga enak menyampaikan materi tauziahnya,” ujar jebolan Pasca Sarjana UINSA Sunan Ampel Surabaya ini.
Dan, itu terbukti. Tujuh peserta yang tersisa di Ngaji Jurnalistik itu mampu menyerap materi yang disampaikan “Mbahnya Jurnalistik” Abdul Muis, yang akrab disapa Cak Amu oleh kalangan wartawan Jawa Pos, tempat almamaternya.
“Cak Amu ini, Mbahnya Jurnalistik. Selain pengalamannya di Jawa Pos sudah 30 tahun malang melintang, mulai dari Bumi Nusantara sampai Jepang, Korea, Arab dan Amerika, Cak Amu juga Mbaknya dari dua cucu dan seorang calon cucu yang masih di kandungan menantunya. Ha ha. Masya Allah,” ujar Ustadz Faqih saat memperkenalkan Cak Amu sebagai pengisi materi di sesi pertama.
Ya. Ustadz Faqih tidak ngecap. Cak Amu sempat cerita kepada peserta bahwa dirinya untuk menjadi wartawan hebat di Jawa Pos, harus mengikuti program Bengkel Wartawan yang diasuh langsung suhunya, Dahlan Iskan.
Tiga bulan penuh kami tadarusan setiap pagi seusai salat subuh. Siapa yang terlambat dilarang masuk ruang belajar,” cerita Cak Amu.
Artinya, Dahlan menerapkan keseriusan belajar dan disiplin waktu. Siapa yang terlambat, maka selamanya tidak boleh ikut.
Maka sejak itulah calon wartawan Jawa Pos dicoret alias tidak diterima. Maklum, pesertanya memang calon wartawan. Dan, itu cara Dahlan merekrut wartawan.
“Kami tidak ingin kalian jadi wartawan biasa. Saya ingin kalian jadi wartawan Jawa Pos,” tegas Dahlan yang pernah Cak Amu ingat.
Motivasi itulah yang diusung Cak Amu di Ngaji Jurnalistik Bangga Indonesia. Dan, terbukti, salah satu murid terbaik Dahlan Iskan itu mampu mencetak calon wartawan yang hanya butuh waktu sekali pelatihan. Cuma tiga jam.
“Rekor Pak Dahlan sudah dipecahkan Cak Amu di Trawas. Kalau beliau mendidik Cak Amu tiga bulan, maka Cak Amu hanya butuh tiga jam. Peserta Ngaji Jurnalistik bisa menulis berita. Dan, juara,” tegas Ustad Faqih saat mengajak peserta rileksasi menikmati alam pegunungan di sekitar Pesantren Jurnalistik Ummul Quro, Seloliman Trawas Mojokerto. (aba)