Bangga Indonesia, Yogyakarta – Pandemi COVID-19 tidak membuat desainer busana batik asal Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Iffah Maria Dewi berhenti berkarya.
Meski penjualan sempat terjun bebas, puluhan desain busana batik tetap tercipta di kala pageblug tengah melanda Tanah Air. Puluhan desain itu dikelompokkan menjadi empat tema koleksi yang salah satunya diberi judul “ayem ayom”.
“Ayem ayom” dimaksudkan sebagai pengingat, khususnya bagi kaum perempuan untuk senantiasa menjadi “ayu, ayom, ayem, dan tentrem” (ayu, mengayomi, tenang, dan tenteram) menghadapi kemelut apa pun dalam kehidupan duniawi, khususnya menghadapi pandemi ini.
Bagi Iffah, desain busana batik tak sekadar urusan keindahan. Lebih dari itu, desain harus mampu memotivasi para penggunanya saat menghadapi situasi krisis seperti saat ini.
Penciptaan desain-desain baru adalah salah satu cara yang ditempuh pendiri Sogan Batik Rejodani ini untuk menggaet selera masyarakat.
Untuk bisa bertahan di tengah pandemi, diakui Iffah, inovasi dan kreativitas tak bisa dinomorduakan. Keduanya menjelma menjadi rukun utama untuk menjaga kualitas seiring upaya efisiensi bahan pembuatan batik.
Menurut perempuan yang namanya sempat melejit lewat karyanya Jaziratul Muluk di Jogja Fashion Week 2016 ini, upaya efisiensi dengan mengurangi pembelian bahan baku mau tidak mau harus dilakukan. Tujuannya, untuk menekan harga jual busana batik di pasaran agar tetap terjangkau masyarakat yang daya belinya merosot.
Dengan cara itu, ia berharap tetap mampu menghadirkan batik dengan material katun berkualitas dengan desain yang nyaman. Nyaman untuk digunakan sebagai baju harian di rumah, namun tetap cantik dikenakan untuk bepergian.
Memasuki awal pandemi, ia sempat terbersit upaya untuk meninggalkan usaha busana batik yang kala itu dianggap tidak prospektif lagi. Pasalnya, selama tiga bulan berturut-turut penjualan busananya anjlok sampai 50 persen, meski memasuki 2021, permintaan mulai menggeliat kembali.
Kala itu Sogan Batik Rejodani bahkan sempat mengalihkan konsentrasi sejenak pada pembuatan 1.000 masker untuk dibagi secara cuma-cuma bagi masyarakat. Aksi amal itu kemudian berbuah keberuntungan karena ia kemudian memperoleh pesanan sekitar 2.000 masker.
Meski mendapat pesanan ribuan masker, hal itu tidak bertahan lama. Iffah dan karyawannya kemudian kembali lagi berfokus merancang beragam aneka busana batik dengan mengikuti selera masyarakat yang lebih banyak tinggal di rumah seiring dengan maraknya penerapan work from home (WFH) di berbagai instansi pemerintahan maupun swasta.
Pernak-pernik pelengkap bahan baku pun dikurangi dan menjadi lebih sederhana. Busana batik sogan yang memiliki desain semi formal kemudian lebih diarahkan agar nyaman dipakai di rumah sekaligus di luar rumah.
Penjualan daring
Seluruh pelaku usaha bidang fesyen, tidak terkecuali Sogan Batik Rejodani barangkali telah menyadari bahwa promosi secara langsung di luar jaringan (off line) tidak lagi memungkinkan ditempuh di masa pandemi.
Seiring penerapan jaga jarak fisik, pameran fesyen secara langsung pun tidak memungkinkan digelar. Solusinya, pelaku usaha harus membawa seluruh konsep promosi ke dunia maya. Media sosial menjadi pilihan yang dapat dimanfaatkan secara gratis maupun berbayar.
Iffah mengaku tidak kaget dengan perubahan konsep itu. Pasalnya, jauh sebelum pandemi, 90 persen penjualan dan promosi telah dilakukan secara daring, khususnya menggunakan media sosial Instagram.
Penggunaan media sosial, baginya, tidak jauh berbeda dengan membeli toko secara riil. Hanya saja untuk membangun toko daring biayanya lebih banyak dialihkan untuk ongkos sumber daya manusia (SDM) sebagai operator yang memiliki keahlian di bidang teknologi informasi.
Lebih dari toko biasa, toko daring justru mampu menjangkau pelanggan secara lebih luas tak sebatas lokal atau dalam negeri saja. Selain itu, berbagai ragam desain yang ditawarkan juga dapat dilihat secara keseluruhan secara mendetail sehingga lebih mampu menyentuh minat calon pembeli.
Eksis di tengah pandemi
Upaya yang ditempuh Iffah untuk mempertahankan usaha busana batiknya didukung sepenuhnya oleh Kepala Balai Besar Kerajinan dan Batik Titik Purwati Widowati.
Menurut Titik, sebagian besar perajin batik di Tanah Air tetap bertahan karena dunia batik berkaitan dengan passion atau kesukaan.
Balai Besar Kerajinan dan Batik yang berkantor di Yogyakarta selama ini terus mendorong perajin batik di seluruh penjuru Nusantara tetap eksis di tengah pandemi dengan mengoptimalkan berbagai teknologi yang telah disediakan tanpa bergantung dengan bahan baku impor.
Sementara itu, agar tetap terserap pasar, Titik juga menyarankan para pengusaha atau perajin busana batik lebih mengedepankan desain dengan tema yang sederhana sehingga lebih mudah diterima dan bisa ditekan harganya.
Ia meminta para perajin busana batik melakukan diversifikasi produk. Tidak melulu pada produk busana, tetapi bisa merambah pada masker, sajadah, atau taplak meja.
Bisnis fesyen batik cenderung tidak tergoyahkan oleh pandemi karena produk tekstil impor saat ini masih dihambat masuk sehingga masyarakat cenderung lebih suka menggunakan produk dalam negeri. Buktinya, capaian ekspor batik pada periode Januari-Juli 2020 justru mencapai 21,54 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau meningkat dibanding pada semester I 2019 senilai 17,99 juta dolar AS.(ant)