*Tes PCR Mahal untuk Kepentingan Siapa?*
Oleh Lilis Sulistyowati, S.E
Pemerhati Sosial dan Ekonomi
Baru saja angka positiv Covid 19 menurun, sudah ada kebijakan baru yang memperbolehkan maskapai untuk mengisi 100 persen penumpang dengan syarat wajib PCR.
Juru bicara Kementrian Perhubungan ( Kemenhub ) Adira Irawati menyampaikan, ” Betul ( pesawat boleh mengangkut penumpang dengan kapasitas 100 persen ), ” kata Adita ketika dikonfirmasi Kompas.com, kamis (21/10/2021). (tribunnews.com)
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani menyatakan salah satu kebijakannya itu adalah kewajiban bagi para penumpang roda transportasi udara untuk melakukan tes PCR yang menetapkan harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp 459.000,- untuk 1×24 jam. Nah jika ingin lebih cepat lagi harus mengocek saku lebih dalam lagi.
Kemudian beliau mengingatkan agar kebijakan tersebut jangan sampai diskriminatif. “mengapa ada perbedaan antara roda transportasi apapun baik udara, darat dan laut semuanya memungkinkan untuk memicu terjadi kerumunan dan tumpukan masa.” Ucapnya dalam forum diskusi insight yang ke #92 PKAD 25/10/2021.
Lalu sebenarnya PCR mahal untuk siapa?
*Adakah Motif Bisnis?*
Netty menyatakan bahwa, “Perlu ditekankan juga tidak semua kota di Indonesia memiliki laboratorium lengkap yang bisa menentukan hasil dari PCR. Harga yang mahal ini pun menjadi salah satu dugaan kuat apakan ada motif dibalik ini semu,”sesalnya.
“Sehingga pemerintah harus membuktikan bahwa tidak ada motif bisnis dan penumpang gelap yang berada di pesawat PCR ini, ” imbuhnya. (lensamedia.com)
Memang terasa aneh ketika ada kewajiban PCR hanya pada maskapai penerbangan, tidak pada semua angkutan umum. Jika alasan untuk kesehatan seharusnya tidak hanya penerbangan saja akan tetapi semua transportasi umum.
Hal ini menjadi sebuah pertanyaan mengapa hanya penerbangan saja? Dan harga PCR sangat mahal, sehingga ketika ada kebutuhan untuk bepergian membutuhkan uang yang lebih banyak karena harus test PCR.
Sebenarnya bukankah sudah cukup ketika sudah melakukan vaksinasi sebelum pemberangkatan? Hal ini menimbulkan banyak pertanyaan dikalangan masyarakat.
Masyarakat menyangsikan kebijakan PCR ini sebenarnya bukan karena alasan kesehatan, akan tetapi ada motiv lain yakni bisnis, sehingga terdapat perbedaan tarif untuk PCR terutama pada transportasi udara.
*Kapitalisasi Kesehatan*
Masyarakat banyak yang enggan dan jenuh dengan kebijakan yang banyak tidak memihak kepada rakyat menengah kebawah. Seperti kasus artis yang lolos tanpa tes, padahal baru dari luar negeri. Atau ada kasus orang dari luar negeri bebas masuk ke Indonesia dan ternyata membawa varian virus baru.
Kapitalisasi kesehatan lebih tepatnya kondiai saat ini. Tidak ada sesuatu pun yang tidak diambil manfaatnya saat ini. Termasuk kesehatan, kesehatan diperjual belikan dengan harga yang sangat mahal. Tak ada yang gratis dalam Kapitalis karena semua diukur untung dan rugi. Hanya orang-orang menengah keatas yang dapat menikmati dengan mudah fasilitasi kesehatan. Hal ini bisa terjadi karena mereka memiliki daya beli yang tinggi.
Hal ini memunculkan ketidakadilan, rakyat menengah ke atas bisa bertahan hidup sedangkan rakyat menengah kebawah sulit bertahan hidup dan sulit mendapatkan fasilitas kesehatan dengan baik.
*Mewujudkan Keadilan*
Islam telah memberikan contoh terbaik dalam penanganan wabah. Seperti kebijakan karantina wilayah yang ditetapkan agar virus tidak menyebar kemana – mana. Tidak hanya karantina akan tetapi memenuhi semua kebutuhan rakyat selama masa karantina.
Pemberian vaksin dan alat kesehatan serta pelayanan tidak dibedakan antara si kaya dan si miskin. Akan tetapi semua daya dan upaya dikerahkan agar wabah penyakit ini segera usai.
Negara memberikan pelayanan terbaik tanpa mempertimbangkan untung rugi. Berfikir memenuhi segala kebutuhan rakyat guna mempercepat penanganan wabah agar segera selesai.
Pemimpin berfikir memberikan yang terbaik, karena semua ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Menjadi prioritas utama untuk menyelamatkan nyawa rakyat. Tidak ada motif bisnis sedikit pun dalam penanganan wabah. [Wallahu’alam bi sowab]