“Dinasti Politik”
K. Sasono
(Silaturahmi Pekerja Buruh Rindu Surga – SPBRS)
Kita sekarang kadang tak asing mendengar istilah dinasti politik. Karena demokrasi yang saat ini diterapkan diberbagai negeri melahirkan persekongkolan apa itu yang disebut dinasti politik.
Dinasti politik adalah kekuasaan secara turun-temurun yang dilakukan oleh kelompok atau keluarga yang masih ada keterikatan hubungan darah tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan.
Dan saat ini bisa dikatakan Presiden Jokowi sedang ingin membangun dinasti politiknya. Sebab, Presiden memiliki semua sumber daya untuk bisa memenangkan dinastinya mulai dari kekuasaan, jaringan, birokrasi, hukum, finansial, dan lain-lain.
Seperti yang terlansir diberbagai media. Empat orang yakni, putra sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka yang akan mencalonkan diri di Pemilihan Wali Kota Solo 2020; dan menantu Jokowi Bobby Afif Nasution juga akan mencalonkan menjadi Wali Kota Medan pada Pilkada 2020.
Lalu, ada pula adik ipar Jokowi, Wahyu Purwanto yang sempat disebut akan mencalonkan diri menjadi Bupati Gunungkidul; serta ada paman dari menantu Jokowi, yakni Doli Sinomba Siregar yang akan mencalonkan diri sebagai Bupati Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. (Kompas.Com)
Riwayat Politik Dinasti
adalah sebuah kultur politik yang mendarah daging dari warisan zaman kerajaan. Ini bukan lagi fenomena tapi sudah menjadi tradisi yang turun-temurun dan mengakar.
Beberapa hal yang mendorong munculnya dinasti politik salah satunya hasrat berkuasa dalam diri keluarga. Lalu dengan adanya kelompok yang terorganisir dengan deal-deal politik. Ada faktor pula kolaborasi antara penguasa dan pengusaha untuk menyatukan kekuatan modal dengan kekuatan politik.
Dari catatan luar negri pengemban utama negara kapitalis dengan demokrasinya Amerika Serikat juga tak luput dari kubangan politik dinasti. Amerika Serikat memiliki banyak sekali dinasti politik. Peter Schweizer menyebut keluarga Bush sebagai “dinasti politik tersukses sepanjang sejarah Amerika Serikat.” Keluarga Bush telah menghasilkan dua Presiden .George H.W. Bush dan George W. Bush, masing-masing presiden ke-41 dan 43.
Ada lagi satu Gubernur Texas (George W. Bush), satu Gubernur Florida (Jeb Bush), satu Direktur CIA (George H.W. Bush), dan satu Senator A.S. dari Connecticut (Prescott Bush). Selain itu, ada pula pejabat penting seperti Perwakilan A.S., bankir, dan industrialis yang berasal dari keluarga Bush.
Demokrasi meniscayakan pemenang adalah suara terbanyak. Entah itu perbandingan satu suara Kyai dengan satu suara koruptor. Kemenangan bisa diraih dengan dana besar selalu bersanding dengan predator kapitalisme yang sukses melahirkan berupa kesenjangan ekonomi, politik dan kebijakan yang menguntungkan kaum kapitalis lokal maupun global.
Dengan sistem hukum yang lemah karena buatan manusia dan pisau tajam kebawah serta tumpul keatas. Atau tajam ke musuh dan tumpul ke kawan sehingga memunculkan berbagai problematika seperti keadilan, korupsi, kriminalitas, kesenjangan ekonomi dan sebagainya.
Dalam demokrasi dinasti politik sah-sah saja menurut para penghambanya. Dalam undang-undang yang mereka buat tak ada larangan dan masing-masing individu punya hak yang sama.
Nostalgia pada sebuah kelompok atau penguasa dengan jargon “Piye kabare, Isih penak zamanku” dari keberhasilan mereka membangun cengkraman dinasti politik. Memunculkan rasa trauma politik luka yang mendalam. Dan rakyatpun bimbang ada yang ingin kembali ke masa itu.
Pilihan akan sudut pandang Islam dengan membenturkan demokrasi jelas sebuah perbedaan yang mendalam. Baik itu perilaku politik, kecerdasan pemilih, program kerja kampanye lima tahunan. Islam datang dengan aqidah yang paling mendasar dan pada akhirnya menjadi dasar untuk kelayakan memilih pemimpin dalam Islam.
Islam bukan negara kerajaan, monarki atau republik. Sistem pemerintahan Islam (khilafah) berbeda dari berbagai segi. Mulai dari asas yang mendasarinya pemikiran, pemahaman, standart dan hukum-hukum yang berlaku didalamnya.
Undang-undang dan konstitusi diambil dari hukum syara. Dilegalisasi, diimplementasiakan dan diterapkan kepada seluruh penduduk Daulah islamiyah tanpa terkecuali. Serta tidak ada kata kompromi tajam kebawah dan tumpul keatas.
Keimanan dan ketaqwaan pada Allah SWT akan menjadi landasan pribadi pemimpin dalam Islam. Pemimpin akan menyadari posisinya sebagai pengurus atau pelayan umatnya. Juga akan bekerja keras dan amanah karena semua sadar akan dipertanggungjawabkan di akherat kelak.
Mengkoreksi kebijakan pemimpin dalam islampun mudah. Ibarat contoh pemimpin itu adalah imam sholat. Ketika dia dalam menjalankan amanahnya sebagai imam sholat, maka ketika imam itu buang udara atau kentut maka batalah imam tersebut. Dan tanpa cekcok panjang imam tersebut harus diganti. Seorang imam shalat pun dengan pemahaman diri akan hukum-hukum yang berlaku dengan sadar akan mundur kebelakang.
Kita kembali kepada kesimpulan “dinasti politik” tak pernah berakhir baik dan memberikan solusi tuntas. Selain menyuburkan praktik nepotisme, itu juga rentan melahirkan problematika baru para kelompok dengan kepentingan abadinya. Yang itu bisa terus berkepanjangan dan bisa menjadi dendam politik.
Pada akhirnya kita kembali menstimulus sikap apatis atau kritis publik pada porsi yang tepat. Ketenaran dan kekuasaan dijadikan alat untuk mempengaruhi jabatan, karenanya politik dinasti adalah salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi. Karenanya menolak politik dinasti hanya terjadi bila demokrasi disingkirkan.