[SURABAYA – 10 Oktober 2020 ]. Istilah Omnibus Law pertama kali diperkenalkan Jokowi saat pidato pelantikan Presiden dan Wakil Presiden pada 20 Oktober 2019 lalu. Saat itu, Jokowi mengatakan pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan UU Cipta Lapangan Kerja – yang pada akhirnya berubah menjadi RUU Cipta Kerja – dengan menggunakan pendekatan Omnibus Law – di mana banyak undang-undang bisa digabungkan dalam satu undang-undang, sehingga undang-undang baru itu akan menghapus, merevisi atau menggabungkan berbagai pasal dan peraturan yang ada menjadi satu. Menurutnya banyak sekali undang-undang yang terlalu kaku dan menghambat iklim investasi. Diharapkan dengan hadirnya UU Omnibus Law Cipta Kerja – selanjutnya disebut UU Cipta Kerja – akan mempercepat investasi, sehingga pada akhirnya tercipta lapangan kerja baru yang bisa menampung angkatan kerja serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Ada sebelas klaster yang menjadi substansi dalam UU Cipta Kerja, yaitu penyederhanaan izin usaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, perlindungan UMKM, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, dukungan riset & inovasi, administrasi pemerintahan, kemudahan investasi & proyek pemerintah, dan kawasan ekonomi khusus. Sejak awal diwacanakan sampai proses pembahasan dan pengesahannya pada 5 Oktober 2020 yang lalu, UU Cipta Kerja ini menuai polemik dan kontroversi yang sangat luas. Masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, kaum buruh, serikat pekerja, ormas-ormas, termasuk ormas Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, semua menyatakan penolakan atas UU Cipta Kerja. Puncaknya para mahasiswa, kaum buruh dan serikat pekerja serta komponen umat yang lainnya, melakukan unjuk rasa besar-besaran di berbagai kota yang berakhir dengan kericuhan di beberapa titik, sepanjang Kamis hingga Jum’at (8-9/10). Mereka menolak dan mendesak pemerintah mencabut UU Cipta Kerja yang baru disahkan.
Dibalik penyusunan UU Cipta Kerja ini, diduga kuat ada campur tangan kepentingan kapitalis yang mempunyai kepentingan untuk mendesakkan agenda liberalisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dan sistem ekonomi. Adanya klaster penyederhanaan ijin usaha, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, administrasi pemerintahan, kemudahan investasi dan kawasan ekonomi khusus, semuanya menguntungkan para pelaku bisnis yaitu para pemilik modal. Namun di sisi lainnya, justru memarjinalkan kepentingan kaum buruh/pekerja, masyarakat adat, kepentingan publik, bahkan mengorbankan lingkungan dan sampai kedaulatan dalam pengelolaan berbagai sumberdaya esensial yang menunjang hajat hidup masyarakat (sumberdaya air, mineral & batubara, minyak & gas bumi, hutan, perkebunan, dan sumberdaya perikanan).
Dengan memperhatikan dan telaah kritis atas keseluruhan substansi UU Cipta Kerja di atas, maka kami dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa bersama ini menyatakan sikap sebagai berikut: